Monday 7 December 2020

Dengan Siapa Aku di Rumah Paman?

 
"Masuk sini Dim, langsung ke kamarnya Afif saja ya, tasmu juga taruh sana saja", Mbak Sari lalu menutup dan mengunci pintu rumah pamanku. Aku menginap di rumah paman ini selama dua hari sesuai dengan tugas yang diberikan oleh kantorku, yaitu menghadiri konvensi dan seminar kelistrikan di Kota Semarang. Sebelum berangkat kesini aku sempat mengirim pesan ke paman namun belum dibalas sampai sekarang, jadi akhirnya aku mengirim pesan ke mbak Sari kalau aku sedang ada penugasan di Semarang dan hendak menginap selama tiga hari disana. Rupanya paman dan istrinya serta Afif adiknya mbak Sari sedang ke daerah Pati, jadi hanya tersisa mbak Sari dan mas Iwan suaminya yang tinggal di rumah.

Aku tidur di kamarnya Afif selama menginap di Semarang, ditemani mbak Sari dan suaminya yang kelihatan jarang sekali bicara aku mulai terbiasa walau kadang ada juga merasa aneh. Misalnya mereka beberapa kali hanya berbicara ketika mengajakku makan bersama atau mengingatkan sesuatu ketika malam sudah tiba, termasuk di malam kedatanganku. "Dim, kalau terdengar suara orang teriak malam-malam jangan mersa kaget ya, dibiasakan saja Dim tetangga sebelah sering kumat sakitnya itu", Aku sih mengerti dan mengiyakan perkataan mbak Sari itu. 

Dan benar juga, sekitar dua jam setelah aku memejamkan mata terdengar suara orang berteriak-teriak dalam Bahasa Jawa, mulanya teriak biasa hingga beberapa kali terdengar histeris. Setelah teriakan itu tak terdengar lagi tiba-tiba suara tangis mulai terdengar menyusul, dengan terisak-isak aku lumayan sanggup mendengar rintihan dan keluh kesah dalam tangisan itu. Hingga akhirnya aku kebelet pipis dan beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke toilet, di toilet aku mencium bau oli mesin dan terkadang suara angin. Setelah selesai pipis mendadak aku kesulitan membuka pintu toilet, seakan-akan ada yang menahannya dari luar karena pintunya sudah beberapa kali terdorong sedikit. Sekuat tenaga aku berusaha mendorong lalu tiba-tiba aku mendengar suara dengusan nafas yang terdengar berat dan disertai bau rokok, pintu baru bisa terbuka setelah itu dan aku jatuh terjerembab ke depan karena masih dalam posisi mendorong pintu dari dalam toilet. Sambil beranjak berdiri aku merasakan ada seseorang atau sesuatu berdiri di sebelah kananku, namun aku tak menoleh ke arahnya.

Entah bagaimana aku bisa merasakan wujudnya yang besar hitam, lebih besar daripada ukuran tubuhku. Aku merasa tak berani bergerak dan badanku mulai gemetar karena sosok tersebut seperti sedang memperhatikanku. Suara nafasnya yang berat terdengar kencang dan udara menddak menjadi dingin, hingga akhirnya sosok itu berpaling dan meninggalkanku di depan toilet. Tak ingin membuang kesempatan langsung saja aku berjalan agak cepat menuju kamar, JEDUUG!! Aku tak sengaja tersandung oleh sesuatu, namun aku tak sampai jatuh. Sempat kurasakan sesuatu yang membuatku tersandung tadi seakan terbungkus oleh kain setengah basah, tetapi ketika aku menoleh ternyata tidak ada apa-apa dan aku menuju kamar dan tidur dengan berselimut.

Besok paginya aku berangkat ke konvensi pada pukul 06.00 tepat karena sudah ada transportasi yang menjemputku, tapi ada hal yang mengganjal. Sewaktu aku bangun selepas subuh tadi tak kudapati ada yang bangun di rumah paman, hingga saat aku sudah bersiap diri dan akan pamit ke mbak Sari. Yang kudapati hanyalah suara air dari kamar mandi, "Mbak Sari, aku berangkat ya" Pamitku. Agak lama lalu terdengar suara mbak Sari dari dalam kamar mandi "Iya Dim, pintunya kamu kunci saja, kuncinya kamu bawa saja, aku ada kunci sendiri". 

