Monday 21 March 2022

Kuyang Pemakan Orok



"Letakkan kepala bayi itu Rani!" Teriakku tak digubris, Rani lalu menguliti kepala bayi itu dengan cara menggigitnya, sungguh jijik dan kejam sekali.

5 tahun yang lalu...
"Percaya deh, kali ini pasti ada hasilnya," bujukku pada Rani. Kami sudah tujuh tahun menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak. Akhirnya di tahun ketujuh ini aku menyerah dan mulai berpandangan musyrik, aku mulai gemar kesana kemari mencari informasi mengenai lelaku yang bisa membuahkan keturunan bagi yang memintanya.

Rani yang mulanya ragu mulai cemas, tangannya diremas-remas sendiri seraya berkata, "Aku nurut kamu saja Mas, sudah capek pula aku mikirin omongan Bapak dan kakak-kakakku yang selalu menyinggung tentang momongan." Rani istriku dibesarkan oleh keluarga angkat, kedua orang tuanya meninggal di Kalimantan lalu Rani yang masih bayi dibyong ke Jawa Timur oleh keluarga angkatnya.

"Aku juga tak tahu harus kemana lagi, ilmu kedokteran nggak menghasilkan apa pun selama tujuh tahun ini, tapi aku yakin kali ini kita pasti dapat momongan. Kata Fauzan situs Watu Lotnok ini sudah termasyur bagi pasangan-pasangan yang mengharapkan keturunan cepat." Yah kami sedang dalam perjalanan ke Tulungagung menuju sebuah tempat kerama bernama Watu Lotnok untuk meminta berkah agar diberi momongan secepatnya.

Fauzan adalah sopir dari atasanku Pak Sam, yang sering mengantarkan kemana saja Pak Sam ingin jalan-jalan. Dari Fauzan inilah aku mengetahui tentang situs Watu Lotnok ini, hingga akhirnya saking penasarannya aku sempatkan googling dan mendapatkan berbagai informasi serta review mengenai situs yang dikeramatkan ini.

Akhirnya kami tiba di tujuan kami, situs Watu Lotnok di Tulungagung. Aku menyetir sendiri mobilku berdua hanya dengan Rani istriku, dan saat kami tiba di situs tersebut waktu sudah menunjukkan jam 20.46 malam. Sesuai ekspektasi kami bahwa kami memang diharapkan untuk bermalam di situs ini hingga pagi, tentunya sambil berdoa terus-menerus mengharapkan sebuah keturunan.

Oleh juru kunci Watu Lotnok kami dipandu ke sebuah tempat yang berada tepat dibawah pohon beringin raksasa, kesannya sungguh menyeramkan sekali malam ini. dibawah pohon beringin tersebut terdapat sebuah batu hitam yang bentuknya menyerupai alat kelamin pria. Cermat mataku menatap ternyata disebelahnya lagi terdapat sebuah makam yang panjangnya kira-kira 3 meter lebih dengan nisan yang dibungkus kain merah kumal.

Oleh juru kunci, kami berdua dipersilahkan bermalam disitu dan dibolehkan untuk duduk semedi atau berbaring, lalu "kalian juga diharapkan untuk bercumbu sebentar saja, tapi jangan sampe bersuara ya" ucap juru kunci tersebut pada kami. Aku dan Rani akhirnya melakukan yang disampaikan oleh juru kunci tadi. Kami memilih berbaring dan bercumbu seperti yang biasa kami lakukan di rumah.

"JLEBUUUK" suara sebuah benda jatuh terdengar tak jauh dari posisi kami bercumbu, Rani yang lebih dulu melihatnya menunjuk ke arah suara itu, lalu aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Ternyata yang jatuh ini sebuah biji sebesar dan mirip buah salak, lalu aku kembali menuju Rani.

"Aneh ya, pohon beringin kan tidak menghasilkan buah" ucapku, Rani juga bingung lalu menyuruhku untuk meletakkan saja biji tadi kemudian kami melanjutkan 'ritual' hingga lupa waktu.

"Mas, Mbak, sudah pagi loh ini. Ayo bangun terus bersih-bersih diri dulu di sendang sebelah sana" ucap juru kunci Watu Lotnok membangunkan kami.

Rani dan diriku membersihkan diri di sebuah sendang yang letaknya dekat dengan situs utama tadi, dan tak lama ketika kami menikmati bebersih diri ini tercium aroma bunga melati yang sangat pekat. Saking pekatnya aroma melati ini kepalaku menjadi agak pusing, Rani juga merasakan hal yang sama lalu mengajakku untuk menyudahi saja. Setelah itu kami berdua berpamitan pulang pada si juru kunci lalu aku bermaksud untuk memberikan sebuah amplop sebagai tanda terima kasih. Si juru kunci ini dengan halus menolak pemberianku, dia bilang pantang untuk menerima segala pemberian dari pengunjung. Namun tak lama setelah itu juru kunci itu menyerahkan sesuatu kepada kami.

"Kalian tadi lupa untuk membawa 'berkah' ini bersama kalian, jadi kuberikan saja daripada kalian datang kesini hanya sisa-sia. Hati-hai di perjalanan ya Mas, Mbak, semoga berkah ini membawa rahmat untuk kalian," ucapnya lalu berpaling dari kami.

Rani membuka pemberian tadi, sebuah bungkusan kain merah yang di dalamnya ternyata biji yang semalam jatuh, "kita apakan biji ini Mas Feri?" aku juga bingung tapi kusuruh menyimpan saja buat kenang-kenangan.

Selang dua minggu sejak kkunjungan kami berdua ke Watu Lotnok Rani mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Aku membeli beberapa merek alat uji kehamilan untuk Rani, setelah dicoba hasilnya positif semua. Kemudian kami cek kehamilan ke beberapa klinik dan hasilnya juga menyatakan kalau Rani positif hamil. Namun ada yang dinilai janggal oleh beberapa kerabat kami, kehamilan Rani ini tidak disertai mual, ngidam bahkan sampai di usia kehamilan tiga bulan perut Rani masih belum membesar layaknya usia kandungan yang normal.

Kami pergi ke dokter menanyakan hal ini, dan dokter yang memeriksa Rani dengan kukuh mengatakan kalau Rani ini beneran hamil dan ada janin di rahimnya. Untunglah semua kecemasan kami tadi menghilang di bulan ke 6 kehamilan Rani, perutnya membesar dan sudah tidak terdengar omongan-omongan aneh lagi dari kerabat. Rani dan diriku sepakat untuk idak melakukan USG sebagai langkah kejutan agar kami tidak terlalu hype mengenai jenis kelamin calon bayi kami ini.

Hampir 2 Tahun Kemudian....
Usia kandungan Rani sudah 21 bulan, tapi Rani masih belum melahirkan. Malu, takut, cemas akhirnya kuputuskan untuk memboyong Rani ke rumah peninggalan kakekku di Magelang. Aku menyewa perawat pribadi untuk memantau keadaan Rani, dan aku mengajukan surat pindah dari Sidoarjo ke Magelang yang langsung disetujui oleh atasanku. keluarga serta kerabatku yang mengetahui hal ini dengan tegas kusuruh untuk tutup mulut dan menjauhi kami saja daripada menambah kecemasan.

Seminggu di Magelang Pak Sam atasanku datang berkunjung. Tapi ada alasan lain mengapa Pak Sam mengunjungiku.

"Feri, kamu nggak dikabari kalau Fauzan baru saja meninggal?" tanya Pak Sam.

"Tidak Pak, tu-tunggu dulu. Kematian Fauzan apa ada hubungannya dengan kecelakaan kendaraan operasional kantor kita Pak?" tanyaku balik.

"Nah itu bener kamu Fer," jawab Pak Sam. "Tapi gini loh Fer, aku ada alasan lain untuk menemuimu kemari. Setahun lalu kudengar Fauzan sempat memberitahu tentang sebuah tempat keramat ya padamu?" lanjut Pak Sam.

"Iya Pak, Fauzan melakukan itu. Lalu hubungannya dengan kunjungan Pak Sam apa ya, saya bingung loh ini Pak" ucapku seraya agak lemas.

"Feri, apa pun itu dan apabila sudah kamu lakukan, sebaiknya dibatalkan dan minta pertolongan kepada Allah Fer, wes aku cuma sanggup ngomong gitu saja. Batasan pengetahuanku cuma segitu saja untuk menolong kamu sama Rani." Pak Sam setelah itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke Madiun.

Walau kami sempat bicara panjang lebar api omongan Pak Sam selalu berhenti di nasehat yang sama, dimana diriku jadi pusing karena tak tahu apa-apa.

Menjelang 2 Tahun Kehamilan Rani
"AAAAAKH SAKIT MAAAS, SAKIIIIIIT, AKU WES NGGAK KUAT MAS FERIIIII" Rani masih berteriak kesakitan menjelang kelahiran bayi pertama kami. Pada klinik kecil tempat Rani melahirkan untungnya sedang tidak ada pasien yang menginap, bidan di klinik ini sampai kewalahan hingga minta ijinku untuk membawa pertolongan bidan lain yang rumahnya dekat. Teriakan Rani sungguh memilukan hingga aku ikut panik seakan ikut merasakan rasa sakit yang dia alami.

Hampir tiga jam belum juga ada perkembangan, hingga akhirnya secara iba-tiba terdengar suara petir yang keras sekali "JEGLEEEEEEEEER," suaranya mendatangkan kejut lalu diikuti dengan kesunyian. Teriakan rani tak lagi terdengar, lalu aku mendekati pintu ruang bersalin sambil berteriak-teriak "Rani, Raniiii kamu nggak apa-apa kan?"

"OEEEEK, OEEEEK, OEEEEK" suara tangis bayi akhirnya memecahkan kesunyian malam. Aku yang dengan cemas dan berkeringat di depan pintu bersalin ikut menjadi lega karena hormon rasa bahagia memacu emosiku yang tadinya rapuh.

Namun tak seberapa lama....

"GHUAAAAAH," "GHUAHAHAHAHA," "GROAAAAA."

Dari dalam kamar bersalin terdengar suara seperti auman hewan buas dan suara tawa yang berat sekali. Tanpa berpikir kudobrak pintu kamar bersalin dan kudapati kedua bidan tadi tergeletak di lantai, satu mantri yang ikut membantu persalinan juga ikut tergeletak tak bergerak di lantai yang sama. Mataku beralih ke ranjang tempat Rani melahirkan, ranjangnya penuh dengan darah, Rani terlihat tak sadarkan diri juga.

"Bayiku, mana bayiku tadi?" pikiranku tak bisa berpikir tenang hingga kudatangi Rani dan tiba-tiba.......

Sebuah Monyet hitam meloncat dari arah kemaluan rani dan hinggap di kepalaku. Tangannya mencakarku dengan kuat dan memukuli kepalaku.

Berikutnya aku ak sadarkan diri.

*
**
***
**
*

Sebulan telah berlalu, Aku dan rani kembali ke Sidoarjo.

Peristiwa malam itu tak bisa kulupakan dan membawa trauma bagi kami, terutama Rani. Yang akhirnya menolong kami pada malam itu adalah pak Sam yang datang bersama beberapa temannya, entah darimana Pak Sam bisa mengetahui jika malam itu terjadi 'peristiwa mencekam' di klinik tempat Rani bersalin.

