Wednesday 22 April 2020

Si Manis Jembatan Kereta Ancol...

Si Manis Jembatan Kereta Ancol...


Jakarta, 11 Juli 1950.

Tohar baru saja menyelesaikan hari pertamanya bekerja di sebuah toko perabot rumah tangga bekas, yah semacam toko barang-barang loakan. Sore itu selepas kerja Tohar tidak langsung pulang, dia memilih untuk menghabiskan waktu sejenak jalan-jalan menyusuri keramaian pasar malam tak jauh dari tempat dia bekerja. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 dan Tohar masih belum menyadarinya, dia masih menikmati susasana pasar malam yang menurutnya semakin rame malam itu hingga dalam susasana itu membuat Tohar terpana dan DUK...Tohar menabrak seorang gadis berkebaya kuning.

"A-aduh maaf dik, saya tak sengaja menabrakmu" ucap Tohar kepada Gadis itu. Sang gadis hanya tersenyum melihat tingkah Tohar yang gelagapan setelah tidak sengaja menabraknya.
"Tak apa kak, kakak juga tak sengaja bukan" balas gadis itu, "Perkenalkan dik, sa-saya Tohar" ucap Tohar gugup. Gadis itu dengan senyum ramah membalas perkenalan si Tohar "Saya Uci kak, asli anak Ancol".

Keduanya semakin kelihatan tidak canggung dalam perbincangan mereka setelah itu. Setelah berapa lama Uci mengatakan pada togar bahwa sudah saat dia untuk kembali ke rumah, Togar lalu menanyakan waktu pada seorang pedagang yang memakai arloji. Sudah pukul 23.34, hampir tengah malam dan Tohar menawarkan diri untuk mengantar Uci pulang ke rumahnya dengan mengendarai andong. Uci dengan sabar menemani Tohar mencegat andong untuk mengantarnya pulang, aneh....sudah hampir satu jam di pinggir jalan raya tak satu pun andong atau kendaraan lewat melintas di depan keduanya, "Kak, sudahlah biar Uci pulang jalan kaki" baru saja Tohar berusaha mencegah Uci sebuah andong pun lewat, "Hoooi andooong, sini" teriak Tohar memanggil andong itu.

Andong itu berhenti pas di depan keduanya, kusir andong itu nampak aneh, dia tak memakai atasan, dan kepalanya ditutupi oleh kain hitam yang diikat. Tohar dan Uci tak mempedulikannya, keduanya naik andong itu "Jembatan kereta api ya bang" ucap Uci pada sang kusir. Sepanjang perjalanan Tohar sesekali mencuri pandang melihat wajah Uci yang manis, gadis itu sangat cantik dan kulitnya terlihat putih mulus, hingga aroma bunga melati datang dan mulai menyadarkan Tohar. "Ah aroma melati, ini pertanda rumahku sudah dekat" ucap Uci pada Tohar. Tak lama kemudian Uci turun dari andong dan mengucapkan terima kasihnya kepada Tohar yang sudah mau mengantarnya pulang.

Rumah Uci terlihat sangat bagus diantara rumah-rumah lainnya di kawasan jembatan kereta api itu, Tohar memandangi Uci sampai dia masuk ke dalam rumahnya, lalu Tohar minta pada kusir untuk mengantarkannya pulang ke arah sebaliknya. Sepanjang perjalanan pulang Tohar mencium aroma-aroma tidak sedap seperti bau bangkai hingga kemenyan, namun dia tidak takut karena ada sang kusir andong yang menemaninya malam itu. Tiba-tiba andongnya berhenti "Bang, aku mau pipis dulu" ucap kusirnya tanpa menoleh pada Tohar, dia hanya manggut-manggut tanpa curiga.

10 menit berlalu, Tohar masih duduk diatas andong itu. Akhirnya dia beranjak turun dan mencari kusir tadi, didatanginya pepohonan di pinggir jalan tempat kusir tadi buang air kecil, disana tak ditemuinya sang kusir andong. Akhirnya Tohar berbalik menuju andong.......tak disangka andong yang dia tumpangi tadi ternyata sudah lenyap....bahkan suara langkah kuda puun tak terdengar. Lalu tiba-tida dari arah pepohonan yang didatangiya tadi terdengar suara tawa keras yang seakan menggelegar "HAHAHAHAHA....HUAHAHAHAHAHAHA" sontak Tohar terkejut dan berlari sekuat tenaga menuju rumahnya yang masih jauh.




Jakarta, 12 Juli 1950.