Lalu aku melewati sebagian hari ini di acara konvensi dan seminar, hingga acaranya berakhir pada pukul 17.00 sore. Hujan yang turun dari siang hari masih belum reda juga hingga menjelang maghrib. Transportasi yang seharusnya menjemputku mengirim kabar via pesan bahwa mobilnya mogok di tengah banjir, jadilah aku pulang dengan mencari transportasi yang lain. Akhirnya aku memesan taksi dengan bantuan aplikasi online, lalu taksi itu datang setelah aku 12 menit kutunggu. Sebuah mobil minibus berwarna hitam datang dengan nomor polisi yang sesuai dengan di aplikasi, lalu dari arah kemudi keluar seorang wanita paruh baya menyapaku dan membuka pintu penumpang untukku, sungguh ramah ibu ini. 

Selama perjalanan pulang ibu sopir ini bercerita bahwa tadi dia sempat terlibat kecelakaan beruntun dan mobilnya ikut menabrak dua orang pengendara motor, namun dinyatakan tidak bersalah karena mobilnya dalam posisi terdorong oleh kendaraan lain dari arah belakang. Kemudian dia lanjut bercerita bahwa kemarin lusa sempat mendapat orderan "luar biasa" yaitu mengantarkan dua jenazah yang keduaanya adalah suami-istri, cerita ini yang justru membuatku bergidik karena sama sekali tak menyangkanya dan saat ini diriku sedang berada di dalam taksi ini. Kami sempat berhenti di sebuah SPBU, keadaan masih hujan dan dari jendela mobil kulihat seorang wanita sedang menggendong anak, dia berdiri di sebuah warung yang tutup di samping jalan keluar SPBU. Kulihat ibu ini berkali-kali berusaha menghentikan angkot namun tidak satu pun ada yang berhenti. Setelah mengisi bahan bakar kubilang pada ibu sopir untuk mengajak wanita yang di berteduh warung itu untuk naik taksi ini "Mas yakin, nanti bisa saja dia turun di tempat yang agak jauh atau aneh?" kata ibu sopir, aku sudah telanjur merasa kasihan jadi kumantapkan niatku untuk mengajak wanita itu.

"Terimah kasih ya mas, bu" Ucap wanita itu pelan dan santun. "Kami turun di dekat Bergota ya bu" Lanjut ucapnya, aku yang pindah tempat duduk di samping sopir hanya mengangguk dan menikmati perjalanan kembali. Aku tidak tahu arah dan tempat yang dimaksud oleh wanita itu, tapi tampaknya ibu sopir ini tahu kalau lokasinya masih di Semarang. Keadaan di dalam taksi sangat tenang seakan tidak ada penumpang lain selain diriku, bahkan suara mesin dan AC mobil benar-benar sama sekali tak terdengar. 

"Masuk gapura yang didepan itu ya bu" ucap wanita di belakang kursiku, mobil pun diarahkan masuk sebuah gapura yang sangat megah dan samar dari hujan terlihat sekilas tulisan Bergota. Tak lama kemudian mobil berhenti "Sepertinya ada pohon kecil yang roboh didepan". Aku segera menghentikan ibu sopir untuk turun dan menawarkan biar aku saja yang meminggirkan pohon itu, toh ukurannya tidak begitu besar dan di luar masih turun hujan. Diriku berjalan sekitar 10 meter dari mobil lalu segera kupindahkan pohon roboh yang menghalangi jalan ini, setelah itu aku berbalik menoleh ke arah mobil taksi dan kuperhatikan bahwa lampu depannya tidak menyala, DHUAAAAAR suara petir yang sangat keras disertai kilat yang menyambar berkali-kali emmbuatku kaget dan mendongak ke arah langit. Masih dalam rasa terkejut aku sangat kaget melihat bahwa mobil taksinya sudah tidak ada di tempat.
Sekali lagi petir dan kilat mengagetkanku, cahaya kilat tampaknya menyadarkaknku bahwa saat ini aku sedang berada di sebuah area makam, seakan masih tak percaya maka kunyalakan lampu flash di handphoneku, dan benar aku sedang berada di sebuah pemakaman. Aku tidak panik walau sedang kebingungan, dalam keadaan hujan yang semakin lebat aku bingung mencari arah keluar dari pemakaman ini, hingga samar kulihat sebuah cahaya yang datang semakin mendekat ke arahku. 

Sebuah motor berjalan mendekatiku, tanpa bertanya pengemudinya langsung menyuruhku naik ke motornya. Aku dibawa ke sebuah pos, letaknya berada di dekat pintu masuk pemakaman, di pos ini aku ditanyai dan disuguhi segelas teh hangat. Setelah kuceritakan semua kejadiannya aku ditenangkan kembali dan diberitahu bahwa diriku bukanlah  satu-satunya yang pernah mengalami hal itu, yang menolongku ini adalah seorang bapak yang bertugas sebagai penjaga makam. Kemudian datang seorang pemuda dengan mengendarai motor, dia adalah anak dari penjaga makam ini dan bersedia untuk mengantarku pulang ke rumah paman. Aku diantar sampai didepan rumah pamanku dan pemuda ini kuberi upah sukarela yang mulanya dia tolak tapi kupaksakan supaya dia menerimanya. Sebelum masuk rumah kuambil handphone untuk melihat waktu, ternyata sudah pukul 23.34, tak kusangka bahwa waktu berjalan sangat lama dan aku jadi sungkan kepada mbak Sari karena sudah pulang terlalu malam.