Bagusnya kali ini adalah, Pak Sam bersedia menceritakan panjang lebar dari mulai latar belakang hingga cerita penghabisan untuk malam mengerikan itu.

Pak Sam adalah seorang pengusaha yang juga akrab dengan hal-hal supranatural. Hal itu jugalah yang membuat Pak Sam sering bepergian ke berbagai tempat diantarkan Fauzan, tentunya dari sinilah Fauzan juga sedikit tahu mengenai tempat-tempat yang didatangi oleh Pak Sam.

Menurut Pak Sam, situs Watu Lotnok adalah makam seorang Mpu yang pada masanya dikenal sebagai penyembuh yang hebat, termasuk dalam mendatangkan keturunan. Namun dewasa ini situs makamnya sering dipakai untuk berbuat musyrik (seperti yang telah kami lakukan). Situs Watu Lotnok juga memberikan malapetaka secara acak kepada pasangan yang datang, dengan cara apa yang nantinya akan dikandung oleh pasangan tersebut merupakan bayi calon raja Gendruwo yang bersemayam di pohon beringin yang ada di situs tersebut.

Penjelasan itu menjelaskan padaku latar belakang kehamilan aneh yang dialami oleh Rani. Pak Sam lalu bercerita pada malam Rani melahirkan, dia beserta beberapa temannya meringkus bayi Gendruwo itu dan membuangnya di sebuah tempat. Sekaligus Pak Sam mengambil 'biji' yang kami dapat dari Watu Lotnok dan sekaligus membuangnya juga.


Dua Tahun Berlalu
Bisa dibilang Rani sudah sembuh dari trauma, lalu kondisi fisiknya sudah pulih. Kami tak lagi memikirkan untuk punya momongan, kami berdua hanya ingin hidup tenang dan menikmati sisa akhir hayat ini dengan ikhlas.

Entah memang sudah takdirnya atau memang keiklasan kami saat ini membawa rahmat, Rani akhirnya hamil secara normal. Aku dan Rani sepakat untuk idak merayakan atau menggembar-gemborkan kehamilan rani kali ini, biar semua terjadi tanpa ada beban pikiran seperti dulu.

Pada usia tujuh bulan kehamilan Rani, dia merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Terutama pada bagian lehernya, sekilas terlihat seperti alergi pada kuki sehingga menimbulkan bercak merah yang melingkar mengelilingi lehernya. Menurut dokter sih itu terjadi bukan akrena kehamilannya, jadi Rani disanjurkan untuk memperbaiki menu makanannya dan diberikan obat anti alergi oleh dokter.

Akhirnya memasuki bulan ke sembilan kehamilan Rani. Dua minggu menjelang jadwal kelahiran Rani tiba-tiba ngidam dan minta diantarkan mencari Lontong Kupang malam-malam. Walau hampir tengah malam akhirnya ku turuti juga deh, namun kali ini Rani merengek minta ikut mencari, jadi kubiarkan dia ikut dengan mobil, Rani kusuruh duduk di kursi penumpang.

Kami berkeliling mencari Lontong Kupang hingga ke Surabaya, karena seingatku banyak yang jualan di daerah Kenjeran maka kuarahkan mobil kesana. Ketika kami selesai melewati makam Rangkah tiba-iba Rani mengeluh kalau perutnya sakit, mobil pun langsung kuarahkan menuju rumah sakit terdekat di daerah Tambak Rejo. Mobil kuputar balik menuju arah makam Rangkah karena rumah sakitnya berada di dekat situ.

Saking paniknya aku tidak memperhatikan suasana jalan, kanan-kiri tak kuperhatikan sama sekali hingga di ujung jalan terlihat bangunan megah menyerupai rumah sakit, "ini pasti tempatnya" gumamku dalam hati. seelah memarkirkan mobil kupapah Rani keluar dan langsung menuju UGD. Aku masih sempat melihat sekilas bahwa rumah sakit ini bangunannya kuno sekali seakan benar-benar peninggalan Belanda, padahal setahuku sudah direnovasi tampilannya menjadi modern beberapa tahun yang lalu.

Aku sampai di ruang Triage dan beberapa suster langsung menolong kami, Rani dinaikkan ke brankar/stretcher lalu didorong menuju kamar bersalin. Sesampainya di ruang bersalin suster-suster tadi ikut masuk dan menyuruhku tunggu di luar, tak lama sorang dokter juga masuk ke ruang bersalin.

"Apa aku tidak disuruh mengurus administrasinya dulu ya?" pikirku, tapi pikiranku kembali tertuju pada Rani.

Hampir dua jam dan tiba-tiba aku sadar bahwa tadi diriku ketiduran, di lorong rumah sakit kuperhatikan lampunya menjadi redup temaram, lalu dari ruang bersalin tak terdengar apa-apa seakan kosong.

"OEEEEK, OEEEEK, OEEEEK" suara tangis bayi kudengar dari balik pintu ruang bersalin. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk saja, toh bayinya sudah lahir.

Mataku terbelalak begitu berada di dalam ruang bersalin, tak kudapati satu orang pun. A-apa ini adalah kejadian yang sama seperti waktu itu?

"tes..tes tes tes" sebuah tetesan cairan kental berwarna merah kehitaman jatuh di kepala dan pundakku, aku mendongak dan kulihat dengan mata kepalaku Rani berdiri tepat diatasku. Rani lalu berjalan menuju dekat jendela, kakinya menapak di langit-langit ruang bersalin dan berjalan dengan santainya melawan gravitasi. Kulihat Rani menggendong seorang bayi yang diam tenang tak bersuara.

"Rani...apakah itu anaik kita, Rani?" tanyaku dengan gugup dan cemas.

Tak dijawabnya, Rani pun bergerak cepa menuju jendela dan meloncat kebawah. aku keluar dair ruang bersalin dan menuju ke halaman rumah sakit menuju tempat Rani tadi meloncat. Ketika aku sampai, kutemukan Rani sedang memutilasi bayi (yang kuduga adalah anak kami). Rani mencabik dan menggigit sampai putus tiap bagian tubuh dari bayi itu. Lalu dia memakan bagian-bagian tubuh bayi tadi dengan lahap hingga tersisa kepalanya.

"Letakkan kepala bayi itu Rani!" Teriakku tak digubris, Rani lalu menguliti kepala bayi itu dengan cara menggigitnya, sungguh jijik dan kejam sekali. Aku tak sanggup menahan airmata melihat istriku Rani menjadi kejam tak berperasaan seperti ini. Rani meletakkan kepala bayi itu dan berpaling.

"Kau mau pergi kemana Rani?" tanyaku dengan berurai airmata.

Kepala Rani memutar tanpa diikuti oleh badannya, aku terkejut dan perlahan mulai mundur menjaga jarak.

"Aku mau mengikuti hidup ibuku Mas Feri, aku lelah dengan dunia manusia." Kepala Rani pun memutuskan diri dari badannya dan melesat ke langit dengan organ dalammnya masih menggantung utuh.


-TAMAT_

Epilog - Pak Karta, mertuaku, menceritakan asal-usul Rani dan latar belakang keluarganya. Ayah Rani adalah dukun yang hebat di daerahnya dan dia jatuh cinta pada wanita Kuyang yang ditangkapnya. Hingga akhirnya mulai banyak orang yang tahu bahwa ayah Rani menikahi Kuyang, maka mereka diburu, ditangkap dan dibunuh. Pak Karta medapatkan Rani dari salah satu ketua adat yang masih berbelas kasih karena Rani masih bayi, dan Rani pun diserahkan ke Pak karta. Mertuaku disarankan membawa Rani ke tanah jawa agar kutukan bawaan dari ibunya bisa hilang.



*pada kejadian aslinya, Rani telah terlepas dari kutukannya, namun tidak bisa memiliki keturunan. Feri & Rani mengadopsi tiga orang anak sebagai rasa bersyukur mereka.

**cerita ditulis dengan persetujuan Rani (nama samaran) sebagai balas budi atas campur tangan penulis bersama rekan-rekan yang dulu ikut membantu.


Monday 7 December 2020

Dengan Siapa Aku di Rumah Paman?

 
"Masuk sini Dim, langsung ke kamarnya Afif saja ya, tasmu juga taruh sana saja", Mbak Sari lalu menutup dan mengunci pintu rumah pamanku. Aku menginap di rumah paman ini selama dua hari sesuai dengan tugas yang diberikan oleh kantorku, yaitu menghadiri konvensi dan seminar kelistrikan di Kota Semarang. Sebelum berangkat kesini aku sempat mengirim pesan ke paman namun belum dibalas sampai sekarang, jadi akhirnya aku mengirim pesan ke mbak Sari kalau aku sedang ada penugasan di Semarang dan hendak menginap selama tiga hari disana. Rupanya paman dan istrinya serta Afif adiknya mbak Sari sedang ke daerah Pati, jadi hanya tersisa mbak Sari dan mas Iwan suaminya yang tinggal di rumah.

Aku tidur di kamarnya Afif selama menginap di Semarang, ditemani mbak Sari dan suaminya yang kelihatan jarang sekali bicara aku mulai terbiasa walau kadang ada juga merasa aneh. Misalnya mereka beberapa kali hanya berbicara ketika mengajakku makan bersama atau mengingatkan sesuatu ketika malam sudah tiba, termasuk di malam kedatanganku. "Dim, kalau terdengar suara orang teriak malam-malam jangan mersa kaget ya, dibiasakan saja Dim tetangga sebelah sering kumat sakitnya itu", Aku sih mengerti dan mengiyakan perkataan mbak Sari itu. 

Dan benar juga, sekitar dua jam setelah aku memejamkan mata terdengar suara orang berteriak-teriak dalam Bahasa Jawa, mulanya teriak biasa hingga beberapa kali terdengar histeris. Setelah teriakan itu tak terdengar lagi tiba-tiba suara tangis mulai terdengar menyusul, dengan terisak-isak aku lumayan sanggup mendengar rintihan dan keluh kesah dalam tangisan itu. Hingga akhirnya aku kebelet pipis dan beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke toilet, di toilet aku mencium bau oli mesin dan terkadang suara angin. Setelah selesai pipis mendadak aku kesulitan membuka pintu toilet, seakan-akan ada yang menahannya dari luar karena pintunya sudah beberapa kali terdorong sedikit. Sekuat tenaga aku berusaha mendorong lalu tiba-tiba aku mendengar suara dengusan nafas yang terdengar berat dan disertai bau rokok, pintu baru bisa terbuka setelah itu dan aku jatuh terjerembab ke depan karena masih dalam posisi mendorong pintu dari dalam toilet. Sambil beranjak berdiri aku merasakan ada seseorang atau sesuatu berdiri di sebelah kananku, namun aku tak menoleh ke arahnya.

Entah bagaimana aku bisa merasakan wujudnya yang besar hitam, lebih besar daripada ukuran tubuhku. Aku merasa tak berani bergerak dan badanku mulai gemetar karena sosok tersebut seperti sedang memperhatikanku. Suara nafasnya yang berat terdengar kencang dan udara menddak menjadi dingin, hingga akhirnya sosok itu berpaling dan meninggalkanku di depan toilet. Tak ingin membuang kesempatan langsung saja aku berjalan agak cepat menuju kamar, JEDUUG!! Aku tak sengaja tersandung oleh sesuatu, namun aku tak sampai jatuh. Sempat kurasakan sesuatu yang membuatku tersandung tadi seakan terbungkus oleh kain setengah basah, tetapi ketika aku menoleh ternyata tidak ada apa-apa dan aku menuju kamar dan tidur dengan berselimut.

