Monday 21 March 2022

Kuyang Pemakan Orok



"Letakkan kepala bayi itu Rani!" Teriakku tak digubris, Rani lalu menguliti kepala bayi itu dengan cara menggigitnya, sungguh jijik dan kejam sekali.

5 tahun yang lalu...
"Percaya deh, kali ini pasti ada hasilnya," bujukku pada Rani. Kami sudah tujuh tahun menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak. Akhirnya di tahun ketujuh ini aku menyerah dan mulai berpandangan musyrik, aku mulai gemar kesana kemari mencari informasi mengenai lelaku yang bisa membuahkan keturunan bagi yang memintanya.

Rani yang mulanya ragu mulai cemas, tangannya diremas-remas sendiri seraya berkata, "Aku nurut kamu saja Mas, sudah capek pula aku mikirin omongan Bapak dan kakak-kakakku yang selalu menyinggung tentang momongan." Rani istriku dibesarkan oleh keluarga angkat, kedua orang tuanya meninggal di Kalimantan lalu Rani yang masih bayi dibyong ke Jawa Timur oleh keluarga angkatnya.

"Aku juga tak tahu harus kemana lagi, ilmu kedokteran nggak menghasilkan apa pun selama tujuh tahun ini, tapi aku yakin kali ini kita pasti dapat momongan. Kata Fauzan situs Watu Lotnok ini sudah termasyur bagi pasangan-pasangan yang mengharapkan keturunan cepat." Yah kami sedang dalam perjalanan ke Tulungagung menuju sebuah tempat kerama bernama Watu Lotnok untuk meminta berkah agar diberi momongan secepatnya.

Fauzan adalah sopir dari atasanku Pak Sam, yang sering mengantarkan kemana saja Pak Sam ingin jalan-jalan. Dari Fauzan inilah aku mengetahui tentang situs Watu Lotnok ini, hingga akhirnya saking penasarannya aku sempatkan googling dan mendapatkan berbagai informasi serta review mengenai situs yang dikeramatkan ini.

Akhirnya kami tiba di tujuan kami, situs Watu Lotnok di Tulungagung. Aku menyetir sendiri mobilku berdua hanya dengan Rani istriku, dan saat kami tiba di situs tersebut waktu sudah menunjukkan jam 20.46 malam. Sesuai ekspektasi kami bahwa kami memang diharapkan untuk bermalam di situs ini hingga pagi, tentunya sambil berdoa terus-menerus mengharapkan sebuah keturunan.

Oleh juru kunci Watu Lotnok kami dipandu ke sebuah tempat yang berada tepat dibawah pohon beringin raksasa, kesannya sungguh menyeramkan sekali malam ini. dibawah pohon beringin tersebut terdapat sebuah batu hitam yang bentuknya menyerupai alat kelamin pria. Cermat mataku menatap ternyata disebelahnya lagi terdapat sebuah makam yang panjangnya kira-kira 3 meter lebih dengan nisan yang dibungkus kain merah kumal.

Oleh juru kunci, kami berdua dipersilahkan bermalam disitu dan dibolehkan untuk duduk semedi atau berbaring, lalu "kalian juga diharapkan untuk bercumbu sebentar saja, tapi jangan sampe bersuara ya" ucap juru kunci tersebut pada kami. Aku dan Rani akhirnya melakukan yang disampaikan oleh juru kunci tadi. Kami memilih berbaring dan bercumbu seperti yang biasa kami lakukan di rumah.

"JLEBUUUK" suara sebuah benda jatuh terdengar tak jauh dari posisi kami bercumbu, Rani yang lebih dulu melihatnya menunjuk ke arah suara itu, lalu aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Ternyata yang jatuh ini sebuah biji sebesar dan mirip buah salak, lalu aku kembali menuju Rani.

"Aneh ya, pohon beringin kan tidak menghasilkan buah" ucapku, Rani juga bingung lalu menyuruhku untuk meletakkan saja biji tadi kemudian kami melanjutkan 'ritual' hingga lupa waktu.