Setelah masuk rumah kuperhatikan lampu semua ruangan sudah dipadamkan kecuali dapur dan kamar mandi, kutaruh tas di kamar dan bersiap untuk mandi. Tidak kualami kejadian aneh sewaktu mandi, tidak seperti kemarin malam. Sewaktu berjalan melintasi dapur, di meja makan kuperhatikan ada sepiring nasi beserta lauknya, sebuah kertas diletakkan di samping piring "Dimas, sudah kusiapkan makanan buatmu" Aku merasa senang namun agak terganjal di pikiran, seingatku tadi ketika menuju ke kamar mandi di atas  meja makan ini tidak ada piring satu pun. Ah sudahlah aku benar-benar sudah lapar dan kedinginan malam ini, bir makanan ini  turut membantu menyegarkan keadaanku.
Setelah makan, aku menuju ke kamar dan mempersiapkan diri untuk tidur. "Uhukk uhuk uhuuuk" sebuah suara batuk terdengar daria rah ruang tamu, padahal baru saja ku buka pintu kamar. Niat untuk istirahat ku urungkan karena suara batuk tadi terdengar seperti suaranya mas Iwan, aku berjalan menuju ke ruang tamu untuk menyapanya. Di kamar tamu yang gelap itu terlihat sedikit samar seseorang sedang duduk di kursi yang paling dekat dengan jendela, tanpa memakai baju tapi hanya memakai sarung sambil asyik merokok. "Nggak tidur mas?" Tanyaku, "Iya, lagi pingin merokok aku". Setelah basa-basi aku kembali ke kamar.

"Aaaaaakh, aduuuuuh sakiiiit......aaaaaargh" Suara teriakan-teriakan di malam hari kembali hadir dan membangunkanku. Aku menjadi terjaga dan kali ini sepertinya aku merasakan sulit untuk tidur lagi. Aku menuju ke toilet karena kebelet, begitu keluar dari pintu kamar aku mendengar suara seseorang seperti sedang menggoreng sesuatu di dapur. Sesampainya di dapur kudapati sosok yang sepertinya itu mbak Sari sedang berdiri membelakangiku dengan posisi menggoreng sesuatu, dia tidak menyadari kehadiranku tampaknya. Aku lalu ke toilet. Kali ini di dalam toilet ini aku mencium aroma asap rokok yang membikin mual, setelah selesai aku langsung keluar agar bisa merasakan udara yang normal.
Setelah keluar, terdengar suara di kamar mandi yang letaknya di sebelah toilet. 

Suara air yang sedang diguyurkan dari gayung terdengar jelas, siapa yang mandi malam-malam begini, pikirku. Lalu aku menuju ke kamar, di dapur sudah tidak ada mbak Sari. Sepertinya dia sudah selesai menggoreng sesuatu tadi, di meja makan kulihat ada piring beserta lauk yang ditutup oleh tudung saji. Ketika aku di depan kamarnya Afif, dari ruang tamu kudengar ada suara tawa, kedengarannya suara dari dua orang, mbak Sari dan mas Iwan ini pasti, tapi kalau mereka berdua ada di ruang tamu terus siapa tadi yang ada di dalam kamar mandi? Merinding dan takut aku langsung masuk ke dalam kamar. Dengan gemetar ketakutan kututupi tubuhku dengan selimut, udara kamar yang mendadak jadi pengap dan dingin juga semakin membuatku ketakutan. 

Tak berapa lama aku merasakan ada sesuatu yang sepertinya menaiki tempat tidurku, aku penasaran, walau ketakutan kucari tahu juga apakah itu, kulihat sekeliling ternyata tak ada apa-apa. Daripada ketakutan sendiri di dalam kamar akhirnya kuputuskan untuk menemui mbak Sari dan suaminya di ruang tamu, pikirku mereka pasti masih berada disana. Bergegas aku keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu. Ternyata mereka berdua sudah tidak ada disana. Dari arah kamar mbak Sari kudengar suara orang sedang berbincang, mereka masih terbangun sepertinya. Kuberanikan mengetuk pintu kamarnya, sebuah suara yang pelan menjawab "Masuklah". Sempat berpikir sejenak lalu kubuka pintu kamar mbak Sari, ruangannya gelap dan jendelanya terbuka sehingga sinar redup dari luar membuat siluet di arah tempat tidur. Terlihat dua orang sedang duduk di tempat tidur itu.