Besok paginya aku berangkat ke konvensi pada pukul 06.00 tepat karena sudah ada transportasi yang menjemputku, tapi ada hal yang mengganjal. Sewaktu aku bangun selepas subuh tadi tak kudapati ada yang bangun di rumah paman, hingga saat aku sudah bersiap diri dan akan pamit ke mbak Sari. Yang kudapati hanyalah suara air dari kamar mandi, "Mbak Sari, aku berangkat ya" Pamitku. Agak lama lalu terdengar suara mbak Sari dari dalam kamar mandi "Iya Dim, pintunya kamu kunci saja, kuncinya kamu bawa saja, aku ada kunci sendiri". 

Lalu aku melewati sebagian hari ini di acara konvensi dan seminar, hingga acaranya berakhir pada pukul 17.00 sore. Hujan yang turun dari siang hari masih belum reda juga hingga menjelang maghrib. Transportasi yang seharusnya menjemputku mengirim kabar via pesan bahwa mobilnya mogok di tengah banjir, jadilah aku pulang dengan mencari transportasi yang lain. Akhirnya aku memesan taksi dengan bantuan aplikasi online, lalu taksi itu datang setelah aku 12 menit kutunggu. Sebuah mobil minibus berwarna hitam datang dengan nomor polisi yang sesuai dengan di aplikasi, lalu dari arah kemudi keluar seorang wanita paruh baya menyapaku dan membuka pintu penumpang untukku, sungguh ramah ibu ini. 

Selama perjalanan pulang ibu sopir ini bercerita bahwa tadi dia sempat terlibat kecelakaan beruntun dan mobilnya ikut menabrak dua orang pengendara motor, namun dinyatakan tidak bersalah karena mobilnya dalam posisi terdorong oleh kendaraan lain dari arah belakang. Kemudian dia lanjut bercerita bahwa kemarin lusa sempat mendapat orderan "luar biasa" yaitu mengantarkan dua jenazah yang keduaanya adalah suami-istri, cerita ini yang justru membuatku bergidik karena sama sekali tak menyangkanya dan saat ini diriku sedang berada di dalam taksi ini. Kami sempat berhenti di sebuah SPBU, keadaan masih hujan dan dari jendela mobil kulihat seorang wanita sedang menggendong anak, dia berdiri di sebuah warung yang tutup di samping jalan keluar SPBU. Kulihat ibu ini berkali-kali berusaha menghentikan angkot namun tidak satu pun ada yang berhenti. Setelah mengisi bahan bakar kubilang pada ibu sopir untuk mengajak wanita yang di berteduh warung itu untuk naik taksi ini "Mas yakin, nanti bisa saja dia turun di tempat yang agak jauh atau aneh?" kata ibu sopir, aku sudah telanjur merasa kasihan jadi kumantapkan niatku untuk mengajak wanita itu.

"Terimah kasih ya mas, bu" Ucap wanita itu pelan dan santun. "Kami turun di dekat Bergota ya bu" Lanjut ucapnya, aku yang pindah tempat duduk di samping sopir hanya mengangguk dan menikmati perjalanan kembali. Aku tidak tahu arah dan tempat yang dimaksud oleh wanita itu, tapi tampaknya ibu sopir ini tahu kalau lokasinya masih di Semarang. Keadaan di dalam taksi sangat tenang seakan tidak ada penumpang lain selain diriku, bahkan suara mesin dan AC mobil benar-benar sama sekali tak terdengar. 

"Masuk gapura yang didepan itu ya bu" ucap wanita di belakang kursiku, mobil pun diarahkan masuk sebuah gapura yang sangat megah dan samar dari hujan terlihat sekilas tulisan Bergota. Tak lama kemudian mobil berhenti "Sepertinya ada pohon kecil yang roboh didepan". Aku segera menghentikan ibu sopir untuk turun dan menawarkan biar aku saja yang meminggirkan pohon itu, toh ukurannya tidak begitu besar dan di luar masih turun hujan. Diriku berjalan sekitar 10 meter dari mobil lalu segera kupindahkan pohon roboh yang menghalangi jalan ini, setelah itu aku berbalik menoleh ke arah mobil taksi dan kuperhatikan bahwa lampu depannya tidak menyala, DHUAAAAAR suara petir yang sangat keras disertai kilat yang menyambar berkali-kali emmbuatku kaget dan mendongak ke arah langit. Masih dalam rasa terkejut aku sangat kaget melihat bahwa mobil taksinya sudah tidak ada di tempat.
Sekali lagi petir dan kilat mengagetkanku, cahaya kilat tampaknya menyadarkaknku bahwa saat ini aku sedang berada di sebuah area makam, seakan masih tak percaya maka kunyalakan lampu flash di handphoneku, dan benar aku sedang berada di sebuah pemakaman. Aku tidak panik walau sedang kebingungan, dalam keadaan hujan yang semakin lebat aku bingung mencari arah keluar dari pemakaman ini, hingga samar kulihat sebuah cahaya yang datang semakin mendekat ke arahku. 

Sebuah motor berjalan mendekatiku, tanpa bertanya pengemudinya langsung menyuruhku naik ke motornya. Aku dibawa ke sebuah pos, letaknya berada di dekat pintu masuk pemakaman, di pos ini aku ditanyai dan disuguhi segelas teh hangat. Setelah kuceritakan semua kejadiannya aku ditenangkan kembali dan diberitahu bahwa diriku bukanlah  satu-satunya yang pernah mengalami hal itu, yang menolongku ini adalah seorang bapak yang bertugas sebagai penjaga makam. Kemudian datang seorang pemuda dengan mengendarai motor, dia adalah anak dari penjaga makam ini dan bersedia untuk mengantarku pulang ke rumah paman. Aku diantar sampai didepan rumah pamanku dan pemuda ini kuberi upah sukarela yang mulanya dia tolak tapi kupaksakan supaya dia menerimanya. Sebelum masuk rumah kuambil handphone untuk melihat waktu, ternyata sudah pukul 23.34, tak kusangka bahwa waktu berjalan sangat lama dan aku jadi sungkan kepada mbak Sari karena sudah pulang terlalu malam.

Setelah masuk rumah kuperhatikan lampu semua ruangan sudah dipadamkan kecuali dapur dan kamar mandi, kutaruh tas di kamar dan bersiap untuk mandi. Tidak kualami kejadian aneh sewaktu mandi, tidak seperti kemarin malam. Sewaktu berjalan melintasi dapur, di meja makan kuperhatikan ada sepiring nasi beserta lauknya, sebuah kertas diletakkan di samping piring "Dimas, sudah kusiapkan makanan buatmu" Aku merasa senang namun agak terganjal di pikiran, seingatku tadi ketika menuju ke kamar mandi di atas  meja makan ini tidak ada piring satu pun. Ah sudahlah aku benar-benar sudah lapar dan kedinginan malam ini, bir makanan ini  turut membantu menyegarkan keadaanku.
Setelah makan, aku menuju ke kamar dan mempersiapkan diri untuk tidur. "Uhukk uhuk uhuuuk" sebuah suara batuk terdengar daria rah ruang tamu, padahal baru saja ku buka pintu kamar. Niat untuk istirahat ku urungkan karena suara batuk tadi terdengar seperti suaranya mas Iwan, aku berjalan menuju ke ruang tamu untuk menyapanya. Di kamar tamu yang gelap itu terlihat sedikit samar seseorang sedang duduk di kursi yang paling dekat dengan jendela, tanpa memakai baju tapi hanya memakai sarung sambil asyik merokok. "Nggak tidur mas?" Tanyaku, "Iya, lagi pingin merokok aku". Setelah basa-basi aku kembali ke kamar.

"Aaaaaakh, aduuuuuh sakiiiit......aaaaaargh" Suara teriakan-teriakan di malam hari kembali hadir dan membangunkanku. Aku menjadi terjaga dan kali ini sepertinya aku merasakan sulit untuk tidur lagi. Aku menuju ke toilet karena kebelet, begitu keluar dari pintu kamar aku mendengar suara seseorang seperti sedang menggoreng sesuatu di dapur. Sesampainya di dapur kudapati sosok yang sepertinya itu mbak Sari sedang berdiri membelakangiku dengan posisi menggoreng sesuatu, dia tidak menyadari kehadiranku tampaknya. Aku lalu ke toilet. Kali ini di dalam toilet ini aku mencium aroma asap rokok yang membikin mual, setelah selesai aku langsung keluar agar bisa merasakan udara yang normal.
Setelah keluar, terdengar suara di kamar mandi yang letaknya di sebelah toilet. 

Suara air yang sedang diguyurkan dari gayung terdengar jelas, siapa yang mandi malam-malam begini, pikirku. Lalu aku menuju ke kamar, di dapur sudah tidak ada mbak Sari. Sepertinya dia sudah selesai menggoreng sesuatu tadi, di meja makan kulihat ada piring beserta lauk yang ditutup oleh tudung saji. Ketika aku di depan kamarnya Afif, dari ruang tamu kudengar ada suara tawa, kedengarannya suara dari dua orang, mbak Sari dan mas Iwan ini pasti, tapi kalau mereka berdua ada di ruang tamu terus siapa tadi yang ada di dalam kamar mandi? Merinding dan takut aku langsung masuk ke dalam kamar. Dengan gemetar ketakutan kututupi tubuhku dengan selimut, udara kamar yang mendadak jadi pengap dan dingin juga semakin membuatku ketakutan. 

Tak berapa lama aku merasakan ada sesuatu yang sepertinya menaiki tempat tidurku, aku penasaran, walau ketakutan kucari tahu juga apakah itu, kulihat sekeliling ternyata tak ada apa-apa. Daripada ketakutan sendiri di dalam kamar akhirnya kuputuskan untuk menemui mbak Sari dan suaminya di ruang tamu, pikirku mereka pasti masih berada disana. Bergegas aku keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu. Ternyata mereka berdua sudah tidak ada disana. Dari arah kamar mbak Sari kudengar suara orang sedang berbincang, mereka masih terbangun sepertinya. Kuberanikan mengetuk pintu kamarnya, sebuah suara yang pelan menjawab "Masuklah". Sempat berpikir sejenak lalu kubuka pintu kamar mbak Sari, ruangannya gelap dan jendelanya terbuka sehingga sinar redup dari luar membuat siluet di arah tempat tidur. Terlihat dua orang sedang duduk di tempat tidur itu.

"Mbak Sari, mas Iwan?" Sapaku tanpa dibalas oleh mereka, kemudian terlihat dua sosok tadi mengambil posisi tidur, sungguh aneh. Karena penasaran akhirnya kudekati ke arah tempat tidur.
BLAAAAR...DHUAAAAAARR suara petir mengagetkanku dan cahaya kilatnya mengungkapkan padaku siapa dua sosok yang sedang berada di tempat tidur itu. Dua pocong yang kainnya masih terlihat basah terbaring berdampingan. Aku tertegun tak bisa bergerak menyaksikannya, mulutku ingin berteriak namun terkunci, selanjutnya kilat berkali-kali muncul dan semakin memperjelas kehadiran kedua pocong itu.

