Thursday 31 October 2019

Rumah Kami.........

Empat tahun setelah kejadian di tahun 1988, Indra sudah bekerja dan menetap di Yogyakarta di sela-sela kuliah S2-nya. Nia menikah setahun sebelumnya dan masih tinggal di Surabaya namun tinggal di rumah suaminya. Sedangkan Deni yang juga sudah menikah menetap di Surabaya dan tetap tinggal rumah keluarga bersama kedua orang tua mereka. Waktu pun berlalu....................



Surabaya, Desember 1994.


"Pak, Bu, Deni pamit pulang dulu, salam untuk mbah Ti (nenek) ya," lalu kusalami dan kucium  tangan kedua orangtuaku. "Nyetirnya gausah buru-buru Den, lewat tol jam segini lancar kok" pesan bapak padaku, ibu tak lupa mencium pipiku sebelum aku masuk ke dalam mobil.
Bapak dan ibuku akan tinggal dulu di Gresik selama semingguan untuk menemani mbah Ti karena mbah Kung (kakek) baru saja meninggal dunia subuh tadi. Istriku tadi sudah pulang duluan bareng mbak Nia dan suaminya, Indra mungkin besok malam sampai ke Surabaya, sedangkan aku baru bisa pulang jam 11 malam karena tadi bantu-bantu acara tahlil.

Gak enak rasanya harus meninggalkan istri sendirian di rumah, apalagi dengan status rumahku yang sudah sering mengalami gangguan makhluk halus. Mila, istriku, sebenarnya sudah mengalami gangguan-gangguan itu semenjak pertama mulai tinggal di rumah itu, tepatnya pada malam pertama setelah kami menikah. Waktu itu Mila yang sedang tidur disampingku tiba-tiba terbangun dengan penuh keringat dan nafasnya terengah-engah, lalu Mila menceritakan kepadaku malam itu juga bahwa dia baru saja bermimpi kalau dirinya dan mbak Nia dikejar-kejar bayangan hitam besaar yang ukurannya sekitar empat kali ukuran manusia normal. Bayangan itu mengejar keduanya dengan mengacungkan parang besar.

Setelah itu kusarankan istriku yang masih berkeringat itu untuk cuci muka dulu, lalu kuantar dia untuk cuci muka. "Aaaakh" kudengar teriakan Mila, dia lalu keluar dari kamar mandi sambil mewek, lalu dia menceritakan tentang apa yang baru saja dialaminya. Setelah cuci muka dia mengeringkan muka dengan handuk, di saaat itulah istriku ini merasakan telinganya seperti sedang ditiup, lalu terdengar suara tawa perempuan yang rada mengerikan. Dan semenjak itu Mila menjadi terbiasa dengan kejadian-kejadian ganjil di rumah kami, sama seperti penghuni lainnya.

Perjalanan pulang berlanjut, setelah menjemput istriku dari rumah mbak Nia kami langsung pulang. Mendekati rumah kubelokkan mobilku meyusuri jalan sepi nan gelap, "beli rumah kok di daerah yang kayak gini sih bapak" gumamku. Tinggal beberapa meter dari rumahku tiba-tiba terlihat seorang anak kecil sedang berdiri di tengah jalan membelakangi mobilku, aku langsung menekan pedal rem dan saking mendadaknya Mila sampai kaget terbangun dari tidurnya. "Sepertinya aku menabrak anak kecil" ucapku pada Mila, dia masih kaget sambil melihat ke arah depan juga. Tiba-tiba....anak kecil itu berdiri pas di depan mobilku "hihihihihi" tertawa lalu dia lenyap begitu saja. Istriku langsung merengek untuk buru-buru menjalankan mobil lagi untuk menuju ke rumah kami yang sudah terlihat.

Mila tidur sambil memeluk diriku, sementara diriku masih terjaga sambil memikirkan kejadian diluar tadi. Kalau kuingat-ingat lagi, dulu Indra pernah menceritakan kejadian yang dia alami ketika pertama kali meninggali rumah ini. Seingatku dia menceritakan mengenai seorang ibu muda berparas cantik dan anak perempuannya yang berparas bule, tapi aku lupa akan nama-nama mereka yang dulu dijelaskan oleh Indra. Rasanya aku baru saja menemukan kesamaan dari cerita Indra dengan peristiwa yang tadi kualami, anak kecil tadi itu perempuan dan berparas bule, tidak kulanjutkan lagi pemikiranku dan kucoba untuk menutup mata dan beristirahat.