"Mbak Sari, mas Iwan?" Sapaku tanpa dibalas oleh mereka, kemudian terlihat dua sosok tadi mengambil posisi tidur, sungguh aneh. Karena penasaran akhirnya kudekati ke arah tempat tidur.
BLAAAAR...DHUAAAAAARR suara petir mengagetkanku dan cahaya kilatnya mengungkapkan padaku siapa dua sosok yang sedang berada di tempat tidur itu. Dua pocong yang kainnya masih terlihat basah terbaring berdampingan. Aku tertegun tak bisa bergerak menyaksikannya, mulutku ingin berteriak namun terkunci, selanjutnya kilat berkali-kali muncul dan semakin memperjelas kehadiran kedua pocong itu.

DHUAAAAR suara petir terdengar lagi dan kali ini entah mengapa membuat badanku bisa digerakkan, aku langsung berlari menuju kamar Afif. Sial sekali kamar ini mendadak tak bisa dibuka, seakan terkunci. Kemudian aku berencana untuk keluar saja ke teras rumah, sesampainya di pintu utama ternyata hal serupa juga terjadi. Pintunya tak bisa dibuka dan kuncinya ku putar berkali-kali juga tak berguna, aku terjebak sepertinya. Aku pasrah dan ketakutan, di ruang tamu rumah paman akhirnya kuputuskan untuk tetap terjaga dan menunggu pagi. Aku merinding tak berhenti, duduk di kegelapan yang dingin sementara di dalam rumah ini diriku sedang "diteror" oleh makhluk halus. Sebuah sosok hitam gelap tiba-tiba datang dan menduduki kursi di seberangku, kemudian sosok itu menyalakan rokoknya, bagai lokomotif jaman baheula asap rokoknya tak begitu lama memenuhi satu ruangan ini. Baunya yang tak sedap akhirnya membuatku tak sadarkan diri. 

Adzan Subuh membangunkanku, badanku entah kenapa terasa agak linu dan capek. Masih agak susah digerakkan seakan-akan aku habis bekerja mengangkut bebatuan. Disaat hari mulai terang, entah sudah jam berapa. Dari jendela kulihat banyak orang sedang berdiri, beberapa berkerumun dan berbincang di depan rumah paman dan rumah tetangga sekitar yang tidak jauh. Lalu aku melihat wajah yang tidak asing namun terlihat sayu, itu adalah pamanku, ada juga bibiku dan Afif anak bungsu mereka. Aku bergegas membuka pintu yang ternyata sudah bisa dibuka, keluar rumah dan menghampiri mereka.

Tak sadar, aku tidak memperhatikan banyak oarang-orang itu, termasuk paman dan keluargnya begitu terkejut melihatku, apalagi mereka terkejut melihatku keluar dari paman. "Bagaimana kau bisa dari dalam rumah Dim, kami sudah empat hari berada di Pati, Sari dan suaminya meninggal karena kecelakaan disana, sekalian dimakamkan di dekat makam mertuanya," Aku shock, lalu kurangkul pamanku dan aku pingsan di pelukannya.

Kuceritakan semua yang sudah kualami di rumah ini, termasuk dari awal dimana aku berusaha memberitahu paman kalau aku akan menginap di rumah ini. Pamanku dan semua orang yang mendengarkan ceritaku terdiam, entah harus percaya atau tidak, beberapa memperlihatkan rona takut di wajah mereka. Selanjutnya aku menginap dua hari lagi sambil membantu keluarga paman, ku kabari juga orang tuaku dan meminta perpanjangan cuti dari kantor.

Selang waktu, ada sebuah kesempatan Afif menceritakan kronologi kecelakaan yang menewaskan mbak Sari dan suaminya, aku kaget dan merasa tak asing dengan ceritanya. Seakan-akan mirip dengan cerita dari ibu-ibu sopir taksi gaib yang beberapa waktu lalu kutemui. Afif menunjukkan foto lokasi kecelakaan yang didapatkannya dari warga sekitar yang ikut menolong, di foto ini aku melihat obyek yang tidak asing, yaitu sebuah mobil minibus hitam, persis dengan mobil taksi gaib malam itu. Di kursi kemudi terlihat pengemudinya terkulai tak bergerak dengan rambut terurai, dari situ terlihat bahwa pengemudiny adalah seorang wanita. Ditambahkan oleh Afif bahwa  tak ada korban selamat dalam kecelakaan beruntun itu, termasuk penumpang taksi yang seorang wanita dan anaknya yang masih teramat kecil ikut meninggal dalam gendongan ibunya. 

