Saturday 25 February 2017

Serial Detektif Indigo (SDI): Kenangan Kirana (bagian 6)


 Serial Detektif Indigo (SDI): Kenangan Kirana (bagian 6)

PECAHAN SUKMA



Pukul 10 malam, hawa dingin menyeruak di kamar yang aku dan Arina tempati. Tapi benar-benar kurasakan ada yang paling ganjil, ada "udara dingin" yang sepertinya bergerak untuk semakin mendekatiku.

"tampakkan dirimu, Aisha"

Dan sosoknya mulai perlahan terlihat dari selubung gaibnya. 

"Kukira engkau bukan berasal dari tempat ini, selama ini dirimu mengikuti kami ya" tanyaku.

Sambil berjalan membelakangiku dia bergerak melambai seperti sedang membiarkan tangannya menari-nari, sungguh ajaib hawa dingin berubah menjadi hangat.

"Kita harus ke tempat sang raja malam ini juga, gadis itu tak perlu dibawa kesana" ucapnya.

"Malam ini?! Gila, aku bisa mati kedinginan" jawabku terkejut.

"Aku yang akan menemanimu, jangan khawatir tentang hawa dingin malam ini" ucap Aisha enteng.

"Tapi pengawal-pengawal itu akan.."

"Mereka tidak akan keberatan denganku, ayo lekas!" Aisha memotongku.

Sambil berpikir aku pun melirik ke arah Arina yang sudah pulas di tempat tidurnya. Apa diriku harus menuruti perkataan Aisha ataukah kutolak saja.

"Turuti Aisha, Kirana aman bersama kami disini" suara Kimi.

Oke, kalau Kimi sudah berucap seperti itu aku semakin yakin untuk menuruti Aisha.



Entah sudah berapa lama kulalui belantara ini, belakangan diriku baru menyadarai bahwa langit tidak segelap bagaimana harusnya pada malam hari, kondisi ini menyerupai senja. "Kau sudah mulai terbiasa nampaknya, tahukah sekarang kita berada dimana Alvian?".
"Tentu saja aku tahu" pertanyaan bodoh macam apa itu. "Jadi kau sudah sadar kalau kita tidak lagi berada di duniamu, selamat datang di lapisan pertama irisan duniamu dan duniaku."
Apa ini......sejak kapan aku berada di dunia mereka, berarti tubuhku, tubuh asliku?? "tubuhmu sudah tidak sepert dulu, tubuhmu sudah terbiasa jadi tak perlu kau khawatirkan. Lihatlah itu istana kami sudah mulai terlihat, indah bukan." 

Istana itu, indah sekali tapi terlihat seperti tak terawat, beberapa detik kupandang tiba-tiba saja diriku berada di halam istana itu. Sihir apa ini? bagaimana mungkin aku bisa langsung berpindah ke halaman istana, seperti inikah kehebatan bangsa jin atau saja ini terjadi secara otomatis diluar pikiranku. "ayo lekas masuk ayahku sudah menunggumu, eh maksudku baginda sudah menunggumu."
Aisha mengantarku menghadap ayahnya, sang baginda. Sebuah sosok besar duduk di singgasana, wujudnya adalah raksasa bertangan empat dengan wajah menyerupai ukiran Bethara Kala dan di punggungnya kulihat sebuah cangkang kura-kura. Aku berjalan mendekati singgasananya, belum lama kemudian datanglah dari sisi kiri sang baginda beberapa pengawal membawa sorang tawanan dalam keadaan babak belur dirantai. "I-itu itu adalah si kera besar yang hendak kulawan, bagaimana dia bisa ada disini!?."

"HAHAHAHA HAHAHAHAHA HAHAHAHAHA", Suara tawa sang baginda lantang seolah mengisi seluruh istana. "Dia sudah kukalahkan berdasarkan permintaan Aisha, dan kutahu apa sebenarnya masalah yang sedang kau hadapi, jalan keluarnya berada dibalik pintu merah itu!" ujarnya sembari menunjuk ke sebuah pintu merah di arah kananku. "Kau akan lebih mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan juga seperti apa kemampuan sejatimu. Pergunakan kunci yang kau terima itu untuk masuk kesana, monyet ini biarkan membusuk di penjara istanaku. Wahai pangeran, kuanggap urusanmu disini sudah selesai."