Hari sabtu, pekerjaanku sebagai PNS libur, aku duduk santai di teras sambil menikmati udara pagi, sementara Mila membaca majalah wanita sambil menunggui sop yang dimasaknya di dapur. Ingatanku kembali ke tujuh tahun yang lalu, dimana kami menjual sebuah gramophone tua ke tukang rombeng yang lewat di depan rumah. Aku masih ingat ketika si tukang rombeng memeriksa benda itu, ditemukan sebuah foto usang yang didalamnya terdapat gambar seorang anak kecil sedang bermain ayunan sambil tertawa, wajahnya tak terlalu jelas karena di foto ini sudah banyak noda yang melekat. Foto ini ditemukan di bagian dalam kotak kayu mekanis dari gramophone, bapak lalu meminta foto tersebut untuk beliau simpan sebagai peninggalan sejarah dari rumah yang kami huni ini.

"Selamat pagi mas Deni" seorang wanita muda berparas cantik tiba-tiba menyapaku, belum sempat kubalas sapa dia sudah berjalan menghilang ke arah utara. Siapa ya tadi? Seumur-umur belum pernah lihat ada tetanggaku yang seperti wanitu itu tadi, parasnya cantik dengan kulitnya yang berwarna cerah, dia memakai semacam daster atau baju terusan berwarna kuning. Aku beranjak dari kursi lalu keluar halaman rumah, kutengok ke arah utara namun wanita tadi sudah tidak ada. Lalu aku menuju dapur untuk menanyakannya kepada istriku, dia kan ikut perkumpulan PKK di lingkungan RT.

"Nggak ada deh mas, tetangga kita kan rata-rata sudah 40an semua" jawab Mila, istriku. Tapi darimana wanita tadi bisa tahu namaku yah, istriku sendiri juga bingung.

Kriiing...kriiiing, telepon di ruang keluarga berbunyi. Kuangkat namun tidak ada suara dari seberang sama sekali, akhirnya kututup teleponnya. Karena masih pagi kucoba untuk tidak berpikir macam-macam, lalu aku memilih untuk santai di ruang tamu sambil membaca koran. Sekitar lima belas menit kudengar pintu rumah diketuk dari luar, kuletakkan koran lalu menoleh ke arah pintu, tak kudapati ada orang diluar dan suara ketukannya tak berlanjut. Kudekati pintunya karena penasaran, dari balik kaca pintu juga terlihat kalau pagar depan rumah tertutup. Mila menanyakan juga karena dari dapur suara pintu diketuk tadi juga terdengar, kujawab seadanya dan dia bisa memakluminya.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi, selesai memasak Mila melanjutkan pekerjaan sampingannya sebagai penulis cerita pendek. Istriku ini menulis cerpen untuk beberapa majalah wanita, pekerjaan ini sudah dijalaninya sejak SMA, sungguh wanita berbakat memang istriku. Melihat istriku sedang tekun mengetik aku jadi teringat, di gudang yang terletak di halaman belakang pernah kulihat ada mesin tik tua, ingin rasanya kutunjukkan pada Mila. "Mil, apa kamu tertarik dengan mesin tik tua? di gudang seingatku tersimpan satu." Tanpa memandangku Mila menjawab kalau dia tertarik karena ada orang dari salah satu majalah yang mengoleksi mesin tik, mungkin bisa dijual pada orang itu.

Aku beranjak dari kursi santai dan berjalan menuju gudang, langit terlihat sudah mendung jadi kusiapkan senter untuk menerangi gudang. Di depan pintu gudang sekelebat kurasakan ada anak perempuan berlari ke arah halaman depan, spontan aku menengok kearahnya namun tak kudapati apa-apa. Halaman belakang rumahku ini lebih mirip hutan karena ada tiga pohon besar yang sebagian tumbuh rindang menutupi sinar matahari, jadi ketika cuaca mendung begini halaman belakang jadi terlihat rada gelap. Akhirnya pintu gudang kubuka, kunyalakan senter dan mulai mencari dimana mesin tik tua itu disimpan.