DHUAAAAR suara petir terdengar lagi dan kali ini entah mengapa membuat badanku bisa digerakkan, aku langsung berlari menuju kamar Afif. Sial sekali kamar ini mendadak tak bisa dibuka, seakan terkunci. Kemudian aku berencana untuk keluar saja ke teras rumah, sesampainya di pintu utama ternyata hal serupa juga terjadi. Pintunya tak bisa dibuka dan kuncinya ku putar berkali-kali juga tak berguna, aku terjebak sepertinya. Aku pasrah dan ketakutan, di ruang tamu rumah paman akhirnya kuputuskan untuk tetap terjaga dan menunggu pagi. Aku merinding tak berhenti, duduk di kegelapan yang dingin sementara di dalam rumah ini diriku sedang "diteror" oleh makhluk halus. Sebuah sosok hitam gelap tiba-tiba datang dan menduduki kursi di seberangku, kemudian sosok itu menyalakan rokoknya, bagai lokomotif jaman baheula asap rokoknya tak begitu lama memenuhi satu ruangan ini. Baunya yang tak sedap akhirnya membuatku tak sadarkan diri. 

Adzan Subuh membangunkanku, badanku entah kenapa terasa agak linu dan capek. Masih agak susah digerakkan seakan-akan aku habis bekerja mengangkut bebatuan. Disaat hari mulai terang, entah sudah jam berapa. Dari jendela kulihat banyak orang sedang berdiri, beberapa berkerumun dan berbincang di depan rumah paman dan rumah tetangga sekitar yang tidak jauh. Lalu aku melihat wajah yang tidak asing namun terlihat sayu, itu adalah pamanku, ada juga bibiku dan Afif anak bungsu mereka. Aku bergegas membuka pintu yang ternyata sudah bisa dibuka, keluar rumah dan menghampiri mereka.

Tak sadar, aku tidak memperhatikan banyak oarang-orang itu, termasuk paman dan keluargnya begitu terkejut melihatku, apalagi mereka terkejut melihatku keluar dari paman. "Bagaimana kau bisa dari dalam rumah Dim, kami sudah empat hari berada di Pati, Sari dan suaminya meninggal karena kecelakaan disana, sekalian dimakamkan di dekat makam mertuanya," Aku shock, lalu kurangkul pamanku dan aku pingsan di pelukannya.

Kuceritakan semua yang sudah kualami di rumah ini, termasuk dari awal dimana aku berusaha memberitahu paman kalau aku akan menginap di rumah ini. Pamanku dan semua orang yang mendengarkan ceritaku terdiam, entah harus percaya atau tidak, beberapa memperlihatkan rona takut di wajah mereka. Selanjutnya aku menginap dua hari lagi sambil membantu keluarga paman, ku kabari juga orang tuaku dan meminta perpanjangan cuti dari kantor.

Selang waktu, ada sebuah kesempatan Afif menceritakan kronologi kecelakaan yang menewaskan mbak Sari dan suaminya, aku kaget dan merasa tak asing dengan ceritanya. Seakan-akan mirip dengan cerita dari ibu-ibu sopir taksi gaib yang beberapa waktu lalu kutemui. Afif menunjukkan foto lokasi kecelakaan yang didapatkannya dari warga sekitar yang ikut menolong, di foto ini aku melihat obyek yang tidak asing, yaitu sebuah mobil minibus hitam, persis dengan mobil taksi gaib malam itu. Di kursi kemudi terlihat pengemudinya terkulai tak bergerak dengan rambut terurai, dari situ terlihat bahwa pengemudiny adalah seorang wanita. Ditambahkan oleh Afif bahwa  tak ada korban selamat dalam kecelakaan beruntun itu, termasuk penumpang taksi yang seorang wanita dan anaknya yang masih teramat kecil ikut meninggal dalam gendongan ibunya. 

Semua untaian kejadian yang menyerupai sebuah kebetulan membuatku terpana, tak mampu berpikir lebih jauh. Kejadian-kejadian ini menambah trauma pada diriku untuk waktu yang sangat lama.



TAMAT 



Wednesday 22 April 2020

Si Manis Jembatan Kereta Ancol...

Si Manis Jembatan Kereta Ancol...


Jakarta, 11 Juli 1950.

Tohar baru saja menyelesaikan hari pertamanya bekerja di sebuah toko perabot rumah tangga bekas, yah semacam toko barang-barang loakan. Sore itu selepas kerja Tohar tidak langsung pulang, dia memilih untuk menghabiskan waktu sejenak jalan-jalan menyusuri keramaian pasar malam tak jauh dari tempat dia bekerja. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 dan Tohar masih belum menyadarinya, dia masih menikmati susasana pasar malam yang menurutnya semakin rame malam itu hingga dalam susasana itu membuat Tohar terpana dan DUK...Tohar menabrak seorang gadis berkebaya kuning.

"A-aduh maaf dik, saya tak sengaja menabrakmu" ucap Tohar kepada Gadis itu. Sang gadis hanya tersenyum melihat tingkah Tohar yang gelagapan setelah tidak sengaja menabraknya.
"Tak apa kak, kakak juga tak sengaja bukan" balas gadis itu, "Perkenalkan dik, sa-saya Tohar" ucap Tohar gugup. Gadis itu dengan senyum ramah membalas perkenalan si Tohar "Saya Uci kak, asli anak Ancol".

Keduanya semakin kelihatan tidak canggung dalam perbincangan mereka setelah itu. Setelah berapa lama Uci mengatakan pada togar bahwa sudah saat dia untuk kembali ke rumah, Togar lalu menanyakan waktu pada seorang pedagang yang memakai arloji. Sudah pukul 23.34, hampir tengah malam dan Tohar menawarkan diri untuk mengantar Uci pulang ke rumahnya dengan mengendarai andong. Uci dengan sabar menemani Tohar mencegat andong untuk mengantarnya pulang, aneh....sudah hampir satu jam di pinggir jalan raya tak satu pun andong atau kendaraan lewat melintas di depan keduanya, "Kak, sudahlah biar Uci pulang jalan kaki" baru saja Tohar berusaha mencegah Uci sebuah andong pun lewat, "Hoooi andooong, sini" teriak Tohar memanggil andong itu.

Andong itu berhenti pas di depan keduanya, kusir andong itu nampak aneh, dia tak memakai atasan, dan kepalanya ditutupi oleh kain hitam yang diikat. Tohar dan Uci tak mempedulikannya, keduanya naik andong itu "Jembatan kereta api ya bang" ucap Uci pada sang kusir. Sepanjang perjalanan Tohar sesekali mencuri pandang melihat wajah Uci yang manis, gadis itu sangat cantik dan kulitnya terlihat putih mulus, hingga aroma bunga melati datang dan mulai menyadarkan Tohar. "Ah aroma melati, ini pertanda rumahku sudah dekat" ucap Uci pada Tohar. Tak lama kemudian Uci turun dari andong dan mengucapkan terima kasihnya kepada Tohar yang sudah mau mengantarnya pulang.

Rumah Uci terlihat sangat bagus diantara rumah-rumah lainnya di kawasan jembatan kereta api itu, Tohar memandangi Uci sampai dia masuk ke dalam rumahnya, lalu Tohar minta pada kusir untuk mengantarkannya pulang ke arah sebaliknya. Sepanjang perjalanan pulang Tohar mencium aroma-aroma tidak sedap seperti bau bangkai hingga kemenyan, namun dia tidak takut karena ada sang kusir andong yang menemaninya malam itu. Tiba-tiba andongnya berhenti "Bang, aku mau pipis dulu" ucap kusirnya tanpa menoleh pada Tohar, dia hanya manggut-manggut tanpa curiga.

10 menit berlalu, Tohar masih duduk diatas andong itu. Akhirnya dia beranjak turun dan mencari kusir tadi, didatanginya pepohonan di pinggir jalan tempat kusir tadi buang air kecil, disana tak ditemuinya sang kusir andong. Akhirnya Tohar berbalik menuju andong.......tak disangka andong yang dia tumpangi tadi ternyata sudah lenyap....bahkan suara langkah kuda puun tak terdengar. Lalu tiba-tida dari arah pepohonan yang didatangiya tadi terdengar suara tawa keras yang seakan menggelegar "HAHAHAHAHA....HUAHAHAHAHAHAHA" sontak Tohar terkejut dan berlari sekuat tenaga menuju rumahnya yang masih jauh.




Jakarta, 12 Juli 1950.

"Makanya kau kalo pulang malam itu naik opelet sajalah, andong dinaiki, sudah untung kau pulang masih bernyawa Tohar" omelan sang Ibu pada Tohar yang baru saja selesai mandi. Malam tadi Tohar baru sampai ke rumahnya jam 2 dini hari, dengan keadaan terengah-engah sehabis berlari tentu saja membuat keluarganya kaget. Di tempat kerjanya, Tohar melewati hari dengan biasa sambil membayangkan wajah Uci, "Siapa pemilik toko ini kak?" suara seorang gadis membuat Tohar buyar dari lamunannya, seorang gadis Tionghoa berpakaian putih berdiri di hadapannya. "Pak Masto, beliau pemilik toko ini, ada perlu apa ya" gadis itu lalu berjalan menuju ke sebuah lemari yang dihiasi ornamen China lengkap dengan tulisan yang tak mampu dibaca oleh Tohar.

"Aku memiliki lemari seperti ini di rumahku, aku ingin menjualnya", Tohar lalu memanggil Pak Masto, lalu mereka menemui gadis itu. Setelah merundingkan harga, Gadis itu lalu memberikan alamat rumahnya "Aku baru pulang ke rumah selepas jam 7 malam, tapi tolong diambil sore nanti ya" ucapnya dan dia meninggalkan toko itu. Sorenya Tohar mendatangi alamat rumah gadis Tionghoa tadi Pak Masto menyuruh Tohar mengantarkan uang untuk membayar lemari tua dan akan menjemput Tohar dengan truk Chevrolet tahun '49 miliknya setelah menutup toko.

Pukul 17.02 sore, Tohar berdiri di depan sebuah rumah khas Tionghoa yang dikelilingi oleh tembok setinggi 2,5 meter, dia lalu mengetuk pintu kayu berwarna merah pudar. Berkali-kali Tohar mengetuk pintu itu namun tidak ada yang menjawab atau membukanya, hingga baru menjelang maghrib ketika Tohar kembali mengetuknya terdengar ada suara dari balik pintu, "Iya iya akan kubuka pintunya, sabarlah aku sudah tua". Pintu akhirnya dibuka dari dalam dan seorang nenek tua menyambut Tohar, "Kau pasti yang akan mengambil lemari tuanku ya, kemarilah masuk, Lin Hwa akan kembali sebentar lagi kok" ucap nenek itu, dan Tohar pun dipersilahkan menunggu di dalam ruang tamu rumah lama ini.

Ornamen rumah tua ini terlihat masih bagus hingga memberikan persepsi pada Tohar kalau dia benar-benar berada di negeri China. Nenek tua itu datang lagi dengan membawa segelas teh "Minumlah suguhan di rumah kami ini, nanti Lin Hwa pulang jam 7 malam kok" lalu dia pun kembali masuk ke arah ruang tengah. Tohar lalu meminum teh itu dan tak lama dia mulai merasa mengantuk, matanya mulai perlahan menutup dan samar-samar mulai terdengar suara adzan maghrib......