"Mas, Mbak, sudah pagi loh ini. Ayo bangun terus bersih-bersih diri dulu di sendang sebelah sana" ucap juru kunci Watu Lotnok membangunkan kami.

Rani dan diriku membersihkan diri di sebuah sendang yang letaknya dekat dengan situs utama tadi, dan tak lama ketika kami menikmati bebersih diri ini tercium aroma bunga melati yang sangat pekat. Saking pekatnya aroma melati ini kepalaku menjadi agak pusing, Rani juga merasakan hal yang sama lalu mengajakku untuk menyudahi saja. Setelah itu kami berdua berpamitan pulang pada si juru kunci lalu aku bermaksud untuk memberikan sebuah amplop sebagai tanda terima kasih. Si juru kunci ini dengan halus menolak pemberianku, dia bilang pantang untuk menerima segala pemberian dari pengunjung. Namun tak lama setelah itu juru kunci itu menyerahkan sesuatu kepada kami.

"Kalian tadi lupa untuk membawa 'berkah' ini bersama kalian, jadi kuberikan saja daripada kalian datang kesini hanya sisa-sia. Hati-hai di perjalanan ya Mas, Mbak, semoga berkah ini membawa rahmat untuk kalian," ucapnya lalu berpaling dari kami.

Rani membuka pemberian tadi, sebuah bungkusan kain merah yang di dalamnya ternyata biji yang semalam jatuh, "kita apakan biji ini Mas Feri?" aku juga bingung tapi kusuruh menyimpan saja buat kenang-kenangan.

Selang dua minggu sejak kkunjungan kami berdua ke Watu Lotnok Rani mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Aku membeli beberapa merek alat uji kehamilan untuk Rani, setelah dicoba hasilnya positif semua. Kemudian kami cek kehamilan ke beberapa klinik dan hasilnya juga menyatakan kalau Rani positif hamil. Namun ada yang dinilai janggal oleh beberapa kerabat kami, kehamilan Rani ini tidak disertai mual, ngidam bahkan sampai di usia kehamilan tiga bulan perut Rani masih belum membesar layaknya usia kandungan yang normal.

Kami pergi ke dokter menanyakan hal ini, dan dokter yang memeriksa Rani dengan kukuh mengatakan kalau Rani ini beneran hamil dan ada janin di rahimnya. Untunglah semua kecemasan kami tadi menghilang di bulan ke 6 kehamilan Rani, perutnya membesar dan sudah tidak terdengar omongan-omongan aneh lagi dari kerabat. Rani dan diriku sepakat untuk idak melakukan USG sebagai langkah kejutan agar kami tidak terlalu hype mengenai jenis kelamin calon bayi kami ini.

Hampir 2 Tahun Kemudian....
Usia kandungan Rani sudah 21 bulan, tapi Rani masih belum melahirkan. Malu, takut, cemas akhirnya kuputuskan untuk memboyong Rani ke rumah peninggalan kakekku di Magelang. Aku menyewa perawat pribadi untuk memantau keadaan Rani, dan aku mengajukan surat pindah dari Sidoarjo ke Magelang yang langsung disetujui oleh atasanku. keluarga serta kerabatku yang mengetahui hal ini dengan tegas kusuruh untuk tutup mulut dan menjauhi kami saja daripada menambah kecemasan.

Seminggu di Magelang Pak Sam atasanku datang berkunjung. Tapi ada alasan lain mengapa Pak Sam mengunjungiku.

"Feri, kamu nggak dikabari kalau Fauzan baru saja meninggal?" tanya Pak Sam.

"Tidak Pak, tu-tunggu dulu. Kematian Fauzan apa ada hubungannya dengan kecelakaan kendaraan operasional kantor kita Pak?" tanyaku balik.