Entah berapa lama gudang tidak pernah dibuka, namun keadaan gudang ini beserta barang-barang yang tersimpan di dalamnya hampir tidak berdebu. Ukuran gudang ini adalah 6x3 meter kata bapakku, didalamnya sebagian besar terisi dengan barang-barang peninggalan penghuni rumah ini sebelum kami. Setelah agak lama akhirnya kutemukan juga mesin tik tua itu, kubuka kain penutupnya dan aku terkejut.........sebuah kertas seukuran kartu pos terpasang pada papan ketiknya. Penasaranku begitu besarnya hingga kucabut saja kertas itu dan tak kusangka dibaliknya ternyata ada foto, tak salah lagi, yang kertas yang sedang kupegang saat ini adalah foto yang dulu ditemukan dari gramophone tua.

"Ingrid laten we naar huis gaan, het gaat regenen"
"nee, ik wil hier iets langer blijven"

Kudengar suara percakapan dari dua orang di luar gudang, tetapi bahasanya terdengar asing di telingaku, suaranya berasal dari  seorang wanita dewasa dan anak perempuan. Kuambil mesin tik dan foto tadi, kubawa ke teras untuk nanti kubersihkan dulu. Aku kembali ke gudang untuk mengunci pintunya, seorang anak perempuan yang sekelebat berlari memasuki gudang sontak membuatku kaget. Kembali kumasuki gudang rumah dan kucari anak perempuan tadi, lampu senter sudah kuarahkan ke seluruh penjuru ruangan namun tidak kutemukan dia, apakah aku sedang berhalusinasi. Rintik hujan kudengar sudah turun, tanpa pikir panjang aku keluar dari gudang dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Tak kuceritakan sedikit pun peristiwa tadi kepada istriku, aku langsung menuju teras sambil membawa kain lap untuk membersihkan mesin tik. Tidak perlu waktu lama untuk membersihkan mesin tik tua ini, lalu sebelum aku kembali ke dalam kuperhatikan lagi dengan lebih teliti foto usang si gadis kecil. Hmmmm, agak jauh di latar belakang foto ini samar terlihat seorang wanita berdiri dengan mengenakan setelan panjang, sejenak kupikir-pikir "bukannya ini mirip wanita yang tadi pagi menyapaku???"

Kenapa juga foto ini tadi diselipkan di mesin ketik, kulihat bagian belakangnya dan terlihat samar ada bekas ketikan yang halus namun tak bertinta, kuraba dengan jari pun nyaris tak terasa bekas ketikannya. Foto ini akhirnya kusimpan dulu tanpa memberitahukan keberadaannya pada Mila, lalu kutunjukkan mesik tik tua tadi kepada Mila dan dia langsung memeriksanya. "Ini Corona buatan tahun 1930 mas, ini sangat berharga" ujar Mila setelah memeriksanya, diriku tidak habis pikir ternyata istriku jago juga.

Mendadak kami dikejutkan dengan suara jendela yang diketuk-ketuk, asalnya dari kamar orangtuaku. Kutinggalkan Mila di ruang keluarga dan aku menuju ke kamar orangtuaku, suara ketukan itu masih terdengar tapi mulai samar-samar ketika aku sudah mendekati kamar. Pintu kamar bapak dan ibu tidak ditutup sehingga aku bisa langsung melihat ke dalam ruangannya, suara ketukan jendela itu tak lagi kudengar, tapi kulihat kipas angin di dalam kamar ini dibiarkan menyala. Dengan berteriakku menanyakan hal ini kepada Mila yang berada di ruang tamu, dia menjawab kalau dari semalam kipas angin itu dalam keadaan tidak menyala. Akhirnya kumatikan kipasnya, jendela kamar kututup karena sedang hujan, lalu aku kembali ke ruang keluarga untuk menemani Mila.

Di ruang keluarga kulihat Mila masih mengulik mesin tik tua tadi, sambil sesekali dia menekan tombol-tombolnya. Semakin lama kulihat justru aku merasakan Mila seperti sedang mengetikkan sesuatu memakai mesin tik tua ini, lalu tak lama Mila beranjak menuju mesin tik elektronik yang setiap hari dia gunakan untuk bekerja. Kertas di mesin tik miliknya dicabut lalu diletakkannya kertas kosong, sedang apa istriku ini? Sebelumnya aku tidak menyangka kalau Mila sedang 'diambil alih' tubuhnya, diriku baru menyadarinya ketika dia berhenti mengetik lalu terbatuk-batuk dan memanggil namaku dengan lemah. Kupapah Mila ke sofa lalu kuambilkan air putih, sembari berdoa kubantu meminumkan air tadi lalu kupijat-pijat bahu dan lengannya.