"Makanya kau kalo pulang malam itu naik opelet sajalah, andong dinaiki, sudah untung kau pulang masih bernyawa Tohar" omelan sang Ibu pada Tohar yang baru saja selesai mandi. Malam tadi Tohar baru sampai ke rumahnya jam 2 dini hari, dengan keadaan terengah-engah sehabis berlari tentu saja membuat keluarganya kaget. Di tempat kerjanya, Tohar melewati hari dengan biasa sambil membayangkan wajah Uci, "Siapa pemilik toko ini kak?" suara seorang gadis membuat Tohar buyar dari lamunannya, seorang gadis Tionghoa berpakaian putih berdiri di hadapannya. "Pak Masto, beliau pemilik toko ini, ada perlu apa ya" gadis itu lalu berjalan menuju ke sebuah lemari yang dihiasi ornamen China lengkap dengan tulisan yang tak mampu dibaca oleh Tohar.

"Aku memiliki lemari seperti ini di rumahku, aku ingin menjualnya", Tohar lalu memanggil Pak Masto, lalu mereka menemui gadis itu. Setelah merundingkan harga, Gadis itu lalu memberikan alamat rumahnya "Aku baru pulang ke rumah selepas jam 7 malam, tapi tolong diambil sore nanti ya" ucapnya dan dia meninggalkan toko itu. Sorenya Tohar mendatangi alamat rumah gadis Tionghoa tadi Pak Masto menyuruh Tohar mengantarkan uang untuk membayar lemari tua dan akan menjemput Tohar dengan truk Chevrolet tahun '49 miliknya setelah menutup toko.

Pukul 17.02 sore, Tohar berdiri di depan sebuah rumah khas Tionghoa yang dikelilingi oleh tembok setinggi 2,5 meter, dia lalu mengetuk pintu kayu berwarna merah pudar. Berkali-kali Tohar mengetuk pintu itu namun tidak ada yang menjawab atau membukanya, hingga baru menjelang maghrib ketika Tohar kembali mengetuknya terdengar ada suara dari balik pintu, "Iya iya akan kubuka pintunya, sabarlah aku sudah tua". Pintu akhirnya dibuka dari dalam dan seorang nenek tua menyambut Tohar, "Kau pasti yang akan mengambil lemari tuanku ya, kemarilah masuk, Lin Hwa akan kembali sebentar lagi kok" ucap nenek itu, dan Tohar pun dipersilahkan menunggu di dalam ruang tamu rumah lama ini.

Ornamen rumah tua ini terlihat masih bagus hingga memberikan persepsi pada Tohar kalau dia benar-benar berada di negeri China. Nenek tua itu datang lagi dengan membawa segelas teh "Minumlah suguhan di rumah kami ini, nanti Lin Hwa pulang jam 7 malam kok" lalu dia pun kembali masuk ke arah ruang tengah. Tohar lalu meminum teh itu dan tak lama dia mulai merasa mengantuk, matanya mulai perlahan menutup dan samar-samar mulai terdengar suara adzan maghrib......

TEEENG.....TEEEENG.....TEEENG suara lonceng dari sebuah jam kuno terdengar hingga tujuh kali dan membuat Tohar kaget, dia menoleh ke arah kirinya dan melihat ada sebuah jam lonceng besar yang sudah tak terawat dan diselimuti dengan jaring laba-laba. "Sejak kapan jam itu ada disana" gumamnya dalam hati, tak lama Tohar kembali dikejutkan dengan ruangan yang tadinya terlihat bagus sekarang sudah berubah menjadi tak terawat, kotor, bahkan temboknya mulai ditumbuhi lumut. Semua perabot yang tadinya tertata rapi sekarang berserakan bahkan banyak yang tidak utuh.

"Kemarilah...sini ke ruang tengah" sebuah suara yang tak asing di telinga Tohar membuat kakinya melangkah dengan ketakutan menuju ke ruang tengah rumah itu. Di ruang tengah samar terlihat sebuah lukisan yang ditutupi kain transparan berwarna merah, cahaya bulan yang menembus lubang atap sedikit membantu pencahayaan di ruangan itu. Tohar semakin melangkah mendekati lukisan itu, lalu tangannya menyibak kain merah yang menutupinya, sebuah lukisan yang indah dengan gambar seorang gadis Tionghoa berbaju tradisional berwarna putih. Sembari mengucek matanya, Tohar bergumam dalam hatinya "Bukannya ini gadis yang tadi siang datang ke toko kami?". Lalu pandangan mata Tohar turun sedikit ke bawah dan melihat ada sebuah nama tertulis di bawah lukisan itu, Hui Lin Hwa.