"Nah itu bener kamu Fer," jawab Pak Sam. "Tapi gini loh Fer, aku ada alasan lain untuk menemuimu kemari. Setahun lalu kudengar Fauzan sempat memberitahu tentang sebuah tempat keramat ya padamu?" lanjut Pak Sam.

"Iya Pak, Fauzan melakukan itu. Lalu hubungannya dengan kunjungan Pak Sam apa ya, saya bingung loh ini Pak" ucapku seraya agak lemas.

"Feri, apa pun itu dan apabila sudah kamu lakukan, sebaiknya dibatalkan dan minta pertolongan kepada Allah Fer, wes aku cuma sanggup ngomong gitu saja. Batasan pengetahuanku cuma segitu saja untuk menolong kamu sama Rani." Pak Sam setelah itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke Madiun.

Walau kami sempat bicara panjang lebar api omongan Pak Sam selalu berhenti di nasehat yang sama, dimana diriku jadi pusing karena tak tahu apa-apa.

Menjelang 2 Tahun Kehamilan Rani
"AAAAAKH SAKIT MAAAS, SAKIIIIIIT, AKU WES NGGAK KUAT MAS FERIIIII" Rani masih berteriak kesakitan menjelang kelahiran bayi pertama kami. Pada klinik kecil tempat Rani melahirkan untungnya sedang tidak ada pasien yang menginap, bidan di klinik ini sampai kewalahan hingga minta ijinku untuk membawa pertolongan bidan lain yang rumahnya dekat. Teriakan Rani sungguh memilukan hingga aku ikut panik seakan ikut merasakan rasa sakit yang dia alami.

Hampir tiga jam belum juga ada perkembangan, hingga akhirnya secara iba-tiba terdengar suara petir yang keras sekali "JEGLEEEEEEEEER," suaranya mendatangkan kejut lalu diikuti dengan kesunyian. Teriakan rani tak lagi terdengar, lalu aku mendekati pintu ruang bersalin sambil berteriak-teriak "Rani, Raniiii kamu nggak apa-apa kan?"

"OEEEEK, OEEEEK, OEEEEK" suara tangis bayi akhirnya memecahkan kesunyian malam. Aku yang dengan cemas dan berkeringat di depan pintu bersalin ikut menjadi lega karena hormon rasa bahagia memacu emosiku yang tadinya rapuh.

Namun tak seberapa lama....

"GHUAAAAAH," "GHUAHAHAHAHA," "GROAAAAA."

Dari dalam kamar bersalin terdengar suara seperti auman hewan buas dan suara tawa yang berat sekali. Tanpa berpikir kudobrak pintu kamar bersalin dan kudapati kedua bidan tadi tergeletak di lantai, satu mantri yang ikut membantu persalinan juga ikut tergeletak tak bergerak di lantai yang sama. Mataku beralih ke ranjang tempat Rani melahirkan, ranjangnya penuh dengan darah, Rani terlihat tak sadarkan diri juga.

"Bayiku, mana bayiku tadi?" pikiranku tak bisa berpikir tenang hingga kudatangi Rani dan tiba-tiba.......

Sebuah Monyet hitam meloncat dari arah kemaluan rani dan hinggap di kepalaku. Tangannya mencakarku dengan kuat dan memukuli kepalaku.

Berikutnya aku ak sadarkan diri.

*
**
***
**
*

Sebulan telah berlalu, Aku dan rani kembali ke Sidoarjo.

Peristiwa malam itu tak bisa kulupakan dan membawa trauma bagi kami, terutama Rani. Yang akhirnya menolong kami pada malam itu adalah pak Sam yang datang bersama beberapa temannya, entah darimana Pak Sam bisa mengetahui jika malam itu terjadi 'peristiwa mencekam' di klinik tempat Rani bersalin.

Bagusnya kali ini adalah, Pak Sam bersedia menceritakan panjang lebar dari mulai latar belakang hingga cerita penghabisan untuk malam mengerikan itu.