TEEENG.....TEEEENG.....TEEENG suara lonceng dari sebuah jam kuno terdengar hingga tujuh kali dan membuat Tohar kaget, dia menoleh ke arah kirinya dan melihat ada sebuah jam lonceng besar yang sudah tak terawat dan diselimuti dengan jaring laba-laba. "Sejak kapan jam itu ada disana" gumamnya dalam hati, tak lama Tohar kembali dikejutkan dengan ruangan yang tadinya terlihat bagus sekarang sudah berubah menjadi tak terawat, kotor, bahkan temboknya mulai ditumbuhi lumut. Semua perabot yang tadinya tertata rapi sekarang berserakan bahkan banyak yang tidak utuh.

"Kemarilah...sini ke ruang tengah" sebuah suara yang tak asing di telinga Tohar membuat kakinya melangkah dengan ketakutan menuju ke ruang tengah rumah itu. Di ruang tengah samar terlihat sebuah lukisan yang ditutupi kain transparan berwarna merah, cahaya bulan yang menembus lubang atap sedikit membantu pencahayaan di ruangan itu. Tohar semakin melangkah mendekati lukisan itu, lalu tangannya menyibak kain merah yang menutupinya, sebuah lukisan yang indah dengan gambar seorang gadis Tionghoa berbaju tradisional berwarna putih. Sembari mengucek matanya, Tohar bergumam dalam hatinya "Bukannya ini gadis yang tadi siang datang ke toko kami?". Lalu pandangan mata Tohar turun sedikit ke bawah dan melihat ada sebuah nama tertulis di bawah lukisan itu, Hui Lin Hwa.

"Itu lukisan diriku, dilukis kira-kira 40 tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum aku meninggal di rumah ini. Suara Lin Hwa terdengar dari arah belakang Tohar. Kepala Tohar seakan dipaksa untuk berbalik, Tohar tak kuasa dan melihat sosok asli Lin Hwa berdiri di hadapannya....Lin Hwa terlihat sangat mengerikan, kulitnya putih keriput dengan keadaaan sudah mengelupas di banyak bagian, bola matanya sudah tak ada, rambutnya berubah putih dan bau wangi asap hio keluar dari tubuhnya. Tohar ingin berlari namun tak sanggup, seakan ada yang sedang memegangi kakinya.

Pemandangan di depan mata Tohar mulai berubah, satu persatu makhluk yang wujudnya mengerikan mulai datang dan mendekati Tohar. Ingin menangis tapi juga tak sanggup, malam itu Tohar benar-benar dibikin tak berkutik oleh Lin Hwa dan penghuni rumahnya. Tiba-tiba pundak Tohar ditepuk dari belakang dan dia spontan mampu berteriak "Ampuuuuun jangan bunuh saya".
"Sedang apa kau Tohar, kenapa melamun di dalam rumah tua ini", suara Pak Masto.

Ternyata Pak Masto datang ke rumah itu ditemani oleh Pak Hendrawan, pria Tionghoa pemilik toko sebelah. Tohar ditenangkan oleh keduanya, lalu dipapah keluar dari rumah itu. Malam itu Tohar diantarkan pulang dengan mobil Pak Masto.



Jakarta, 13 Juli 1950.

Esoknya ketika Tohar kembali bekerja, dia diberi penjelasan oleh Pak Masto. Sore kemarin ketika Tohar meninggalkan toko untuk ke rumah Lin Hwa, pak Hendrawan pemilik toko sebelah rupanya mencium aroma asap hio dari dalam toko Pak Masto. Lalu Pak Hendrawan pergi ke toko Pak Masto untuk menanyakan hal itu. Singkatnya Pak Masto menceritakan mengenai seorang gadis Tionghoa yang menawarkan sebuah lemari tua yang  mirip dengan  lemari dagangannya di toko. Pak Hendrawan pun ingin melihat lemari yang dimaksud dan diantar oleh Pak Masto untuk melihatnya di belakang.

Pak Hendrawan terdiam sejenak ketika memandangi lemari itu, lalu mengajak Pak Masto kedepan, "Sebaiknya dibuang saja lemari itu" kata Pak Hendrawan. "K-kenapa harus saya buang Pak?" tanya Pak Masto kaget, "Lemari itu dibuat dari kayu bekas peti mati China, hal itu nggak baik Pak Masto" jawab Pak Hendrawan. Cerita itu membuat Tohar lemas sekaligus geleng-geleng kepala, dia heran bagaimana bisa dia dikerjai oleh makhluk halus selama dua hari berturut-turut.

Sore hari waktu jam tutup toko, ketika Tohar baru melangkah keluar dari toko matanya tak sengaja melihat Uci sedang berdiri di depan toko bunga, terlihat dia sedang asyik memandangi bunga-bunga sembari memilih. Tohar langsung berjalan menuju toko bunga itu untuk mendatangi Uci, "Mencari bunga apa dik Uci?" sapanya. Selanjutnya mereka bredua pun terlibat dalam perbincangan yang akrab, hingga pada akhirnya Tohar mengajak Uci ke pasar malam lagi.

Di pasar malam itu Tohar dan Uci terlihat sama-sama bahagia menikmati suasana dan jajanan yang mereka beli.  Dan entah sudah berapa lama mereka disana, para pedagang pun mulai membereskan dagangan mereka, "Sepertinya sudah malam sekali ini kita disini, yuk kuantarkan pulang lagi". Sekali lagi Uci tidak keberatan Tohar mengantarnya pulang ke rumah, namun kali ini "Kak, kita jalan kaki saja lah ya, rumahku kan tak terlalu jauh", seakan terhipnotis Tohar pun setuju dengan Uci dan mereka mulai berjalan menuju rumah Uci yang katanya tak terlalu jauh.

Seperti yang sebelumnya, aroma wangi bunga kembali menemani malam mereka "Wah aroma melati lagi" ucap Tohar, "Bukan melati, ini aroma bunga kemuning" jawab Uci datar. Hal aneh lain yang tak disadari oleh Tohar adalah sepanjang perjalanan ke rumah Uci ini dia mulai sering melihat  orang-orang Belanda berlalu lalang dengan cueknya tanpa sekali pun menatap atau menyapa mereka, lalu dia juga melihat beberapa orang berkerumun sedang menunggu kedatangan kereta api di ujung jembatan. Dan tibalah keduanya di rumah Uci, gadis itu menawari Tohar untuk mampir dan pemuda ini dengan senang hati menerima tawaran itu.

Bagi Tohar, rumah Uci ini tergolong mewah dibandingkan dengan rumahnya tau rumah-rumah disekitarnya, "Minumlah kopi ini kak Tohar" Uci menyodorkan kopi kepada Tohar. Malam itu keduanya berbincang di ruang tamu rumah Uci, Uci menceritakan bahwa dia hanya tinggal seorang diri di rumah ini dan tidak berkenan menceritakan keluarganya. Dan setiap hari ternyata Uci bekerja sebagai pengasuh anak di keluarga Belanda, begitulah penuturannya kepada Tohar.

"Kak, menginaplah disini, aku kesepian" ucap Uci. Tohar seakan termakan oleh ajakan itu dan dia mengiyakan. Uci lalu mengantarkan Tohar ke kamarnya, "Lho ini kan kamarmu dik, maksudmu kita akan tidur berdua?" tanya Tohar kaget. Uci pun menjawab "Iya kak, tidak apa-apa kita hanya berdua malam ini, kakak mau kan?". Tanpa menjawab Tohar pun menurut, lalu mereka berdua tidur bersama selayaknya suami istri.......

"HWAUUUUUUU WOOOO, HWAUUUUUUUU" lolongan anjing malam mendadak menbangunkan Tohar dari tidurnya, dia menoleh ke kanan melihat ke wajah Uci. Bau busuk dan anyir mendadak menyeruak dan membuat Tohar terasa mual, dalam gelisahnya tiba-tiba "Kak Tohar kenapa, tidak suka dengan bau tubuh Uci?", baru menoleh dan akan menjawab Tohar dikejutkan dengan sosok Uci yang berubah menjadi pocong dan terbaring disampingnya.

Pocong Uci baunya sungguh tak sedap dan bikin mual, mukanya busuk berair, kafannya kotor sekali. Tohar yang kaget langsung beranjak dari tempat tidur dan GEDEBUK....dia jatuh dan tiba-tiba sadar sedang berada di tengah-tengah pepohonan rindang di tengah malam. TUUUUT...JESS JESS JESS TUUUT TUUUT, suara kereta api mengagetkan Tohar, pemuda itu lalu mengikuti kearah suara itu dan melihat sebuah kereta api berhenti sedang menunggu penumpang. Tanpa pikir panjang dia mendatanginya dan ikut naik.

Di dalam gerbong kereta itu akhirnya Tohar bisa bernafas lega, lama-lama dia juga mulai menyadari kalau di dalam gerbong ini mulai banyak terdengar percakapan dalam bahasa Belanda. Penasaran, Tohar pun berdiri untuk melihat sekelilingnya, betapa terkejutnya Tohar setelah mengetahui bahwa semua penumpang dalam gerbong ini tidak lengkap anggota tubuhnya........seluruh penumpang ini layaknya mayat yang sedang diangkut oleh kereta kematian. Tanpa pikir panjang Tohar pun berlari menuju ujung gerbong dan meloncat keluar.

Dia jatuh dan seketika itu juga kehilangan tenaga, BLUGH, BLUGH, BLUGH, suara seseorang sedang meloncat berasa mendekati dirinya. Dari belakang Tohar muncul pocong si Uci, lalu beberapa makhluk lainnya mulai menyusul menampakkan dirinya di mata Tohar......

"Inikah pacarmu Uci" ujar kuntilanak, "keh keh keh" pocong Uci tertawa dengan cara yang aneh, lalu datang gendruwo menginjak tubuh Tohar "HAHAHAHA enak ya naik andongku" ucapnya. Tohar akhirnya kewalahan dan tak sadarkan diri, tubuhnya ditemukan di samping sebuah jembatan kereta api tua yang sudah tidak dipakai. Setelah kejadian itu Tohar mulai sering melamun tak ingin bertemu dengan siapapun.


-TAMAT-


*Lokasi tempat Tohar diketemukan dinetralkan oleh warga Tionghoa yang banyak bermukim di dekat daerah itu, mereka membuat sebuah monumen berupa tugu kecil (Taipekong) yang diberi aksara China yang memiliki arti "KEBAHAGIAAN ARAH BARAT, TERPUJILAH SANG BUDHA". Lokasinya di dekat rumah pompa jalan R.E Martadinata ancol, dan jembatan kereta api ini masih ada.



Thursday 31 October 2019

Rumah Kami.........

Empat tahun setelah kejadian di tahun 1988, Indra sudah bekerja dan menetap di Yogyakarta di sela-sela kuliah S2-nya. Nia menikah setahun sebelumnya dan masih tinggal di Surabaya namun tinggal di rumah suaminya. Sedangkan Deni yang juga sudah menikah menetap di Surabaya dan tetap tinggal rumah keluarga bersama kedua orang tua mereka. Waktu pun berlalu....................