"Itu lukisan diriku, dilukis kira-kira 40 tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum aku meninggal di rumah ini. Suara Lin Hwa terdengar dari arah belakang Tohar. Kepala Tohar seakan dipaksa untuk berbalik, Tohar tak kuasa dan melihat sosok asli Lin Hwa berdiri di hadapannya....Lin Hwa terlihat sangat mengerikan, kulitnya putih keriput dengan keadaaan sudah mengelupas di banyak bagian, bola matanya sudah tak ada, rambutnya berubah putih dan bau wangi asap hio keluar dari tubuhnya. Tohar ingin berlari namun tak sanggup, seakan ada yang sedang memegangi kakinya.

Pemandangan di depan mata Tohar mulai berubah, satu persatu makhluk yang wujudnya mengerikan mulai datang dan mendekati Tohar. Ingin menangis tapi juga tak sanggup, malam itu Tohar benar-benar dibikin tak berkutik oleh Lin Hwa dan penghuni rumahnya. Tiba-tiba pundak Tohar ditepuk dari belakang dan dia spontan mampu berteriak "Ampuuuuun jangan bunuh saya".
"Sedang apa kau Tohar, kenapa melamun di dalam rumah tua ini", suara Pak Masto.

Ternyata Pak Masto datang ke rumah itu ditemani oleh Pak Hendrawan, pria Tionghoa pemilik toko sebelah. Tohar ditenangkan oleh keduanya, lalu dipapah keluar dari rumah itu. Malam itu Tohar diantarkan pulang dengan mobil Pak Masto.



Jakarta, 13 Juli 1950.

Esoknya ketika Tohar kembali bekerja, dia diberi penjelasan oleh Pak Masto. Sore kemarin ketika Tohar meninggalkan toko untuk ke rumah Lin Hwa, pak Hendrawan pemilik toko sebelah rupanya mencium aroma asap hio dari dalam toko Pak Masto. Lalu Pak Hendrawan pergi ke toko Pak Masto untuk menanyakan hal itu. Singkatnya Pak Masto menceritakan mengenai seorang gadis Tionghoa yang menawarkan sebuah lemari tua yang  mirip dengan  lemari dagangannya di toko. Pak Hendrawan pun ingin melihat lemari yang dimaksud dan diantar oleh Pak Masto untuk melihatnya di belakang.

Pak Hendrawan terdiam sejenak ketika memandangi lemari itu, lalu mengajak Pak Masto kedepan, "Sebaiknya dibuang saja lemari itu" kata Pak Hendrawan. "K-kenapa harus saya buang Pak?" tanya Pak Masto kaget, "Lemari itu dibuat dari kayu bekas peti mati China, hal itu nggak baik Pak Masto" jawab Pak Hendrawan. Cerita itu membuat Tohar lemas sekaligus geleng-geleng kepala, dia heran bagaimana bisa dia dikerjai oleh makhluk halus selama dua hari berturut-turut.

Sore hari waktu jam tutup toko, ketika Tohar baru melangkah keluar dari toko matanya tak sengaja melihat Uci sedang berdiri di depan toko bunga, terlihat dia sedang asyik memandangi bunga-bunga sembari memilih. Tohar langsung berjalan menuju toko bunga itu untuk mendatangi Uci, "Mencari bunga apa dik Uci?" sapanya. Selanjutnya mereka bredua pun terlibat dalam perbincangan yang akrab, hingga pada akhirnya Tohar mengajak Uci ke pasar malam lagi.

Di pasar malam itu Tohar dan Uci terlihat sama-sama bahagia menikmati suasana dan jajanan yang mereka beli.  Dan entah sudah berapa lama mereka disana, para pedagang pun mulai membereskan dagangan mereka, "Sepertinya sudah malam sekali ini kita disini, yuk kuantarkan pulang lagi". Sekali lagi Uci tidak keberatan Tohar mengantarnya pulang ke rumah, namun kali ini "Kak, kita jalan kaki saja lah ya, rumahku kan tak terlalu jauh", seakan terhipnotis Tohar pun setuju dengan Uci dan mereka mulai berjalan menuju rumah Uci yang katanya tak terlalu jauh.

Seperti yang sebelumnya, aroma wangi bunga kembali menemani malam mereka "Wah aroma melati lagi" ucap Tohar, "Bukan melati, ini aroma bunga kemuning" jawab Uci datar. Hal aneh lain yang tak disadari oleh Tohar adalah sepanjang perjalanan ke rumah Uci ini dia mulai sering melihat  orang-orang Belanda berlalu lalang dengan cueknya tanpa sekali pun menatap atau menyapa mereka, lalu dia juga melihat beberapa orang berkerumun sedang menunggu kedatangan kereta api di ujung jembatan. Dan tibalah keduanya di rumah Uci, gadis itu menawari Tohar untuk mampir dan pemuda ini dengan senang hati menerima tawaran itu.