Semua untaian kejadian yang menyerupai sebuah kebetulan membuatku terpana, tak mampu berpikir lebih jauh. Kejadian-kejadian ini menambah trauma pada diriku untuk waktu yang sangat lama.



TAMAT 



Wednesday 22 April 2020

Si Manis Jembatan Kereta Ancol...

Si Manis Jembatan Kereta Ancol...


Jakarta, 11 Juli 1950.

Tohar baru saja menyelesaikan hari pertamanya bekerja di sebuah toko perabot rumah tangga bekas, yah semacam toko barang-barang loakan. Sore itu selepas kerja Tohar tidak langsung pulang, dia memilih untuk menghabiskan waktu sejenak jalan-jalan menyusuri keramaian pasar malam tak jauh dari tempat dia bekerja. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 dan Tohar masih belum menyadarinya, dia masih menikmati susasana pasar malam yang menurutnya semakin rame malam itu hingga dalam susasana itu membuat Tohar terpana dan DUK...Tohar menabrak seorang gadis berkebaya kuning.

"A-aduh maaf dik, saya tak sengaja menabrakmu" ucap Tohar kepada Gadis itu. Sang gadis hanya tersenyum melihat tingkah Tohar yang gelagapan setelah tidak sengaja menabraknya.
"Tak apa kak, kakak juga tak sengaja bukan" balas gadis itu, "Perkenalkan dik, sa-saya Tohar" ucap Tohar gugup. Gadis itu dengan senyum ramah membalas perkenalan si Tohar "Saya Uci kak, asli anak Ancol".

Keduanya semakin kelihatan tidak canggung dalam perbincangan mereka setelah itu. Setelah berapa lama Uci mengatakan pada togar bahwa sudah saat dia untuk kembali ke rumah, Togar lalu menanyakan waktu pada seorang pedagang yang memakai arloji. Sudah pukul 23.34, hampir tengah malam dan Tohar menawarkan diri untuk mengantar Uci pulang ke rumahnya dengan mengendarai andong. Uci dengan sabar menemani Tohar mencegat andong untuk mengantarnya pulang, aneh....sudah hampir satu jam di pinggir jalan raya tak satu pun andong atau kendaraan lewat melintas di depan keduanya, "Kak, sudahlah biar Uci pulang jalan kaki" baru saja Tohar berusaha mencegah Uci sebuah andong pun lewat, "Hoooi andooong, sini" teriak Tohar memanggil andong itu.

Andong itu berhenti pas di depan keduanya, kusir andong itu nampak aneh, dia tak memakai atasan, dan kepalanya ditutupi oleh kain hitam yang diikat. Tohar dan Uci tak mempedulikannya, keduanya naik andong itu "Jembatan kereta api ya bang" ucap Uci pada sang kusir. Sepanjang perjalanan Tohar sesekali mencuri pandang melihat wajah Uci yang manis, gadis itu sangat cantik dan kulitnya terlihat putih mulus, hingga aroma bunga melati datang dan mulai menyadarkan Tohar. "Ah aroma melati, ini pertanda rumahku sudah dekat" ucap Uci pada Tohar. Tak lama kemudian Uci turun dari andong dan mengucapkan terima kasihnya kepada Tohar yang sudah mau mengantarnya pulang.

Rumah Uci terlihat sangat bagus diantara rumah-rumah lainnya di kawasan jembatan kereta api itu, Tohar memandangi Uci sampai dia masuk ke dalam rumahnya, lalu Tohar minta pada kusir untuk mengantarkannya pulang ke arah sebaliknya. Sepanjang perjalanan pulang Tohar mencium aroma-aroma tidak sedap seperti bau bangkai hingga kemenyan, namun dia tidak takut karena ada sang kusir andong yang menemaninya malam itu. Tiba-tiba andongnya berhenti "Bang, aku mau pipis dulu" ucap kusirnya tanpa menoleh pada Tohar, dia hanya manggut-manggut tanpa curiga.

10 menit berlalu, Tohar masih duduk diatas andong itu. Akhirnya dia beranjak turun dan mencari kusir tadi, didatanginya pepohonan di pinggir jalan tempat kusir tadi buang air kecil, disana tak ditemuinya sang kusir andong. Akhirnya Tohar berbalik menuju andong.......tak disangka andong yang dia tumpangi tadi ternyata sudah lenyap....bahkan suara langkah kuda puun tak terdengar. Lalu tiba-tida dari arah pepohonan yang didatangiya tadi terdengar suara tawa keras yang seakan menggelegar "HAHAHAHAHA....HUAHAHAHAHAHAHA" sontak Tohar terkejut dan berlari sekuat tenaga menuju rumahnya yang masih jauh.