Surabaya, Desember 1994.


"Pak, Bu, Deni pamit pulang dulu, salam untuk mbah Ti (nenek) ya," lalu kusalami dan kucium  tangan kedua orangtuaku. "Nyetirnya gausah buru-buru Den, lewat tol jam segini lancar kok" pesan bapak padaku, ibu tak lupa mencium pipiku sebelum aku masuk ke dalam mobil.
Bapak dan ibuku akan tinggal dulu di Gresik selama semingguan untuk menemani mbah Ti karena mbah Kung (kakek) baru saja meninggal dunia subuh tadi. Istriku tadi sudah pulang duluan bareng mbak Nia dan suaminya, Indra mungkin besok malam sampai ke Surabaya, sedangkan aku baru bisa pulang jam 11 malam karena tadi bantu-bantu acara tahlil.

Gak enak rasanya harus meninggalkan istri sendirian di rumah, apalagi dengan status rumahku yang sudah sering mengalami gangguan makhluk halus. Mila, istriku, sebenarnya sudah mengalami gangguan-gangguan itu semenjak pertama mulai tinggal di rumah itu, tepatnya pada malam pertama setelah kami menikah. Waktu itu Mila yang sedang tidur disampingku tiba-tiba terbangun dengan penuh keringat dan nafasnya terengah-engah, lalu Mila menceritakan kepadaku malam itu juga bahwa dia baru saja bermimpi kalau dirinya dan mbak Nia dikejar-kejar bayangan hitam besaar yang ukurannya sekitar empat kali ukuran manusia normal. Bayangan itu mengejar keduanya dengan mengacungkan parang besar.

Setelah itu kusarankan istriku yang masih berkeringat itu untuk cuci muka dulu, lalu kuantar dia untuk cuci muka. "Aaaakh" kudengar teriakan Mila, dia lalu keluar dari kamar mandi sambil mewek, lalu dia menceritakan tentang apa yang baru saja dialaminya. Setelah cuci muka dia mengeringkan muka dengan handuk, di saaat itulah istriku ini merasakan telinganya seperti sedang ditiup, lalu terdengar suara tawa perempuan yang rada mengerikan. Dan semenjak itu Mila menjadi terbiasa dengan kejadian-kejadian ganjil di rumah kami, sama seperti penghuni lainnya.

Perjalanan pulang berlanjut, setelah menjemput istriku dari rumah mbak Nia kami langsung pulang. Mendekati rumah kubelokkan mobilku meyusuri jalan sepi nan gelap, "beli rumah kok di daerah yang kayak gini sih bapak" gumamku. Tinggal beberapa meter dari rumahku tiba-tiba terlihat seorang anak kecil sedang berdiri di tengah jalan membelakangi mobilku, aku langsung menekan pedal rem dan saking mendadaknya Mila sampai kaget terbangun dari tidurnya. "Sepertinya aku menabrak anak kecil" ucapku pada Mila, dia masih kaget sambil melihat ke arah depan juga. Tiba-tiba....anak kecil itu berdiri pas di depan mobilku "hihihihihi" tertawa lalu dia lenyap begitu saja. Istriku langsung merengek untuk buru-buru menjalankan mobil lagi untuk menuju ke rumah kami yang sudah terlihat.

Mila tidur sambil memeluk diriku, sementara diriku masih terjaga sambil memikirkan kejadian diluar tadi. Kalau kuingat-ingat lagi, dulu Indra pernah menceritakan kejadian yang dia alami ketika pertama kali meninggali rumah ini. Seingatku dia menceritakan mengenai seorang ibu muda berparas cantik dan anak perempuannya yang berparas bule, tapi aku lupa akan nama-nama mereka yang dulu dijelaskan oleh Indra. Rasanya aku baru saja menemukan kesamaan dari cerita Indra dengan peristiwa yang tadi kualami, anak kecil tadi itu perempuan dan berparas bule, tidak kulanjutkan lagi pemikiranku dan kucoba untuk menutup mata dan beristirahat.

Hari sabtu, pekerjaanku sebagai PNS libur, aku duduk santai di teras sambil menikmati udara pagi, sementara Mila membaca majalah wanita sambil menunggui sop yang dimasaknya di dapur. Ingatanku kembali ke tujuh tahun yang lalu, dimana kami menjual sebuah gramophone tua ke tukang rombeng yang lewat di depan rumah. Aku masih ingat ketika si tukang rombeng memeriksa benda itu, ditemukan sebuah foto usang yang didalamnya terdapat gambar seorang anak kecil sedang bermain ayunan sambil tertawa, wajahnya tak terlalu jelas karena di foto ini sudah banyak noda yang melekat. Foto ini ditemukan di bagian dalam kotak kayu mekanis dari gramophone, bapak lalu meminta foto tersebut untuk beliau simpan sebagai peninggalan sejarah dari rumah yang kami huni ini.

"Selamat pagi mas Deni" seorang wanita muda berparas cantik tiba-tiba menyapaku, belum sempat kubalas sapa dia sudah berjalan menghilang ke arah utara. Siapa ya tadi? Seumur-umur belum pernah lihat ada tetanggaku yang seperti wanitu itu tadi, parasnya cantik dengan kulitnya yang berwarna cerah, dia memakai semacam daster atau baju terusan berwarna kuning. Aku beranjak dari kursi lalu keluar halaman rumah, kutengok ke arah utara namun wanita tadi sudah tidak ada. Lalu aku menuju dapur untuk menanyakannya kepada istriku, dia kan ikut perkumpulan PKK di lingkungan RT.

"Nggak ada deh mas, tetangga kita kan rata-rata sudah 40an semua" jawab Mila, istriku. Tapi darimana wanita tadi bisa tahu namaku yah, istriku sendiri juga bingung.

Kriiing...kriiiing, telepon di ruang keluarga berbunyi. Kuangkat namun tidak ada suara dari seberang sama sekali, akhirnya kututup teleponnya. Karena masih pagi kucoba untuk tidak berpikir macam-macam, lalu aku memilih untuk santai di ruang tamu sambil membaca koran. Sekitar lima belas menit kudengar pintu rumah diketuk dari luar, kuletakkan koran lalu menoleh ke arah pintu, tak kudapati ada orang diluar dan suara ketukannya tak berlanjut. Kudekati pintunya karena penasaran, dari balik kaca pintu juga terlihat kalau pagar depan rumah tertutup. Mila menanyakan juga karena dari dapur suara pintu diketuk tadi juga terdengar, kujawab seadanya dan dia bisa memakluminya.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi, selesai memasak Mila melanjutkan pekerjaan sampingannya sebagai penulis cerita pendek. Istriku ini menulis cerpen untuk beberapa majalah wanita, pekerjaan ini sudah dijalaninya sejak SMA, sungguh wanita berbakat memang istriku. Melihat istriku sedang tekun mengetik aku jadi teringat, di gudang yang terletak di halaman belakang pernah kulihat ada mesin tik tua, ingin rasanya kutunjukkan pada Mila. "Mil, apa kamu tertarik dengan mesin tik tua? di gudang seingatku tersimpan satu." Tanpa memandangku Mila menjawab kalau dia tertarik karena ada orang dari salah satu majalah yang mengoleksi mesin tik, mungkin bisa dijual pada orang itu.

Aku beranjak dari kursi santai dan berjalan menuju gudang, langit terlihat sudah mendung jadi kusiapkan senter untuk menerangi gudang. Di depan pintu gudang sekelebat kurasakan ada anak perempuan berlari ke arah halaman depan, spontan aku menengok kearahnya namun tak kudapati apa-apa. Halaman belakang rumahku ini lebih mirip hutan karena ada tiga pohon besar yang sebagian tumbuh rindang menutupi sinar matahari, jadi ketika cuaca mendung begini halaman belakang jadi terlihat rada gelap. Akhirnya pintu gudang kubuka, kunyalakan senter dan mulai mencari dimana mesin tik tua itu disimpan.

Entah berapa lama gudang tidak pernah dibuka, namun keadaan gudang ini beserta barang-barang yang tersimpan di dalamnya hampir tidak berdebu. Ukuran gudang ini adalah 6x3 meter kata bapakku, didalamnya sebagian besar terisi dengan barang-barang peninggalan penghuni rumah ini sebelum kami. Setelah agak lama akhirnya kutemukan juga mesin tik tua itu, kubuka kain penutupnya dan aku terkejut.........sebuah kertas seukuran kartu pos terpasang pada papan ketiknya. Penasaranku begitu besarnya hingga kucabut saja kertas itu dan tak kusangka dibaliknya ternyata ada foto, tak salah lagi, yang kertas yang sedang kupegang saat ini adalah foto yang dulu ditemukan dari gramophone tua.

"Ingrid laten we naar huis gaan, het gaat regenen"
"nee, ik wil hier iets langer blijven"

Kudengar suara percakapan dari dua orang di luar gudang, tetapi bahasanya terdengar asing di telingaku, suaranya berasal dari  seorang wanita dewasa dan anak perempuan. Kuambil mesin tik dan foto tadi, kubawa ke teras untuk nanti kubersihkan dulu. Aku kembali ke gudang untuk mengunci pintunya, seorang anak perempuan yang sekelebat berlari memasuki gudang sontak membuatku kaget. Kembali kumasuki gudang rumah dan kucari anak perempuan tadi, lampu senter sudah kuarahkan ke seluruh penjuru ruangan namun tidak kutemukan dia, apakah aku sedang berhalusinasi. Rintik hujan kudengar sudah turun, tanpa pikir panjang aku keluar dari gudang dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Tak kuceritakan sedikit pun peristiwa tadi kepada istriku, aku langsung menuju teras sambil membawa kain lap untuk membersihkan mesin tik. Tidak perlu waktu lama untuk membersihkan mesin tik tua ini, lalu sebelum aku kembali ke dalam kuperhatikan lagi dengan lebih teliti foto usang si gadis kecil. Hmmmm, agak jauh di latar belakang foto ini samar terlihat seorang wanita berdiri dengan mengenakan setelan panjang, sejenak kupikir-pikir "bukannya ini mirip wanita yang tadi pagi menyapaku???"

Kenapa juga foto ini tadi diselipkan di mesin ketik, kulihat bagian belakangnya dan terlihat samar ada bekas ketikan yang halus namun tak bertinta, kuraba dengan jari pun nyaris tak terasa bekas ketikannya. Foto ini akhirnya kusimpan dulu tanpa memberitahukan keberadaannya pada Mila, lalu kutunjukkan mesik tik tua tadi kepada Mila dan dia langsung memeriksanya. "Ini Corona buatan tahun 1930 mas, ini sangat berharga" ujar Mila setelah memeriksanya, diriku tidak habis pikir ternyata istriku jago juga.

Mendadak kami dikejutkan dengan suara jendela yang diketuk-ketuk, asalnya dari kamar orangtuaku. Kutinggalkan Mila di ruang keluarga dan aku menuju ke kamar orangtuaku, suara ketukan itu masih terdengar tapi mulai samar-samar ketika aku sudah mendekati kamar. Pintu kamar bapak dan ibu tidak ditutup sehingga aku bisa langsung melihat ke dalam ruangannya, suara ketukan jendela itu tak lagi kudengar, tapi kulihat kipas angin di dalam kamar ini dibiarkan menyala. Dengan berteriakku menanyakan hal ini kepada Mila yang berada di ruang tamu, dia menjawab kalau dari semalam kipas angin itu dalam keadaan tidak menyala. Akhirnya kumatikan kipasnya, jendela kamar kututup karena sedang hujan, lalu aku kembali ke ruang keluarga untuk menemani Mila.