Aisha menarik tanganku dan mengarahkan diriku kearah pintu merah itu, lalu dia memelukku dan menitikkan airmata. "Akan kuberitahu apabila sudah datang waktunya, dan dirimu sudah tidak ragu-ragu lagi." 
Tak paham akan maksud perkataannya itu, kaki-kakiku melangkah dengan sendirinya dan tanganku membuka pintu merah itu...........


Sebuah ruangan seperti di dalam pondok kayu dengan hanya ada dua kursi yang membelakangiku, dimana di kedua kursi itu duduk dua sosok seorang wanita dan anak kecil. 

"Kirana......dan kamu Rania, kalian sedang apa disini?" mereka tak bergeming, kudekati dan menghadap ke arah mereka. Ekspresi dingin mereka mengejutkan diriku, sebuah cahaya ungu memancar dari kening mereka berdua. Cahaya ini......benda ini merupakan pecahan sukma, bagaimana bisa seorang manusia seperti Kirana bisa memilikinya, terlebih lagi terjadi juga pada Rania. 
"Bagaimana, sudah sedikit lebih paham?" Suara dari Aisha mengejutkanku, apa maksudnya ini, bagaimana mungkin bisa ini semua terjadi dan berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang belakangan kami alami. "Kirana.....wanita itu tanpa sengaja menemukan rahasia para jin yang dulu ditanamkam pada sebuah patung, entah bagaimana dia bisa mengetahui konsep dari rahasia itu hanya dalam sekejap itu masih merupakan misteri bagi kami juga." 

"Pecahan Sukma, itulah yang dipelajari oleh Kirana. sebuah cara bagi kami para jin untuk bisa memasuki dunia manusia dan menempatkan diri pada berbagai benda atau pun makhluk-makhluk di bumi. Pecahan sukma juga merupakan pemancar dan penyerap energi bagi kami, bangsa kami bisa meletakannya di lebih dari satu lokasi, mungkin lebih mudahnya bagi dirimu adalah kami memecah jiwa kami menjadi beberapa bagian dan menyembunyikannya di dunia manusia." Aku tertegun mendengar penjelasan dari Aisha.
"Yang terjadi pada Kirana adalah hal yang sebaliknya, dia memecah sukmanya menjadi dua akan tetapi terjadi hal diluar dugaan, masing-masing pecahan sukma itu seakan memiliki kepribadian sendiri-sendiri. sukma Kirana yang seakan kehilangan ingatan dan Rania yang murni sebuah kepribadian yang berdiri sendiri, berkehendak sendiri. Masalah ini bisa kau selesaikan sendiri setelah ini, akan kau temukan pemecahannya dan kau yang memutuskan untuka memilih siapa." Aisha tiba-tiba lenyap.

"Tunggu dulu Aisha, bagaimana mungkin aku melakaukan itu semua, hei tunggu Aisha!!" Perempuan jin itu telah lenyap dan tanda tanya besar mengisi kepalaku, tak kusangka bakal serumit ini apalagi ini menyangkut pecahan sukma, sebuah hal tabu bagi jin untuk diceritakan kepada manusia.
Rania tiba-tiba berdiri dari kursinya dan mendekatiku "Aku tidak ingin mati" ucapnya dengan tangis. Kirana juga berdiri dan mendekat padaku "Kau tahu diriku lebih penting," gila, semua ini gila bagaimana aku bisa menyelesaikan ini terlebih lagi dengan dua pilihan dimana salah satunya harus mati. Aisha dengan sederhana memjelaskan kepadaku bahwa manusia tidak akan bisa menerima dua sukma dalam dirinya, dan apabila salah satu dari sukma ini harus mati artinya ketika sukma sejatinya kembali maka akal sehatnya setelah sadar tidak akan utuh seperti dulu.

Akhirnya kupeluk Rania dan kutarik cahaya sukma ungu dari keningnya, perlahan fisik gadis kecil itu pudar dan pada akhirnya lenyap. Sedangkan Kirana kutarik tangannya dan kubawa dia keluar dari ruangan ini, melangkah menuju pintu merah dan membukanya. Sekejap kami berada di kamar tempat jasad Kirana terbaring dengan Aditya menjaganya di samping tempat tidur. Kimi dan yang lainnya terkejut melihatku, tanpa menanggapi mereka kuambil cahaya sukma Kirana dan memasukkan ke jasadnya yang sedang terlelap. "Kau sudah mengetahuinya sampai sejauh ini, kuharap kau bisa menjaga apa yang sudah kau ketahui malam ini" ucap Kimi.