Jakarta, 12 Juli 1950.

"Makanya kau kalo pulang malam itu naik opelet sajalah, andong dinaiki, sudah untung kau pulang masih bernyawa Tohar" omelan sang Ibu pada Tohar yang baru saja selesai mandi. Malam tadi Tohar baru sampai ke rumahnya jam 2 dini hari, dengan keadaan terengah-engah sehabis berlari tentu saja membuat keluarganya kaget. Di tempat kerjanya, Tohar melewati hari dengan biasa sambil membayangkan wajah Uci, "Siapa pemilik toko ini kak?" suara seorang gadis membuat Tohar buyar dari lamunannya, seorang gadis Tionghoa berpakaian putih berdiri di hadapannya. "Pak Masto, beliau pemilik toko ini, ada perlu apa ya" gadis itu lalu berjalan menuju ke sebuah lemari yang dihiasi ornamen China lengkap dengan tulisan yang tak mampu dibaca oleh Tohar.

"Aku memiliki lemari seperti ini di rumahku, aku ingin menjualnya", Tohar lalu memanggil Pak Masto, lalu mereka menemui gadis itu. Setelah merundingkan harga, Gadis itu lalu memberikan alamat rumahnya "Aku baru pulang ke rumah selepas jam 7 malam, tapi tolong diambil sore nanti ya" ucapnya dan dia meninggalkan toko itu. Sorenya Tohar mendatangi alamat rumah gadis Tionghoa tadi Pak Masto menyuruh Tohar mengantarkan uang untuk membayar lemari tua dan akan menjemput Tohar dengan truk Chevrolet tahun '49 miliknya setelah menutup toko.

Pukul 17.02 sore, Tohar berdiri di depan sebuah rumah khas Tionghoa yang dikelilingi oleh tembok setinggi 2,5 meter, dia lalu mengetuk pintu kayu berwarna merah pudar. Berkali-kali Tohar mengetuk pintu itu namun tidak ada yang menjawab atau membukanya, hingga baru menjelang maghrib ketika Tohar kembali mengetuknya terdengar ada suara dari balik pintu, "Iya iya akan kubuka pintunya, sabarlah aku sudah tua". Pintu akhirnya dibuka dari dalam dan seorang nenek tua menyambut Tohar, "Kau pasti yang akan mengambil lemari tuanku ya, kemarilah masuk, Lin Hwa akan kembali sebentar lagi kok" ucap nenek itu, dan Tohar pun dipersilahkan menunggu di dalam ruang tamu rumah lama ini.

Ornamen rumah tua ini terlihat masih bagus hingga memberikan persepsi pada Tohar kalau dia benar-benar berada di negeri China. Nenek tua itu datang lagi dengan membawa segelas teh "Minumlah suguhan di rumah kami ini, nanti Lin Hwa pulang jam 7 malam kok" lalu dia pun kembali masuk ke arah ruang tengah. Tohar lalu meminum teh itu dan tak lama dia mulai merasa mengantuk, matanya mulai perlahan menutup dan samar-samar mulai terdengar suara adzan maghrib......

TEEENG.....TEEEENG.....TEEENG suara lonceng dari sebuah jam kuno terdengar hingga tujuh kali dan membuat Tohar kaget, dia menoleh ke arah kirinya dan melihat ada sebuah jam lonceng besar yang sudah tak terawat dan diselimuti dengan jaring laba-laba. "Sejak kapan jam itu ada disana" gumamnya dalam hati, tak lama Tohar kembali dikejutkan dengan ruangan yang tadinya terlihat bagus sekarang sudah berubah menjadi tak terawat, kotor, bahkan temboknya mulai ditumbuhi lumut. Semua perabot yang tadinya tertata rapi sekarang berserakan bahkan banyak yang tidak utuh.

"Kemarilah...sini ke ruang tengah" sebuah suara yang tak asing di telinga Tohar membuat kakinya melangkah dengan ketakutan menuju ke ruang tengah rumah itu. Di ruang tengah samar terlihat sebuah lukisan yang ditutupi kain transparan berwarna merah, cahaya bulan yang menembus lubang atap sedikit membantu pencahayaan di ruangan itu. Tohar semakin melangkah mendekati lukisan itu, lalu tangannya menyibak kain merah yang menutupinya, sebuah lukisan yang indah dengan gambar seorang gadis Tionghoa berbaju tradisional berwarna putih. Sembari mengucek matanya, Tohar bergumam dalam hatinya "Bukannya ini gadis yang tadi siang datang ke toko kami?". Lalu pandangan mata Tohar turun sedikit ke bawah dan melihat ada sebuah nama tertulis di bawah lukisan itu, Hui Lin Hwa.