"Aku kenapa mas Deni, rasanya kok lemas dan agak samar semua tadi?" Tanya Mila dengan nada lemas. Kujawab dengan menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada dirinya, lalu dia memelukku sambil ketakutan. "Aku ada firasat kalau misteri ini harus diakhiri, penghuni terdahulu pasti juga mengalami hal yang sama dengan yang kita alami" ucapanku ini langsung dibalas oleh Mila, "Aku paham kalau maksudmu harus kita yang mengakhirinya mas, tapi dengan cara apa?"

Kujelaskan pada Mila kalau kami mungkin harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dibalik fenomena-fenomena kejadian ganjil ini. Besar atau kecilnya sebuah petunjuk pasti akan merujuk pada satu jawaban. Jam 16.00, langit sudah gelap karena mendung pekat dan sudah dua jam hujan yang tidak begitu lebat ini belum juga berhenti. Lampu-lampu sudah kunyalakan semua karena saking gelapnya keadaan sore ini, lalu Mila memanggilku dari ruang keluarga. Mila memberitahukan kepadaku sesuatu yang sama sekali tidak terpikirkan olehku dari siang tadi. Dia menggenggam pensil dan digosokkan ke belakang foto anak perempuan tadi, lalu dari arsiran-arsiran pensil itu terlihat kata-kata "Ini bahasa Belanda mas," kata Mila.

Istriku lalu menyalin kata-kata tersebut lalu menelepon kenalannya dari sebuah majalah untuk membantu menterjemahkan.

"we kunnen dit ding niet langer geheim houden, onze lijken moeten worden gevonden. wat het belangrijkste is, moet je Ingrid hoofd vinden.
help ons het te vinden ....... Inge"


Setelah menutup teleponnya, Mila menjelaskan kepadaku bahwa kami harus membantu menemukan 'mayat-mayat' dan 'kepala' dari seseorang yang bernama Ingrid. Kami hanya saling pandang sambil memasang muka bingung. Aku lalu teringat pada selembar kertas yang tadi secara tak sadar diketik oleh Mila, selembar kertas itu tadi tak sempat kubaca, kertas itu masih menempel di mesin tik milik istriku namun sungguh aneh, seharusnya ada ada yang tertulis diatas kertas ini, tapi tak kudapati satu huruf pun yang tercetak. 



Sepanjang sisa sore kami hanya menghabiskan waktu di ruang keluarga, hingga waktu maghrib telah tiba. Hujan belum berhenti juga hingga lepas maghrib, Mila sedang memanaskan makanan di dapur, aku duduk sendirian di ruang tamu sambil memandangi foto usang tadi, tak lama lalu kudengar suara televisi sedang menyala, kupikir itu pasti istriku yang sedang menontonnya, lalu kuhampiri ke ruang keluarga. Aku terkejut bukan main, kudapati tak ada istriku di ruang kelurga sedangkan televisi dalam keadaan menyala, majalah-majalah dan koran yang tadi tersusun rapi berserakan di lantai seperti habis dilempar. Bulu kudukku mulai berdiri merinding melihat suasana di ruang keluarga, tiba-tiba kudengar suara dari arah pintu depan, ada yang mengetuknya dengan keras sekali.



DOK, DOK, DOK! Kudatangi pintu depan dan kubuka, tak kutemukan seorang pun bahkan kulihat lantai di depan pintu masih kering tak ada bekas jejak kaki yang basah karena hujan. "AAAAAAKH mas Deniiii....." suara teriakan Mila kudengar sangat keras, aku bergegas mendatanginya kearah dapur, kudapati Mila sedang bersembunyi jongkok dibalik kursi meja makan. "Ada apa Mila, kamu habis melihat apaan?" tanyaku, Mila yang gemetaran segera memelukku sambil menajwab dengan ketakutan, "aku tadi mau pipis mas,,,,,,,,, terus ke kamar mandi tapi lampunya kok mati, tadi kan sudah kamu nyalakan ya? aku tekan berkali-kali saklarnya tapi tetap nggak mau nyala lampunya. Akhirnya aku nekat masuk saja karena sudah kebelet,,,,waktu mau keluar aku dengar gayungnya jatuh, aku menoleh ke belakang malah ada kaki besar berbulu hitam mas........tingginya sampai nembus langit-langit kamar mandi." 