"Bangunlah bodoh, aku sangat khawatir padamu" kudengar suara Arina terisak-isak. Samar-samar kubuka mata dan kulihat matanya berkaca-kaca kearahku, apa yang baru saja terjadi?


TIGA BULAN KEMUDIAN...

Menatap langit sore dan menikmati kuaci asin, masih kubayangkan bagaimana waktu itu diriku ditemukan tak sadarkan diri di jalur pendakian gunung Semeru. Hal terakhir yang bisa kuingat adalah kumasukkan sukma Kirana kedalam tubuhnya dan kata-kata terakhir dari Kimi. Ya benar kata-kata terakhir, sejak saat itu tak kujumpai lagi Kimi dan yang lainnya walau hanya sekedar suara sekali pun. Yang "ku punya" saat ini hanyalah seorang gadis kecil bernama Rania, dia tak terlihat oleh orang lain dan keberadaanya juga sebuah misteri.

Waktu itu sukma Rania tidak kumusnahkan, sukma itu kusembunyikan dalam diriku sembari menunggu waktu sampai bisa kupecahkan cara kerja pemecahan sukma dan bagaimana membalikkan prosesnya. Rania tak banyak bicara, dia seolah kehilangan ingatan dan hanya sering tersenyum kepadaku. Rania bisa terus "hidup" dengan cara kuberikan sedikit energi spiritualku padanya sebagai makanan. Tentang Kirana dan suaminya aku tak mendengar kabar mereka, Arina menutup mulutnya rapat2 dan hanya memberitahukan bahwa mereka sudah "tertolong".

HP ku berbunyi, sebuah email terlihat di layar notifikasiku, dan kubuka.


"Hai kak, namaku Abel.

bisakah kita bertemu di suatu tempat, emmm kalau bisa sih di kampusku hehehe (kita satu almamater loh kak, jadi kamu itu harusnya seniorku).
please ya kak Alvian aku pingin banget ketemu kakak, nanti Kimi juga kuajak loh ;p

lamken yaaaach :-*


nb: nanti kita jalan-jalan melintasi Pintu Merah kak!"


Terheran aku membaca email itu dan bergumam "Pintu Merah, siapa orang ini, dan namanya Abel?"
"Kak, aku juga ingin bertemu dengan Abel" ucap Rania, jadi makin bingung aku.





-TAMAT-




*lama banget yah nulisnya, banyak kendala dan mood yang hilang untuk melanjutkan serial ini, terlebih lagi kejadian2 diluar nalar yang semakins ering saya alami ketika tiap tulisan sudah saya posting. belakangan saya bertemu dengan beberapa teman penulis dan komikus yang saling mendorong satu sama lain untuk melanjutkan berkarya. dan inilaha bentuk pertanggung jawaban saya kepada kalian para pembaca.

Thursday 16 February 2017

Serial Detektif Indigo (SDI): Kenangan Kirana (bagian 5)

Madakaripura!


Kuminum segelas air dingin yang disediakan untukku, disebelahnya ada cemilan keripik kentang kesukaanku. Masih setengah teler aku berusaha untuk meraih kesadaran sepenuhnya, sepertinya tadi diriku melebihi 'batas' tidur normalku.

"Berapa lama tadi aku t......." DUKK!! belum selesai kubertanya sebuah pukulan mendarat di kepalaku.

"Hobimu selalu saja menyusahkan orang, apa kau sadar tadi butuh setidaknya empat orang untuk menggotongmu keluar dari mobil" damprat Arina menusuk telingaku.

"Apa sih yang ada di kepalamu sampai tertidur sampai enam jam kayak orang mati pula susah dibangunkan" kudengar saja omelan-omelan itu sambil berpikir sendiri.

Lama juga aku tadi 'ketiduran' pantas saja badan masih terasa loyo. Sebisanya kujawab semua yang ditanyakan oleh Arina, bukan masalah sih diriku panjang lebar kepadanya karena dia sudah percaya nggak percaya pada setiap ceritaku. Saat ini diriku berada di kamar yang disediakan untukku dan Arina, tentu saja ketika tidur malam aku mendapat jatah tidur di lantai dan Arina di atas kasur empuk T_T.