"Itu lukisan diriku, dilukis kira-kira 40 tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum aku meninggal di rumah ini. Suara Lin Hwa terdengar dari arah belakang Tohar. Kepala Tohar seakan dipaksa untuk berbalik, Tohar tak kuasa dan melihat sosok asli Lin Hwa berdiri di hadapannya....Lin Hwa terlihat sangat mengerikan, kulitnya putih keriput dengan keadaaan sudah mengelupas di banyak bagian, bola matanya sudah tak ada, rambutnya berubah putih dan bau wangi asap hio keluar dari tubuhnya. Tohar ingin berlari namun tak sanggup, seakan ada yang sedang memegangi kakinya.

Pemandangan di depan mata Tohar mulai berubah, satu persatu makhluk yang wujudnya mengerikan mulai datang dan mendekati Tohar. Ingin menangis tapi juga tak sanggup, malam itu Tohar benar-benar dibikin tak berkutik oleh Lin Hwa dan penghuni rumahnya. Tiba-tiba pundak Tohar ditepuk dari belakang dan dia spontan mampu berteriak "Ampuuuuun jangan bunuh saya".
"Sedang apa kau Tohar, kenapa melamun di dalam rumah tua ini", suara Pak Masto.

Ternyata Pak Masto datang ke rumah itu ditemani oleh Pak Hendrawan, pria Tionghoa pemilik toko sebelah. Tohar ditenangkan oleh keduanya, lalu dipapah keluar dari rumah itu. Malam itu Tohar diantarkan pulang dengan mobil Pak Masto.



Jakarta, 13 Juli 1950.

Esoknya ketika Tohar kembali bekerja, dia diberi penjelasan oleh Pak Masto. Sore kemarin ketika Tohar meninggalkan toko untuk ke rumah Lin Hwa, pak Hendrawan pemilik toko sebelah rupanya mencium aroma asap hio dari dalam toko Pak Masto. Lalu Pak Hendrawan pergi ke toko Pak Masto untuk menanyakan hal itu. Singkatnya Pak Masto menceritakan mengenai seorang gadis Tionghoa yang menawarkan sebuah lemari tua yang  mirip dengan  lemari dagangannya di toko. Pak Hendrawan pun ingin melihat lemari yang dimaksud dan diantar oleh Pak Masto untuk melihatnya di belakang.

Pak Hendrawan terdiam sejenak ketika memandangi lemari itu, lalu mengajak Pak Masto kedepan, "Sebaiknya dibuang saja lemari itu" kata Pak Hendrawan. "K-kenapa harus saya buang Pak?" tanya Pak Masto kaget, "Lemari itu dibuat dari kayu bekas peti mati China, hal itu nggak baik Pak Masto" jawab Pak Hendrawan. Cerita itu membuat Tohar lemas sekaligus geleng-geleng kepala, dia heran bagaimana bisa dia dikerjai oleh makhluk halus selama dua hari berturut-turut.

Sore hari waktu jam tutup toko, ketika Tohar baru melangkah keluar dari toko matanya tak sengaja melihat Uci sedang berdiri di depan toko bunga, terlihat dia sedang asyik memandangi bunga-bunga sembari memilih. Tohar langsung berjalan menuju toko bunga itu untuk mendatangi Uci, "Mencari bunga apa dik Uci?" sapanya. Selanjutnya mereka bredua pun terlibat dalam perbincangan yang akrab, hingga pada akhirnya Tohar mengajak Uci ke pasar malam lagi.

Di pasar malam itu Tohar dan Uci terlihat sama-sama bahagia menikmati suasana dan jajanan yang mereka beli.  Dan entah sudah berapa lama mereka disana, para pedagang pun mulai membereskan dagangan mereka, "Sepertinya sudah malam sekali ini kita disini, yuk kuantarkan pulang lagi". Sekali lagi Uci tidak keberatan Tohar mengantarnya pulang ke rumah, namun kali ini "Kak, kita jalan kaki saja lah ya, rumahku kan tak terlalu jauh", seakan terhipnotis Tohar pun setuju dengan Uci dan mereka mulai berjalan menuju rumah Uci yang katanya tak terlalu jauh.