Pak Sam adalah seorang pengusaha yang juga akrab dengan hal-hal supranatural. Hal itu jugalah yang membuat Pak Sam sering bepergian ke berbagai tempat diantarkan Fauzan, tentunya dari sinilah Fauzan juga sedikit tahu mengenai tempat-tempat yang didatangi oleh Pak Sam.

Menurut Pak Sam, situs Watu Lotnok adalah makam seorang Mpu yang pada masanya dikenal sebagai penyembuh yang hebat, termasuk dalam mendatangkan keturunan. Namun dewasa ini situs makamnya sering dipakai untuk berbuat musyrik (seperti yang telah kami lakukan). Situs Watu Lotnok juga memberikan malapetaka secara acak kepada pasangan yang datang, dengan cara apa yang nantinya akan dikandung oleh pasangan tersebut merupakan bayi calon raja Gendruwo yang bersemayam di pohon beringin yang ada di situs tersebut.

Penjelasan itu menjelaskan padaku latar belakang kehamilan aneh yang dialami oleh Rani. Pak Sam lalu bercerita pada malam Rani melahirkan, dia beserta beberapa temannya meringkus bayi Gendruwo itu dan membuangnya di sebuah tempat. Sekaligus Pak Sam mengambil 'biji' yang kami dapat dari Watu Lotnok dan sekaligus membuangnya juga.


Dua Tahun Berlalu
Bisa dibilang Rani sudah sembuh dari trauma, lalu kondisi fisiknya sudah pulih. Kami tak lagi memikirkan untuk punya momongan, kami berdua hanya ingin hidup tenang dan menikmati sisa akhir hayat ini dengan ikhlas.

Entah memang sudah takdirnya atau memang keiklasan kami saat ini membawa rahmat, Rani akhirnya hamil secara normal. Aku dan Rani sepakat untuk idak merayakan atau menggembar-gemborkan kehamilan rani kali ini, biar semua terjadi tanpa ada beban pikiran seperti dulu.

Pada usia tujuh bulan kehamilan Rani, dia merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Terutama pada bagian lehernya, sekilas terlihat seperti alergi pada kuki sehingga menimbulkan bercak merah yang melingkar mengelilingi lehernya. Menurut dokter sih itu terjadi bukan akrena kehamilannya, jadi Rani disanjurkan untuk memperbaiki menu makanannya dan diberikan obat anti alergi oleh dokter.

Akhirnya memasuki bulan ke sembilan kehamilan Rani. Dua minggu menjelang jadwal kelahiran Rani tiba-tiba ngidam dan minta diantarkan mencari Lontong Kupang malam-malam. Walau hampir tengah malam akhirnya ku turuti juga deh, namun kali ini Rani merengek minta ikut mencari, jadi kubiarkan dia ikut dengan mobil, Rani kusuruh duduk di kursi penumpang.

Kami berkeliling mencari Lontong Kupang hingga ke Surabaya, karena seingatku banyak yang jualan di daerah Kenjeran maka kuarahkan mobil kesana. Ketika kami selesai melewati makam Rangkah tiba-iba Rani mengeluh kalau perutnya sakit, mobil pun langsung kuarahkan menuju rumah sakit terdekat di daerah Tambak Rejo. Mobil kuputar balik menuju arah makam Rangkah karena rumah sakitnya berada di dekat situ.

Saking paniknya aku tidak memperhatikan suasana jalan, kanan-kiri tak kuperhatikan sama sekali hingga di ujung jalan terlihat bangunan megah menyerupai rumah sakit, "ini pasti tempatnya" gumamku dalam hati. seelah memarkirkan mobil kupapah Rani keluar dan langsung menuju UGD. Aku masih sempat melihat sekilas bahwa rumah sakit ini bangunannya kuno sekali seakan benar-benar peninggalan Belanda, padahal setahuku sudah direnovasi tampilannya menjadi modern beberapa tahun yang lalu.