Jam menunjukkan sudah hampir sore hari. Diriku masih belum bertemu Aditya lagi semenjak 'ketiduran' tadi, sedangkan Arina sibuk dengan dirinya sendiri. TOK TOK, pintu kamar diketuk, terdengar suara Aditya memintaku dan Arina untuk bertemu di ruang keluarga. Aku dan Arina saling menatap lalu bergegas keluar kamar dan mengikuti Aditya. Sesampainya ruangan itu kuperhatikan di sebuah kursi ada seorang wanita dengan potongan rambut pendek sedang disuapi makan oleh seorang suster.

Wajahnya sudah tak asing lagi bagiku, ya wanita ini adalah Kirana. Dia bagaikan anak berusia tiga tahun secara mental, apakah ini efek dari kejadian 'itu'?

"Um, Kirana sudah bisa sedikit berpikir tentang makan, mandi dan beberapa perilaku wajar lainnya sejak satu jam yang lalu, entah kenapa diriku juga tidak tahu" Aditya menjelaskan.

"Tetapi dia masih tidak mengucapkan satu kata pun, walaupun begitu kelakuannya seperti anak kecil tapi sudah mampu merespon kata-kata dan meminta sesuatu yang dia inginkan" lanjutnya.

Lalu Aditya menyodorkan sebuah kertas padaku, pada kertas itu tertulis sebuah tulisan

"TERIM A KASIH KAKAK BERSAMA RANIA"

Apa tulisan ini mereferensikan diriku?

"Siapa yang menulis ini?" tanyaku.

"Oh itu kutemukan di tangan Kirana, dia yang menulisnya" jawab Aditnya.

"Kirana mengenaliku, dia mengenali diriku ketika bersama Rania. Tetapi kita masih belum menemukan separuh dari jiwanya yang lain, tak lama lagi aku yakin kita akan menemukannya, kita tunggu sampai Kirana mungkin mampu untuk menceritakannya" ucapku.

Semua yang mendengar ucapanku tentu saja kebingungan, tapi biarlah, nanti akan kujelaskan kalau mereka sudah bisa sedikit paham. Kudekati Kirana dan dia memandangku seakan sudah mampu merespon keadaan dan orang-orang di sekitarnya, kutanyakan tentang tulisan di kertas itu apakah dia yang menulisnya ataukah ada yang menyuruhnya. Benar saja, Kirana tak mampu menjawab, dia masih tak mampu mengucapkan satu kata pun.

Kirana tiba-tiba berdiri, dia berjalan ke arah suaminya dan menarik tangannya, mereka lalu berjalan menuju kamar mereka.

"Eh Arina dan kamu Alvian, kalian kalau lapar langsung bilang ke pengurus rumahku ya, kalau mau jalan-jalan bilang saja langsung ke sopirku. Kirana sepertinya ada butuhnya denganku" ucap Aditya sembari berjalan.

Arina lalu mengajakku ke pantai Lovina untuk jalan-jalan, tentu saja dalam pikiranku dia sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan tentang apa yang terjadi selama diriku 'tertidur' tadi. Kujelaskan semua yang terjadi di 'sana' tadi, dia mendengarkan dengan serius walau pun ceritaku seperti sebuah dongeng.

"Lalu apa yang akan kau lakukan untuk mengetahui dimana separuh jiwanya, Kau sama sekali tak memiliki petunjuk kan?"

Pertanyaan Arina itu sangat menusuk, dia tahu betul diriku sama sekali tak mengetahui langkah selanjutnya.

"Mungkin kita harus 'menarik' Rania keluar" terucap saja dari mulutku.

"Rania! Walau pun saat ini aku percaya pada ceritamu tadi tapi aku memiliki keraguan akan Rania, dia lebih seperti alter-ego dari Kirana" sanggah Arina.

"Dan kau sendiri yang mengatakan bahwa Rania bukan sebuah jin, dan bukan pula sebuah jiwa manusia, bagaimana kau akan membuat Rania ini hadir dihadapan kita?" lanjutnya.

Sekali lagi jalan buntu menghalangi akalku. Ucapan Arina ada benarnya juga, bagaimana nanti Rania harus dihadirkan untuk menyambung tali misteri ini.