Seperti yang sebelumnya, aroma wangi bunga kembali menemani malam mereka "Wah aroma melati lagi" ucap Tohar, "Bukan melati, ini aroma bunga kemuning" jawab Uci datar. Hal aneh lain yang tak disadari oleh Tohar adalah sepanjang perjalanan ke rumah Uci ini dia mulai sering melihat  orang-orang Belanda berlalu lalang dengan cueknya tanpa sekali pun menatap atau menyapa mereka, lalu dia juga melihat beberapa orang berkerumun sedang menunggu kedatangan kereta api di ujung jembatan. Dan tibalah keduanya di rumah Uci, gadis itu menawari Tohar untuk mampir dan pemuda ini dengan senang hati menerima tawaran itu.

Bagi Tohar, rumah Uci ini tergolong mewah dibandingkan dengan rumahnya tau rumah-rumah disekitarnya, "Minumlah kopi ini kak Tohar" Uci menyodorkan kopi kepada Tohar. Malam itu keduanya berbincang di ruang tamu rumah Uci, Uci menceritakan bahwa dia hanya tinggal seorang diri di rumah ini dan tidak berkenan menceritakan keluarganya. Dan setiap hari ternyata Uci bekerja sebagai pengasuh anak di keluarga Belanda, begitulah penuturannya kepada Tohar.

"Kak, menginaplah disini, aku kesepian" ucap Uci. Tohar seakan termakan oleh ajakan itu dan dia mengiyakan. Uci lalu mengantarkan Tohar ke kamarnya, "Lho ini kan kamarmu dik, maksudmu kita akan tidur berdua?" tanya Tohar kaget. Uci pun menjawab "Iya kak, tidak apa-apa kita hanya berdua malam ini, kakak mau kan?". Tanpa menjawab Tohar pun menurut, lalu mereka berdua tidur bersama selayaknya suami istri.......

"HWAUUUUUUU WOOOO, HWAUUUUUUUU" lolongan anjing malam mendadak menbangunkan Tohar dari tidurnya, dia menoleh ke kanan melihat ke wajah Uci. Bau busuk dan anyir mendadak menyeruak dan membuat Tohar terasa mual, dalam gelisahnya tiba-tiba "Kak Tohar kenapa, tidak suka dengan bau tubuh Uci?", baru menoleh dan akan menjawab Tohar dikejutkan dengan sosok Uci yang berubah menjadi pocong dan terbaring disampingnya.

Pocong Uci baunya sungguh tak sedap dan bikin mual, mukanya busuk berair, kafannya kotor sekali. Tohar yang kaget langsung beranjak dari tempat tidur dan GEDEBUK....dia jatuh dan tiba-tiba sadar sedang berada di tengah-tengah pepohonan rindang di tengah malam. TUUUUT...JESS JESS JESS TUUUT TUUUT, suara kereta api mengagetkan Tohar, pemuda itu lalu mengikuti kearah suara itu dan melihat sebuah kereta api berhenti sedang menunggu penumpang. Tanpa pikir panjang dia mendatanginya dan ikut naik.

Di dalam gerbong kereta itu akhirnya Tohar bisa bernafas lega, lama-lama dia juga mulai menyadari kalau di dalam gerbong ini mulai banyak terdengar percakapan dalam bahasa Belanda. Penasaran, Tohar pun berdiri untuk melihat sekelilingnya, betapa terkejutnya Tohar setelah mengetahui bahwa semua penumpang dalam gerbong ini tidak lengkap anggota tubuhnya........seluruh penumpang ini layaknya mayat yang sedang diangkut oleh kereta kematian. Tanpa pikir panjang Tohar pun berlari menuju ujung gerbong dan meloncat keluar.

Dia jatuh dan seketika itu juga kehilangan tenaga, BLUGH, BLUGH, BLUGH, suara seseorang sedang meloncat berasa mendekati dirinya. Dari belakang Tohar muncul pocong si Uci, lalu beberapa makhluk lainnya mulai menyusul menampakkan dirinya di mata Tohar......

"Inikah pacarmu Uci" ujar kuntilanak, "keh keh keh" pocong Uci tertawa dengan cara yang aneh, lalu datang gendruwo menginjak tubuh Tohar "HAHAHAHA enak ya naik andongku" ucapnya. Tohar akhirnya kewalahan dan tak sadarkan diri, tubuhnya ditemukan di samping sebuah jembatan kereta api tua yang sudah tidak dipakai. Setelah kejadian itu Tohar mulai sering melamun tak ingin bertemu dengan siapapun.


-TAMAT-


*Lokasi tempat Tohar diketemukan dinetralkan oleh warga Tionghoa yang banyak bermukim di dekat daerah itu, mereka membuat sebuah monumen berupa tugu kecil (Taipekong) yang diberi aksara China yang memiliki arti "KEBAHAGIAAN ARAH BARAT, TERPUJILAH SANG BUDHA". Lokasinya di dekat rumah pompa jalan R.E Martadinata ancol, dan jembatan kereta api ini masih ada.