Bagi Tohar, rumah Uci ini tergolong mewah dibandingkan dengan rumahnya tau rumah-rumah disekitarnya, "Minumlah kopi ini kak Tohar" Uci menyodorkan kopi kepada Tohar. Malam itu keduanya berbincang di ruang tamu rumah Uci, Uci menceritakan bahwa dia hanya tinggal seorang diri di rumah ini dan tidak berkenan menceritakan keluarganya. Dan setiap hari ternyata Uci bekerja sebagai pengasuh anak di keluarga Belanda, begitulah penuturannya kepada Tohar.

"Kak, menginaplah disini, aku kesepian" ucap Uci. Tohar seakan termakan oleh ajakan itu dan dia mengiyakan. Uci lalu mengantarkan Tohar ke kamarnya, "Lho ini kan kamarmu dik, maksudmu kita akan tidur berdua?" tanya Tohar kaget. Uci pun menjawab "Iya kak, tidak apa-apa kita hanya berdua malam ini, kakak mau kan?". Tanpa menjawab Tohar pun menurut, lalu mereka berdua tidur bersama selayaknya suami istri.......

"HWAUUUUUUU WOOOO, HWAUUUUUUUU" lolongan anjing malam mendadak menbangunkan Tohar dari tidurnya, dia menoleh ke kanan melihat ke wajah Uci. Bau busuk dan anyir mendadak menyeruak dan membuat Tohar terasa mual, dalam gelisahnya tiba-tiba "Kak Tohar kenapa, tidak suka dengan bau tubuh Uci?", baru menoleh dan akan menjawab Tohar dikejutkan dengan sosok Uci yang berubah menjadi pocong dan terbaring disampingnya.

Pocong Uci baunya sungguh tak sedap dan bikin mual, mukanya busuk berair, kafannya kotor sekali. Tohar yang kaget langsung beranjak dari tempat tidur dan GEDEBUK....dia jatuh dan tiba-tiba sadar sedang berada di tengah-tengah pepohonan rindang di tengah malam. TUUUUT...JESS JESS JESS TUUUT TUUUT, suara kereta api mengagetkan Tohar, pemuda itu lalu mengikuti kearah suara itu dan melihat sebuah kereta api berhenti sedang menunggu penumpang. Tanpa pikir panjang dia mendatanginya dan ikut naik.

Di dalam gerbong kereta itu akhirnya Tohar bisa bernafas lega, lama-lama dia juga mulai menyadari kalau di dalam gerbong ini mulai banyak terdengar percakapan dalam bahasa Belanda. Penasaran, Tohar pun berdiri untuk melihat sekelilingnya, betapa terkejutnya Tohar setelah mengetahui bahwa semua penumpang dalam gerbong ini tidak lengkap anggota tubuhnya........seluruh penumpang ini layaknya mayat yang sedang diangkut oleh kereta kematian. Tanpa pikir panjang Tohar pun berlari menuju ujung gerbong dan meloncat keluar.

Dia jatuh dan seketika itu juga kehilangan tenaga, BLUGH, BLUGH, BLUGH, suara seseorang sedang meloncat berasa mendekati dirinya. Dari belakang Tohar muncul pocong si Uci, lalu beberapa makhluk lainnya mulai menyusul menampakkan dirinya di mata Tohar......

"Inikah pacarmu Uci" ujar kuntilanak, "keh keh keh" pocong Uci tertawa dengan cara yang aneh, lalu datang gendruwo menginjak tubuh Tohar "HAHAHAHA enak ya naik andongku" ucapnya. Tohar akhirnya kewalahan dan tak sadarkan diri, tubuhnya ditemukan di samping sebuah jembatan kereta api tua yang sudah tidak dipakai. Setelah kejadian itu Tohar mulai sering melamun tak ingin bertemu dengan siapapun.


-TAMAT-


*Lokasi tempat Tohar diketemukan dinetralkan oleh warga Tionghoa yang banyak bermukim di dekat daerah itu, mereka membuat sebuah monumen berupa tugu kecil (Taipekong) yang diberi aksara China yang memiliki arti "KEBAHAGIAAN ARAH BARAT, TERPUJILAH SANG BUDHA". Lokasinya di dekat rumah pompa jalan R.E Martadinata ancol, dan jembatan kereta api ini masih ada.



No comments:

Post a Comment