Aku sampai di ruang Triage dan beberapa suster langsung menolong kami, Rani dinaikkan ke brankar/stretcher lalu didorong menuju kamar bersalin. Sesampainya di ruang bersalin suster-suster tadi ikut masuk dan menyuruhku tunggu di luar, tak lama sorang dokter juga masuk ke ruang bersalin.

"Apa aku tidak disuruh mengurus administrasinya dulu ya?" pikirku, tapi pikiranku kembali tertuju pada Rani.

Hampir dua jam dan tiba-tiba aku sadar bahwa tadi diriku ketiduran, di lorong rumah sakit kuperhatikan lampunya menjadi redup temaram, lalu dari ruang bersalin tak terdengar apa-apa seakan kosong.

"OEEEEK, OEEEEK, OEEEEK" suara tangis bayi kudengar dari balik pintu ruang bersalin. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk saja, toh bayinya sudah lahir.

Mataku terbelalak begitu berada di dalam ruang bersalin, tak kudapati satu orang pun. A-apa ini adalah kejadian yang sama seperti waktu itu?

"tes..tes tes tes" sebuah tetesan cairan kental berwarna merah kehitaman jatuh di kepala dan pundakku, aku mendongak dan kulihat dengan mata kepalaku Rani berdiri tepat diatasku. Rani lalu berjalan menuju dekat jendela, kakinya menapak di langit-langit ruang bersalin dan berjalan dengan santainya melawan gravitasi. Kulihat Rani menggendong seorang bayi yang diam tenang tak bersuara.

"Rani...apakah itu anaik kita, Rani?" tanyaku dengan gugup dan cemas.

Tak dijawabnya, Rani pun bergerak cepa menuju jendela dan meloncat kebawah. aku keluar dair ruang bersalin dan menuju ke halaman rumah sakit menuju tempat Rani tadi meloncat. Ketika aku sampai, kutemukan Rani sedang memutilasi bayi (yang kuduga adalah anak kami). Rani mencabik dan menggigit sampai putus tiap bagian tubuh dari bayi itu. Lalu dia memakan bagian-bagian tubuh bayi tadi dengan lahap hingga tersisa kepalanya.

"Letakkan kepala bayi itu Rani!" Teriakku tak digubris, Rani lalu menguliti kepala bayi itu dengan cara menggigitnya, sungguh jijik dan kejam sekali. Aku tak sanggup menahan airmata melihat istriku Rani menjadi kejam tak berperasaan seperti ini. Rani meletakkan kepala bayi itu dan berpaling.

"Kau mau pergi kemana Rani?" tanyaku dengan berurai airmata.

Kepala Rani memutar tanpa diikuti oleh badannya, aku terkejut dan perlahan mulai mundur menjaga jarak.

"Aku mau mengikuti hidup ibuku Mas Feri, aku lelah dengan dunia manusia." Kepala Rani pun memutuskan diri dari badannya dan melesat ke langit dengan organ dalammnya masih menggantung utuh.


-TAMAT_

Epilog - Pak Karta, mertuaku, menceritakan asal-usul Rani dan latar belakang keluarganya. Ayah Rani adalah dukun yang hebat di daerahnya dan dia jatuh cinta pada wanita Kuyang yang ditangkapnya. Hingga akhirnya mulai banyak orang yang tahu bahwa ayah Rani menikahi Kuyang, maka mereka diburu, ditangkap dan dibunuh. Pak Karta medapatkan Rani dari salah satu ketua adat yang masih berbelas kasih karena Rani masih bayi, dan Rani pun diserahkan ke Pak karta. Mertuaku disarankan membawa Rani ke tanah jawa agar kutukan bawaan dari ibunya bisa hilang.



*pada kejadian aslinya, Rani telah terlepas dari kutukannya, namun tidak bisa memiliki keturunan. Feri & Rani mengadopsi tiga orang anak sebagai rasa bersyukur mereka.

**cerita ditulis dengan persetujuan Rani (nama samaran) sebagai balas budi atas campur tangan penulis bersama rekan-rekan yang dulu ikut membantu.


No comments:

Post a Comment