Seketika pandanganku mengarah menuju sebuah suara kereta kuda yang berasal dari arah laut, tak kudengarkan perkataan Arina, mataku tertegun memandangi sebuah kereta berkuda yang bergerak menuju ke arahku dari lautan.

Tidak sampai menyentuh pantai kereta itu pun berhenti, sosok hitam terlihat melayang dari kereta itu dan menuju ke arahku.

"Dengarkan aku pemuda yang mampu melepaskan jiwa yang terkekang" sosok itu dalam sekejap ada di sebelahku, membisikkan perkataannya dengan nada suara perempuan di telingaku.

"Aku mengetahui apa yang kau kerjakan disini, dan apa yang baru saja kau lakukan. Langkah selanjutnya pergilah ke Madakaripura, rayulah penguasanya untuk membantumu. Monyet itu ditakdirkan binasa ditanganmu"  setelah itu sosok itu berjalan membelakangiku menuju ke arah laut tempat keretanya berhenti.

"Siapa kau" tanyaku dalam hati.

"Aku yang seharusnya melindungi mereka.........namaku.....Aisha" dan dia menghilang.

Setelah sosok tadi menghilang langsung muncul sebuah bayangan di kepalaku, wanita bergaun hitam tanpa wajah dengan rambut yang tergerai bebas. Siapa dia? Pertanyaan yang membuatku berpikir lagi. Kutarik tangan Arina sembari dia masih mengoceh, kuajak dia balik ke rumah Aditya mumpung pikiranku masih waras.

Di rumah Aditya kujelaskan semuanya, mereka yang mendengarkan tentunya juga memiliki banyak pertanyaan yang ingin mereka ajukan kepadaku. Kubilang pada mereka (Aditya dan Arina) bahwa ini adalaha satu-satunya petunjuk sebagai link yang kemungkinan bisa memecahkan masalah Kirana.

"Ada baiknya juga apabila kita nanti memang tidak berhasil menyembuhkan Kirana, aku ingin Kirana keluar dari pulau Bali dan untuk sementara tinggal di tempat kakekku di Sleman." ujar Aditya.

"Baiklah kalau begitu, sesegera mungkin saja kita berangkat, menurut perhitunganku kurang lebih akan memakan waktu 8 jam menuju Madakaripura" kataku.

"Vin, kita berangkat besok sore ya, emm anu....malam ini masih ada pekerjaan yang lebih baik kuselesaikan sebelum kita berangkat kesana"

"Oke, itu masih bisa diterima, hmmm mungkin malam ini juga diriku akan berkonsultasi dulu dengan beberapa teman." ucapku.

Sore hari pada Keesokan harinya kami berangkat menuju Madakaripura, sebuah air terjun di Probolinggo - Jawa Timur. Kami berangkat dengan menaiki mobil pribadi Aditya.

Terang temaram senja memanjakan mataku sore ini, cahaya jingga diujung langit barat seakan melambai mengucapkan pamit pada hari ini. Sementara telingaku dimanjakan oleh musik-musik tahun 80an, pikiranku mulai membentuk suatu imajinasi yang entah ini hasil ilusi ataukah nyata dari alam lain. Angin laut Selat Bali halus menjamah kulitku dengan sepoi yang tak ada hentinya. Sejenak dari dek kapal  ferry kurasakan 'panggilan' dari dalam kepalaku, lalu aku turun menuju mobil yang terparkir di lambung kapal untuk menemui Kirana.
"Sudah hampir sampai Ketapang Vin?" tanya Arina padaku.
"Oh sedikit lagi, kira-kira sepuluh menit lagi, aku ingin bicara dengan Kirana kalau boleh nih" jawabku.
"Ouw, sana deh kau ajak dia ngoceh siapa tahu dia mau membuka mulutnya" jawab Arina sinis.
Jelas sekali yang kumaksud dengan 'berbicara' dengan Kirana bukanlah sebuah ajakan bersilat lidah, tapi lebih tepatnya adalah berkomunikasi dari 'hati ke hati'. 

Di mobil ada Aditya yang sedang menemani Kirana.

"Tolong peluk istri anda" kataku, Aditya pun segera melakukannya.

 Kusentuh dahi Kirana dengan jari telunjukk.