Di ruang keluarga kulihat Mila masih mengulik mesin tik tua tadi, sambil sesekali dia menekan tombol-tombolnya. Semakin lama kulihat justru aku merasakan Mila seperti sedang mengetikkan sesuatu memakai mesin tik tua ini, lalu tak lama Mila beranjak menuju mesin tik elektronik yang setiap hari dia gunakan untuk bekerja. Kertas di mesin tik miliknya dicabut lalu diletakkannya kertas kosong, sedang apa istriku ini? Sebelumnya aku tidak menyangka kalau Mila sedang 'diambil alih' tubuhnya, diriku baru menyadarinya ketika dia berhenti mengetik lalu terbatuk-batuk dan memanggil namaku dengan lemah. Kupapah Mila ke sofa lalu kuambilkan air putih, sembari berdoa kubantu meminumkan air tadi lalu kupijat-pijat bahu dan lengannya.

"Aku kenapa mas Deni, rasanya kok lemas dan agak samar semua tadi?" Tanya Mila dengan nada lemas. Kujawab dengan menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada dirinya, lalu dia memelukku sambil ketakutan. "Aku ada firasat kalau misteri ini harus diakhiri, penghuni terdahulu pasti juga mengalami hal yang sama dengan yang kita alami" ucapanku ini langsung dibalas oleh Mila, "Aku paham kalau maksudmu harus kita yang mengakhirinya mas, tapi dengan cara apa?"

Kujelaskan pada Mila kalau kami mungkin harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dibalik fenomena-fenomena kejadian ganjil ini. Besar atau kecilnya sebuah petunjuk pasti akan merujuk pada satu jawaban. Jam 16.00, langit sudah gelap karena mendung pekat dan sudah dua jam hujan yang tidak begitu lebat ini belum juga berhenti. Lampu-lampu sudah kunyalakan semua karena saking gelapnya keadaan sore ini, lalu Mila memanggilku dari ruang keluarga. Mila memberitahukan kepadaku sesuatu yang sama sekali tidak terpikirkan olehku dari siang tadi. Dia menggenggam pensil dan digosokkan ke belakang foto anak perempuan tadi, lalu dari arsiran-arsiran pensil itu terlihat kata-kata "Ini bahasa Belanda mas," kata Mila.

Istriku lalu menyalin kata-kata tersebut lalu menelepon kenalannya dari sebuah majalah untuk membantu menterjemahkan.

"we kunnen dit ding niet langer geheim houden, onze lijken moeten worden gevonden. wat het belangrijkste is, moet je Ingrid hoofd vinden.
help ons het te vinden ....... Inge"


Setelah menutup teleponnya, Mila menjelaskan kepadaku bahwa kami harus membantu menemukan 'mayat-mayat' dan 'kepala' dari seseorang yang bernama Ingrid. Kami hanya saling pandang sambil memasang muka bingung. Aku lalu teringat pada selembar kertas yang tadi secara tak sadar diketik oleh Mila, selembar kertas itu tadi tak sempat kubaca, kertas itu masih menempel di mesin tik milik istriku namun sungguh aneh, seharusnya ada ada yang tertulis diatas kertas ini, tapi tak kudapati satu huruf pun yang tercetak. 



Sepanjang sisa sore kami hanya menghabiskan waktu di ruang keluarga, hingga waktu maghrib telah tiba. Hujan belum berhenti juga hingga lepas maghrib, Mila sedang memanaskan makanan di dapur, aku duduk sendirian di ruang tamu sambil memandangi foto usang tadi, tak lama lalu kudengar suara televisi sedang menyala, kupikir itu pasti istriku yang sedang menontonnya, lalu kuhampiri ke ruang keluarga. Aku terkejut bukan main, kudapati tak ada istriku di ruang kelurga sedangkan televisi dalam keadaan menyala, majalah-majalah dan koran yang tadi tersusun rapi berserakan di lantai seperti habis dilempar. Bulu kudukku mulai berdiri merinding melihat suasana di ruang keluarga, tiba-tiba kudengar suara dari arah pintu depan, ada yang mengetuknya dengan keras sekali.



DOK, DOK, DOK! Kudatangi pintu depan dan kubuka, tak kutemukan seorang pun bahkan kulihat lantai di depan pintu masih kering tak ada bekas jejak kaki yang basah karena hujan. "AAAAAAKH mas Deniiii....." suara teriakan Mila kudengar sangat keras, aku bergegas mendatanginya kearah dapur, kudapati Mila sedang bersembunyi jongkok dibalik kursi meja makan. "Ada apa Mila, kamu habis melihat apaan?" tanyaku, Mila yang gemetaran segera memelukku sambil menajwab dengan ketakutan, "aku tadi mau pipis mas,,,,,,,,, terus ke kamar mandi tapi lampunya kok mati, tadi kan sudah kamu nyalakan ya? aku tekan berkali-kali saklarnya tapi tetap nggak mau nyala lampunya. Akhirnya aku nekat masuk saja karena sudah kebelet,,,,waktu mau keluar aku dengar gayungnya jatuh, aku menoleh ke belakang malah ada kaki besar berbulu hitam mas........tingginya sampai nembus langit-langit kamar mandi." 



Kutenangkan Mila kubawa dia ke kamar tidur kami, kekacauan di ruang keluarga belum kuceritakan apalagi kubereskan. Setelah Mila agak tenang aku kembali ke ruang tamu dengan maksud untuk membereskan majalah dan koran yang berserakan dan mematikan televisi. 



Aku melangkah ke ruang tamu, sesampainya disana diriku dibuat tertegun. Di depan televisi yang sedang menyala kulihat ada seorang anak perempuan duduk di lantai, lalu di sofa kulihat ada seorang wanita berparas cantik, "bukankah dia yang menyapaku pagi tadi?" Aku hanya bisa diam membisu menatap mereka disana, mulut dan kakiku seakan dikekang oleh sesuatu yang tak terlihat oleh mata. Wanita yang duduk di sofa itu mulai menatapku dengan senyum tipis, dan seketika itu sebuah lagu dalam bahasa Belanda mulai terdengar dengan jelas dari radio di atas bufet yang menyala sendiri, penampakan-penampakan yang ganjil pun mulai muncul tanpa aku bisa menutup mata untuk mengabaikannya.



Dua pria asing yang sangat tinggi muncul dari dinding lalu melintas di depanku berjalan menembus dinding ke arah ruang tamu, kulit mereka yang kering terkelupas terlihat jelas ketika mereka sangat dekat dihadapanku. Aroma melati bercampur busuk mulai tercium memenuhi ruangan, sekelebat selendang kuning melayang seakan-akan diterbangkan angin, lalu menghilang di langit-langit. Yang tambah mengagetkan adalah tiba-tiba tubuhku seakan didorong dari belakang lalu kulihat dua buah kaki besar berbulu hitam melangkahi kepalaku, pangkal kakinya tak terlihat karena tingginya menembus langit-langit rumah. Kaki itu terus melangkah hingga menghilang menembus dinding, lalu disusul suara percakapan oelh beberapa orang dalam bahsa Belanda terdengar menggema dan semakin membuat bulu kudukku berdiri, sementara aku masih belum bisa menggerakkan apa pun dan hanya bisa terdiam di tengah-tengah peristiwa ganjil nan mencekam ini.



BLUUUGH....Sesuatu mendorongku dari belakang dan membuatku jatuh terjerembab, dan aku bisa bergerak dan bersuara lagi. "Apaan sih ini, aduh dadaku sakit" rintihku, "Mas Deniiiii, kipas angin dikamar menyala sendiri tuuuh, aku panggil-panggil kamu gak nyahut mas," Ternyata Mila yang mendorongku, dia terlihat ketakutan sekali. Anak kecil dan wanita itu menghilang, sementara di ruang tamu ini televisi dan radio masih menyala, lalu koran dan majalah berserakan membuat Mila jadi tambah ketakutan, dia kupeluk erat sambil mematikan televisi dan radio itu, koran dan majalah kupinggirkan saja tanpa dirapikan kembali. Lalu kami kembali ke kamar, benar juga apa yang dikatakan Mila, kipas angin di kamar kami menyala tapi......kulihat dengan jelas kalau kabelnya tidak menancap di colokan listrik, aku bergegas membawa Mila pindah ke ruang tamu.



Kutenangkan Mila di ruang tamu, lalu kuambilkan dia sebotol air putih dari dapur. Aku mendengar suara kamar mandi seperti sedang dipakai, tak kuhiraukan da aku langsung menemui Mila di ruang tamu. Kukatakan pada istriku yang sedang ketakutan ini untuk berdoa saja kepada Tuhan supaya keanehan malam ini segera berakhir dan kami semua dilindungi olehNya. 


Baru saja kami merasa agak tenang, kemudian PETT....lampu seisi rumah mati, apakah listrik di daerah ini padam, pikirku. Kutinggalkan Mila sejenak untuk menyalakan ublik (lampu minyak) supaya ada penerangan di beberapa ruangan. Mila akhirnya ikut menyusulku karena gerah ditinggal sendirian, ketika kunyalakan ublik untuk menerangi kamar mandi terdengar suara pintu depan ada yang mengetuk, lengan kananku spontan dipeluk erat oleh Mila. Dengan ragu kami berjalan menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu depan. Dari ruang keluarga terlihat cahaya menembus dari kaca pintu, segera kudatangi dan kubuka pintu itu........

"Mas sama mbak Mila habis ngapain, kupikir pada malam mingguan ke Mitra (sebuah gedung bioskop)." Ternyata yang mengetuk pintunya si Indra, adikku, diriku sampai lupa kalau malam ini dia ke Surabaya.

Hampir setengah jam kujelaskan semua yang kami alami di rumah ini, Indra bisa memahaminya karena dia dulu juga diganggu oleh penghuni gaib rumah ini. Dari cerita pesan gaib yang muncul secara misterius dari balik foto, Indra mengucapkan dua buah nama yang sekarang tidak asing bagi kami, ya kedua nama itu adalah Inge dan Ingrid. Dari ruang tamu kami pindah duduk ke ruang keluarga, disitu kami mengisi waktu dengan mengalihkan pembicaraan ke arah yang logis mulai dari cerita tentang kakek kami yang kemarin meninggal hingga persiapan nikahnya Indra.

Ctak, ctak,,,ctak ctak ctak, ctak.....suara mesin tik menghentikan obrolan kami di ruangan gelap yang diterangi ublik ini, kami bertiga langsung menoleh ke sumber suara itu. Mesin tik tua yang dari tadi kuletakkan di meja ternyata bergerak sendiri tombol ketiknya, Mila langsung merangkulku, kami terus melihat dengan tidak percaya kalau mesin tik itu benar-benar bergerak mengetik sendiri, hingga...........perlahan dalam temaram cahaya ublik, sebuah sosok mulai terlihat dari samar hingga jelas. Wanita cantik berpakaian kuning sedang mengetik sesuatu, airmata terlihat menetes di matanya, "Inge..." ucap Indra pelan.