Kutenangkan Mila kubawa dia ke kamar tidur kami, kekacauan di ruang keluarga belum kuceritakan apalagi kubereskan. Setelah Mila agak tenang aku kembali ke ruang tamu dengan maksud untuk membereskan majalah dan koran yang berserakan dan mematikan televisi. 



Aku melangkah ke ruang tamu, sesampainya disana diriku dibuat tertegun. Di depan televisi yang sedang menyala kulihat ada seorang anak perempuan duduk di lantai, lalu di sofa kulihat ada seorang wanita berparas cantik, "bukankah dia yang menyapaku pagi tadi?" Aku hanya bisa diam membisu menatap mereka disana, mulut dan kakiku seakan dikekang oleh sesuatu yang tak terlihat oleh mata. Wanita yang duduk di sofa itu mulai menatapku dengan senyum tipis, dan seketika itu sebuah lagu dalam bahasa Belanda mulai terdengar dengan jelas dari radio di atas bufet yang menyala sendiri, penampakan-penampakan yang ganjil pun mulai muncul tanpa aku bisa menutup mata untuk mengabaikannya.



Dua pria asing yang sangat tinggi muncul dari dinding lalu melintas di depanku berjalan menembus dinding ke arah ruang tamu, kulit mereka yang kering terkelupas terlihat jelas ketika mereka sangat dekat dihadapanku. Aroma melati bercampur busuk mulai tercium memenuhi ruangan, sekelebat selendang kuning melayang seakan-akan diterbangkan angin, lalu menghilang di langit-langit. Yang tambah mengagetkan adalah tiba-tiba tubuhku seakan didorong dari belakang lalu kulihat dua buah kaki besar berbulu hitam melangkahi kepalaku, pangkal kakinya tak terlihat karena tingginya menembus langit-langit rumah. Kaki itu terus melangkah hingga menghilang menembus dinding, lalu disusul suara percakapan oelh beberapa orang dalam bahsa Belanda terdengar menggema dan semakin membuat bulu kudukku berdiri, sementara aku masih belum bisa menggerakkan apa pun dan hanya bisa terdiam di tengah-tengah peristiwa ganjil nan mencekam ini.



BLUUUGH....Sesuatu mendorongku dari belakang dan membuatku jatuh terjerembab, dan aku bisa bergerak dan bersuara lagi. "Apaan sih ini, aduh dadaku sakit" rintihku, "Mas Deniiiii, kipas angin dikamar menyala sendiri tuuuh, aku panggil-panggil kamu gak nyahut mas," Ternyata Mila yang mendorongku, dia terlihat ketakutan sekali. Anak kecil dan wanita itu menghilang, sementara di ruang tamu ini televisi dan radio masih menyala, lalu koran dan majalah berserakan membuat Mila jadi tambah ketakutan, dia kupeluk erat sambil mematikan televisi dan radio itu, koran dan majalah kupinggirkan saja tanpa dirapikan kembali. Lalu kami kembali ke kamar, benar juga apa yang dikatakan Mila, kipas angin di kamar kami menyala tapi......kulihat dengan jelas kalau kabelnya tidak menancap di colokan listrik, aku bergegas membawa Mila pindah ke ruang tamu.



Kutenangkan Mila di ruang tamu, lalu kuambilkan dia sebotol air putih dari dapur. Aku mendengar suara kamar mandi seperti sedang dipakai, tak kuhiraukan da aku langsung menemui Mila di ruang tamu. Kukatakan pada istriku yang sedang ketakutan ini untuk berdoa saja kepada Tuhan supaya keanehan malam ini segera berakhir dan kami semua dilindungi olehNya. 


Baru saja kami merasa agak tenang, kemudian PETT....lampu seisi rumah mati, apakah listrik di daerah ini padam, pikirku. Kutinggalkan Mila sejenak untuk menyalakan ublik (lampu minyak) supaya ada penerangan di beberapa ruangan. Mila akhirnya ikut menyusulku karena gerah ditinggal sendirian, ketika kunyalakan ublik untuk menerangi kamar mandi terdengar suara pintu depan ada yang mengetuk, lengan kananku spontan dipeluk erat oleh Mila. Dengan ragu kami berjalan menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu depan. Dari ruang keluarga terlihat cahaya menembus dari kaca pintu, segera kudatangi dan kubuka pintu itu........

"Mas sama mbak Mila habis ngapain, kupikir pada malam mingguan ke Mitra (sebuah gedung bioskop)." Ternyata yang mengetuk pintunya si Indra, adikku, diriku sampai lupa kalau malam ini dia ke Surabaya.

Hampir setengah jam kujelaskan semua yang kami alami di rumah ini, Indra bisa memahaminya karena dia dulu juga diganggu oleh penghuni gaib rumah ini. Dari cerita pesan gaib yang muncul secara misterius dari balik foto, Indra mengucapkan dua buah nama yang sekarang tidak asing bagi kami, ya kedua nama itu adalah Inge dan Ingrid. Dari ruang tamu kami pindah duduk ke ruang keluarga, disitu kami mengisi waktu dengan mengalihkan pembicaraan ke arah yang logis mulai dari cerita tentang kakek kami yang kemarin meninggal hingga persiapan nikahnya Indra.

Ctak, ctak,,,ctak ctak ctak, ctak.....suara mesin tik menghentikan obrolan kami di ruangan gelap yang diterangi ublik ini, kami bertiga langsung menoleh ke sumber suara itu. Mesin tik tua yang dari tadi kuletakkan di meja ternyata bergerak sendiri tombol ketiknya, Mila langsung merangkulku, kami terus melihat dengan tidak percaya kalau mesin tik itu benar-benar bergerak mengetik sendiri, hingga...........perlahan dalam temaram cahaya ublik, sebuah sosok mulai terlihat dari samar hingga jelas. Wanita cantik berpakaian kuning sedang mengetik sesuatu, airmata terlihat menetes di matanya, "Inge..." ucap Indra pelan.

JLEGAAAAAARRR.....suara petir mengagetkan kami, dan ketika pandangan kami kembali menuju ke wanita misterius tadi, wajah yang tadinya cantik mengelupas kulitnya dan samar perlahan wujudnya lenyap jadi asap diiringi suara tawa seram yang menggema di seluruh ruangan. Semerbak wangi melati kembali tercium, Mila semakin erat memelukku dengan ketakutan sedangkan Indra mengambil sikap siaga. Dan benar sekali sebuah hembusan angin dingin yang datang entah darimana terasa sedang mengelilingi kami bertiga, dari arah kamar Indra yang pintunya tertutup rapat terdengar lagu Belanda yang dinyanyikan oleh suara anak kecil, pandangan kami otomatis tertuju kesana dan kali ini kami diperlihatkan munculnya sosok yang oleh Indra dikenalnya sebagai Inge dan Ingrid, mereka muncul menembus pintu dari kamar adikku itu. Dari belakang menyusul sosok dua laki-laki bule (sepertinya orang Belanda) dan seketika mereka muncul salah satunya langsung menebas leher Ingrid si anak perempuan berparas bule, kepalanya tergelinding kearah kami dan berhenti kira-kira sepuluh langkah dari posisi kami berdiri. Inge terkejut dan berteriak, lalu dia lari tanpa menapakkan kakinya ke lantai, teriakkannya lama-lama seperti terjemahkan di kepalaku, lebih mirip sumpah serapah kepada dua lelaki Belanda yang menyakiti anaknya itu. Wujud kedua lelaki itu berubah menjadi menyeramkan mirip seperti mayat busuk, mereka lalu mengejar Inge ke arah dapur. 

"ze haten me omdat ik uit een autochtone vrouw was geboren" ucapan ini keluar dari kepala Ingrid.....

"Mereka membunuhnya karena terlahir dari wanita pribumi!" ucap kami bertiga, dan seketika itu kami saling pandang dengan heran. Bagaimana kami mengetahui arti dari ucapan Ingrid, keheranan kami tak berlangsung lama karena Mila berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke kepala Ingrid yang melayang. Merasa terdesak kuajak Indra dan Mila masuk ke kamarku dan mengunci pintunya dari dalam. Mila kusuruh istirahat di tempat tidur, Indra dan diriku berjaga-jaga di tepian tempat tidurnya.
"Apes kamu Ndra, baru saja pulang sudah berurusan dengan kejadian kayak gini" ucapku pada Indra, dia lalu menjawab "Bukannya kita sudah mengalami hal ini sejak pertama kali menghuni rumah ini mas, cuma lebih kecil saja gangguannya."