JLEGAAAAAARRR.....suara petir mengagetkan kami, dan ketika pandangan kami kembali menuju ke wanita misterius tadi, wajah yang tadinya cantik mengelupas kulitnya dan samar perlahan wujudnya lenyap jadi asap diiringi suara tawa seram yang menggema di seluruh ruangan. Semerbak wangi melati kembali tercium, Mila semakin erat memelukku dengan ketakutan sedangkan Indra mengambil sikap siaga. Dan benar sekali sebuah hembusan angin dingin yang datang entah darimana terasa sedang mengelilingi kami bertiga, dari arah kamar Indra yang pintunya tertutup rapat terdengar lagu Belanda yang dinyanyikan oleh suara anak kecil, pandangan kami otomatis tertuju kesana dan kali ini kami diperlihatkan munculnya sosok yang oleh Indra dikenalnya sebagai Inge dan Ingrid, mereka muncul menembus pintu dari kamar adikku itu. Dari belakang menyusul sosok dua laki-laki bule (sepertinya orang Belanda) dan seketika mereka muncul salah satunya langsung menebas leher Ingrid si anak perempuan berparas bule, kepalanya tergelinding kearah kami dan berhenti kira-kira sepuluh langkah dari posisi kami berdiri. Inge terkejut dan berteriak, lalu dia lari tanpa menapakkan kakinya ke lantai, teriakkannya lama-lama seperti terjemahkan di kepalaku, lebih mirip sumpah serapah kepada dua lelaki Belanda yang menyakiti anaknya itu. Wujud kedua lelaki itu berubah menjadi menyeramkan mirip seperti mayat busuk, mereka lalu mengejar Inge ke arah dapur. 

"ze haten me omdat ik uit een autochtone vrouw was geboren" ucapan ini keluar dari kepala Ingrid.....

"Mereka membunuhnya karena terlahir dari wanita pribumi!" ucap kami bertiga, dan seketika itu kami saling pandang dengan heran. Bagaimana kami mengetahui arti dari ucapan Ingrid, keheranan kami tak berlangsung lama karena Mila berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke kepala Ingrid yang melayang. Merasa terdesak kuajak Indra dan Mila masuk ke kamarku dan mengunci pintunya dari dalam. Mila kusuruh istirahat di tempat tidur, Indra dan diriku berjaga-jaga di tepian tempat tidurnya.
"Apes kamu Ndra, baru saja pulang sudah berurusan dengan kejadian kayak gini" ucapku pada Indra, dia lalu menjawab "Bukannya kita sudah mengalami hal ini sejak pertama kali menghuni rumah ini mas, cuma lebih kecil saja gangguannya."

TOK TOK.....CKLEK! Pintu kamarku diketuk dan ada yang berusaha memainkan gagang pintunya, kuambil senter yang ada di meja kamar karena cahaya ublik kurang terang, lalu kusorotkan senternya ke arah pintu. Pas dibawah pintu diselipkan sebuah kertas, sejenak aku saling pandang dengan Indra lalu dia tanpa kusuruh langsung mendekati pintu dan mengambil kertas itu. Dengan bantuan cahaya senter kami membaca isi kertas itu, sebuah pesan yang diketik dengan tinta yang basah. "Baunya kok amis?" ujar Indra, senter yang kupegang lalu didekatkan oleh Indra ke tulisan di kertas itu, "Tinta ini, sep-sepertinya dari darah mas..." Ucapan Indra barusan sedikit membuatku mual, lalu kami mulai membacanya.

"Tahoekah kaliann,,,,,kebetoelan jang mengerikan, 
hhhhhhhhhh boeyoetmoe ternjata kacoeng meneer Willsengoerd,,
dia orang jang telah mengoeboerkan keapalaa Jngrid
temoekanlah kepaala Jngrid,,,kasihan annak gadis saja menderita.
Jnge van der Jaanschente"

Agak lemas, aku merebahkan bddanku di sebelah Mila, Indra dengan gestur rasa tak percaya terlihat diam dan berpikir. 

Pukul 01.58, hujan masih belum berhenti dan listrik masih belum menyala. Aku masih terjaga bersama Indra di dalam kamarku, Mila tertidur pulas dan sesekali aku seka keringat di wajahnya. Sudah beberapa jam sejak kejadian terakhir aku dan Indra membahas mengenai rumah ini, apakah bapak kami sudah mengetahui sejarah rumah ini atau ini semua murni kebetulan lalu nasib mengarahkan kami sekeluarga ke rumah ini? Segala posibilitas kubicarakan dengan Indra, kami tak ingin kejadian-kejadian seperti datang rutin dan berlarut-larut selalu menghantui kami atau penghuni rumah ini setelah kami. 

Indra sekali lagi menceritakan pertemuannya dengan Inge dan Ingrid pada tahun 1988, sampai di bagian "Inge mencopot kepala Ingrid di taman bermain dekat rumah" aku seakan mendapat link yang sepertinya bisa menguak masa lalu 'mereka' berdua dan rumah ini. "Mungkinkah kepala Ingrid ditanam di sebuah lokasi di dalam taman itu Ndra, lalu Inge juga dibunuh dan mayatnya dikubur bersama dengan mayat Ingrid?" 

Indra menjawab "Bisa jadi mas, tapi lokasi mayatnya...apa mungkin berada di pohon beringin besar itu yang diujung jalan, malam itu aku melihat mereka menembus masuk ke batang pohonnya."

Kujawab belum tentu, lalu entah kenapa tiba-tiba terbesit di pikiranku "Apa mungkin Ndra, mayat keduanya dikuburkan di rumah ini?" Indra mengangguk, dia berpikir sambil melihat sekeliling "Jika pikiran kita sama nih mas, di sebelah mana di rumah ini mereka dikubur?" pertanyaan indra ini tak bisa langsung kujawab. 

"Mungkinkah di gudang?" ucap Mila yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
"Coba kita ingat algi ukuran gudang di rumah ini, bukankah 6x3 meter itu terlalu besar untuk sebuah gudang. Ukuran itu kan kira-kira sepertiga dari ukuran rumah ini" Lanjut Mila.

Lalu Indra menambahkan kemungkinan yang semakin menguatkan pemikiran Mila, "Tiga pohon besar yang di halaman belakang bukankah itu sudah cukup tua umurnya mas, kalau perkiraan mbak Mila tadi tepat, berarti ketiga pohon itu sengaja dibuat sebagai pengalih perhatian atau untuk menutupi posisi gudang."

BYAAR...Listrik tiba-tiba menyala dan lampu-lampu di rumah kami kembali menerangi tiap ruangan (mungkin saja). Seketika itu kami hanya saling pandang sebagai tanda sepakat atas pemikiran-pemikiran tadi, lalu Indra mengajak untuk memeriksa tiap ruangan dan kami bertiga segera keluar dari kamar. Televisi dalam keadaan menyala (padahal tadi sudah kumatikan) lalu kumatikan, Aku bersama Mila memeriksa ruang tamu, Indra memeriksa kamar bapak dan ibu. Setelah itu kami bertiga ke dapur, semua normal, kamar mandi pun lampunya menyala.

"Dua jam lagi subuh, kita tidur saja dulu Ndra, ngumpul di kamarku saja seperti tadi" Indra dan Mila sependapat, lalu kami berusaha istirahat setelah melewati kejadian-kejadian yang kami alami malam ini.
,
,
,
,
,
Pukul 08.21, aku memanggil pak Sigit seorang petugas lingkungan dan penggali kubur di wilayah rumahku. Lantai di dalam gudang rumahku ini tidak di cor,hanya lantai ubin. Kami harus mengira-ngira dulu di bagian mana kemungkinan 'keduanya" dikuburkan, tiba-tiba indra memanggil kami "Sini mas, ada lantai yang menggembung di balik lemari kayu sebelah sini."

Tanpa pikir panjang aku dan pak Sigit mulai menggali, kami menjebol dulu lantai ubin itu dengan linggis, Mila dan Indra menyaksikan penggalian ini. Penerangan di dalam gudang ini hanya sebuah lampu petromak dan pak Sigit belum kami beritahu apa yang sedang digali ini. sekitar 1.5 meter menggali pacul pak Sigit menyentuh sebuah benda padat yang terbuat dari logam, kami lanjutkan menggali hingga benda ini terkuak bentuknya. Setelah 48 menit menggali terlihat bahwa benda yang terkubur ini adalah sebuah kabinet dari besi, dengan sedikit gemetar akhirnya kuberanikan untuk membukanya dan...................pemandangan memilukan tersingkap di dalam kabinet yang sudah lama terkubur ini, kerangka komplit seorang wanita dewasa bertumpuk dengan kerangka anak kecil tanpa tengkorak.

Pak Sigit yang masih terkejut setelah melihatnya kuajak kembali ke permukaan, Indra lalu menjelaskan semuanya ke pak Sigit, Mila kusuruh menelepon polsek untuk mengirimkan petugas.
Pukul 11.32 siang, kedua kerangka itu sudah selesai diangkat dan kami sudah memberikan keterangan kepada polisi, termasuk bagaimana kronologi-kronologi awal yang tidak masuk diakal. Pada kesempatan ini juga aku meminta ijin kepada petugas untuk sekali lagi melakukan penggalian, setengah tidak percaya pihak berwajib mengijinkanku. Kali ini kuajak pak Sigit menuju ke taman bermain di dekat rumahku, kali ini benar-benar membuat kami bingung karena tak ada petunjuk satu pun, mendadak Indra merebut sekop yang kubawa. Indra berjalan menyisiri tiap sudut taman hingga dia berhenti pada satu lokasi yang dimana terdapat banyak bangkai rajungan, lalu dia mulai menggali, pak Sigit pun juga langsung bergerak dan mulai mengglai dengan menggunakan paculnya.

Hingga akhirnya sekop Indra menyentuh sebuah benda rapuh dari dalam tanah, kemudian digalinya tanah disekitarnya dengan hati-hati.........sebuah tengkorak kepala anak kecil diangkat oleh Indra, semua yang hadir menyaksikan kaget dan tercengang. Kepolisian akhirnya yang mengambil alih masalah ini, ahli budaya juga dilibatkan, aku dan Indra menjelaskan semua kejadian ini kepada bapak sampai beliau terkejut, lemas dan berkali-kali mengelus dada.

Selama tiga minggu polisi beserta tim dari dinas cagar budaya menyelidiki rumah orang tuaku. Kami sekeluarga akhirnya sepakat untuk menjual rumah itu, karena ada tawaran dari pemerintah kota dan rumah kami dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan. Kejadian-kejadian yang pernah berlalu tak pernah kami bicarakan lagi, bahkan untuk diwariskan sebagai cerita untuk keturunan kami.


Surabaya, Januari 1995.

Sebuah cerita bersambung dimuat di sebuah majalah, jalan ceritanya sama persis dengan sejarah yang pernah terjadi di bekas rumah kami, aku tak langsung menuduh Mila sebagai penulisnya karena dia memutuskan rehat sebagai penulis selama setahun dan mesin tik elektroniknya sengaja ikut dijual beserta rumah kami dulu. Beredar kabar bahwa penulis cerita bersambung itu tak sengaja menemukan berlembar-lembar naskah yang diketik tidak utuh,entah darimana ditemukannya.......



-TAMAT-