TOK TOK.....CKLEK! Pintu kamarku diketuk dan ada yang berusaha memainkan gagang pintunya, kuambil senter yang ada di meja kamar karena cahaya ublik kurang terang, lalu kusorotkan senternya ke arah pintu. Pas dibawah pintu diselipkan sebuah kertas, sejenak aku saling pandang dengan Indra lalu dia tanpa kusuruh langsung mendekati pintu dan mengambil kertas itu. Dengan bantuan cahaya senter kami membaca isi kertas itu, sebuah pesan yang diketik dengan tinta yang basah. "Baunya kok amis?" ujar Indra, senter yang kupegang lalu didekatkan oleh Indra ke tulisan di kertas itu, "Tinta ini, sep-sepertinya dari darah mas..." Ucapan Indra barusan sedikit membuatku mual, lalu kami mulai membacanya.

"Tahoekah kaliann,,,,,kebetoelan jang mengerikan, 
hhhhhhhhhh boeyoetmoe ternjata kacoeng meneer Willsengoerd,,
dia orang jang telah mengoeboerkan keapalaa Jngrid
temoekanlah kepaala Jngrid,,,kasihan annak gadis saja menderita.
Jnge van der Jaanschente"

Agak lemas, aku merebahkan bddanku di sebelah Mila, Indra dengan gestur rasa tak percaya terlihat diam dan berpikir. 

Pukul 01.58, hujan masih belum berhenti dan listrik masih belum menyala. Aku masih terjaga bersama Indra di dalam kamarku, Mila tertidur pulas dan sesekali aku seka keringat di wajahnya. Sudah beberapa jam sejak kejadian terakhir aku dan Indra membahas mengenai rumah ini, apakah bapak kami sudah mengetahui sejarah rumah ini atau ini semua murni kebetulan lalu nasib mengarahkan kami sekeluarga ke rumah ini? Segala posibilitas kubicarakan dengan Indra, kami tak ingin kejadian-kejadian seperti datang rutin dan berlarut-larut selalu menghantui kami atau penghuni rumah ini setelah kami. 

Indra sekali lagi menceritakan pertemuannya dengan Inge dan Ingrid pada tahun 1988, sampai di bagian "Inge mencopot kepala Ingrid di taman bermain dekat rumah" aku seakan mendapat link yang sepertinya bisa menguak masa lalu 'mereka' berdua dan rumah ini. "Mungkinkah kepala Ingrid ditanam di sebuah lokasi di dalam taman itu Ndra, lalu Inge juga dibunuh dan mayatnya dikubur bersama dengan mayat Ingrid?" 

Indra menjawab "Bisa jadi mas, tapi lokasi mayatnya...apa mungkin berada di pohon beringin besar itu yang diujung jalan, malam itu aku melihat mereka menembus masuk ke batang pohonnya."

Kujawab belum tentu, lalu entah kenapa tiba-tiba terbesit di pikiranku "Apa mungkin Ndra, mayat keduanya dikuburkan di rumah ini?" Indra mengangguk, dia berpikir sambil melihat sekeliling "Jika pikiran kita sama nih mas, di sebelah mana di rumah ini mereka dikubur?" pertanyaan indra ini tak bisa langsung kujawab. 

"Mungkinkah di gudang?" ucap Mila yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
"Coba kita ingat algi ukuran gudang di rumah ini, bukankah 6x3 meter itu terlalu besar untuk sebuah gudang. Ukuran itu kan kira-kira sepertiga dari ukuran rumah ini" Lanjut Mila.

Lalu Indra menambahkan kemungkinan yang semakin menguatkan pemikiran Mila, "Tiga pohon besar yang di halaman belakang bukankah itu sudah cukup tua umurnya mas, kalau perkiraan mbak Mila tadi tepat, berarti ketiga pohon itu sengaja dibuat sebagai pengalih perhatian atau untuk menutupi posisi gudang."

BYAAR...Listrik tiba-tiba menyala dan lampu-lampu di rumah kami kembali menerangi tiap ruangan (mungkin saja). Seketika itu kami hanya saling pandang sebagai tanda sepakat atas pemikiran-pemikiran tadi, lalu Indra mengajak untuk memeriksa tiap ruangan dan kami bertiga segera keluar dari kamar. Televisi dalam keadaan menyala (padahal tadi sudah kumatikan) lalu kumatikan, Aku bersama Mila memeriksa ruang tamu, Indra memeriksa kamar bapak dan ibu. Setelah itu kami bertiga ke dapur, semua normal, kamar mandi pun lampunya menyala.

"Dua jam lagi subuh, kita tidur saja dulu Ndra, ngumpul di kamarku saja seperti tadi" Indra dan Mila sependapat, lalu kami berusaha istirahat setelah melewati kejadian-kejadian yang kami alami malam ini.
,
,
,
,
,
Pukul 08.21, aku memanggil pak Sigit seorang petugas lingkungan dan penggali kubur di wilayah rumahku. Lantai di dalam gudang rumahku ini tidak di cor,hanya lantai ubin. Kami harus mengira-ngira dulu di bagian mana kemungkinan 'keduanya" dikuburkan, tiba-tiba indra memanggil kami "Sini mas, ada lantai yang menggembung di balik lemari kayu sebelah sini."

Tanpa pikir panjang aku dan pak Sigit mulai menggali, kami menjebol dulu lantai ubin itu dengan linggis, Mila dan Indra menyaksikan penggalian ini. Penerangan di dalam gudang ini hanya sebuah lampu petromak dan pak Sigit belum kami beritahu apa yang sedang digali ini. sekitar 1.5 meter menggali pacul pak Sigit menyentuh sebuah benda padat yang terbuat dari logam, kami lanjutkan menggali hingga benda ini terkuak bentuknya. Setelah 48 menit menggali terlihat bahwa benda yang terkubur ini adalah sebuah kabinet dari besi, dengan sedikit gemetar akhirnya kuberanikan untuk membukanya dan...................pemandangan memilukan tersingkap di dalam kabinet yang sudah lama terkubur ini, kerangka komplit seorang wanita dewasa bertumpuk dengan kerangka anak kecil tanpa tengkorak.

Pak Sigit yang masih terkejut setelah melihatnya kuajak kembali ke permukaan, Indra lalu menjelaskan semuanya ke pak Sigit, Mila kusuruh menelepon polsek untuk mengirimkan petugas.
Pukul 11.32 siang, kedua kerangka itu sudah selesai diangkat dan kami sudah memberikan keterangan kepada polisi, termasuk bagaimana kronologi-kronologi awal yang tidak masuk diakal. Pada kesempatan ini juga aku meminta ijin kepada petugas untuk sekali lagi melakukan penggalian, setengah tidak percaya pihak berwajib mengijinkanku. Kali ini kuajak pak Sigit menuju ke taman bermain di dekat rumahku, kali ini benar-benar membuat kami bingung karena tak ada petunjuk satu pun, mendadak Indra merebut sekop yang kubawa. Indra berjalan menyisiri tiap sudut taman hingga dia berhenti pada satu lokasi yang dimana terdapat banyak bangkai rajungan, lalu dia mulai menggali, pak Sigit pun juga langsung bergerak dan mulai mengglai dengan menggunakan paculnya.

Hingga akhirnya sekop Indra menyentuh sebuah benda rapuh dari dalam tanah, kemudian digalinya tanah disekitarnya dengan hati-hati.........sebuah tengkorak kepala anak kecil diangkat oleh Indra, semua yang hadir menyaksikan kaget dan tercengang. Kepolisian akhirnya yang mengambil alih masalah ini, ahli budaya juga dilibatkan, aku dan Indra menjelaskan semua kejadian ini kepada bapak sampai beliau terkejut, lemas dan berkali-kali mengelus dada.

Selama tiga minggu polisi beserta tim dari dinas cagar budaya menyelidiki rumah orang tuaku. Kami sekeluarga akhirnya sepakat untuk menjual rumah itu, karena ada tawaran dari pemerintah kota dan rumah kami dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan. Kejadian-kejadian yang pernah berlalu tak pernah kami bicarakan lagi, bahkan untuk diwariskan sebagai cerita untuk keturunan kami.


Surabaya, Januari 1995.

Sebuah cerita bersambung dimuat di sebuah majalah, jalan ceritanya sama persis dengan sejarah yang pernah terjadi di bekas rumah kami, aku tak langsung menuduh Mila sebagai penulisnya karena dia memutuskan rehat sebagai penulis selama setahun dan mesin tik elektroniknya sengaja ikut dijual beserta rumah kami dulu. Beredar kabar bahwa penulis cerita bersambung itu tak sengaja menemukan berlembar-lembar naskah yang diketik tidak utuh,entah darimana ditemukannya.......



-TAMAT-

No comments:

Post a Comment