Kali ini kuajak serta Aditya menuju ke bawah sadar Kirana, disana sudah ada Rania dan Kimi sedang menemani separuh jiwa Kirana. Raut kaget bercampur ketakutan terlihat di wajah Aditya, tak mengherankan karena ini adalah pertama kalinya bagi dia untuk mengalami 'kejadian' seperti ini. 
 
"I-itu Kirana, keadaannya tidak berbeda, dimanakah kita vin?" tanya Aditya.

"Kita di dalam alam bawah sadar Kirana, gadis kecil itu adalah Rania, ya Rania yang selama ini sring disebut-sebut oleh Kirana, emm wanita yang satunya itu, hmmm dialah yang membantu kita selama ini" phew susah juga menjelaskan tentang Kimi kepada Aditya.

"Kesanalah tidak apa-apa koq, mereka semua mengenalmu" lanjutku.

Dan mereka semua pun memperkenalkan dirinya masing-masing pada Aditya, kubiarkan saja sembari mengontrol energi Aditya karena dia belum pernah mengalami hal seperti ini.

"Kau temanilah Kirana disini, nanti kubangunkan kalau kita sudah sampai di tujuan kita"  dan kutinggalkan mereka, aku merasakan ada 'mendatangiku' di luar sana.

Aku keluar dari mobil, kutinggalkan Aditya dan Kirana, sopir kami kupesan agar membiarkan mereka 'tidur pulas' sampai tujuan. Kudatangi lagi Arina, kuajak dia ke ruang cafe untuk menemaniku.

"Rin dengarkan aku, ada yang mengawal kita untuk menuju ke Madakaripura"

"Ha? siapa Vin, mana dia" tanya Arina memotongku.

"Dengarkan sampai selesai dulu, kamu tak akan mampu melihatnya, maka akan kubuat dia untuk berbicara melalui diriku, unutk itu nanti bersikaplah kau seakan berbincang biasa denganku. Tak lama lagi kita akan berlabuh jadi aku ingin kamu bertanya seperlunya, gunakan saja logikamu" jelasku.

Arina tanpa menjawab pun akhirnya mengerti, baiklah sudah saatnya 'dia' untuk mulai bicara.

"Salamku untuk kekasihmu nona, hamba adalah kunci yang akan mengawal kalian sampai di Madakaripura dan membuka jalan menuju singgasana penguasanya, adakah yang perlu hamba jelaskan lagi?" 

"A-aku harus bertanya apa padamu.......emmm kau tidak berpihak pada yang jahat itu kan?"

"Tidak, hamba tidak memihak pada keduanya, hamba ini suruhan dari laut yang kemarin anda datangi"

"Oh yang kemarin itu........kau tidak akan selamanya mengikuti kami?"

"Tidak nona, ratu rusa itu tidak akan mengijinkan hamba hahaha....."

"Oh Kimi....kau tahu tentang dia juga ternyata"

"Eh kapal ini sudah bersandar, saatnya kau pergi 'pengawal', Alvin biar diriku saja yang mengurusnya"

Akhirnya perjalanan kami di tanah jawa dimulai, Arina menceritakan apa yang tadi dialaminya selama diriku 'diambil alih'. Hujan menemani kami semenjak beberapa waktu kami meningggalkan pelabuhan ketapang, Kirana dan Aditya masih terbuai tenang, sepertinya mereka sedang menikmati kemesraan 'disana'. Sedikit terlambat akhirnya kami sampai di kawasan pegunungan Bromo, Madakaripura terletak di sisi utara kaki pegunungan legendaris itu. Kami menuju hotel tempat kami akan menginap selama beberapa waktu kedepan nanti, sekali lagi.....Arina dan diriku ditempatkan di dalam satu kamar, namun tempat tidur kami terpisah.

Hujan masih belum reda hingga kami sampai di hotel ini, maka sehabis makan siang kuputuskan untuk tidur saja.

"Sudah saatnya saya meninggalkan rombongan anda, selanjutnya anda akan ditemui oleh pengawal-pengawal dari Madakaripura, terimalah kunci ini sebagai tanda bahwa kami yang mengantarkan anda ke tempat ini, salam" dan kulihat pemuda itu membelakangiku kemudian lenyap begitu saja.

Masih terbengong lalu kurasakan ada yang 'lain' lagi mendekatiku, di samping kiriku ada tiga orang pemuda masing-masing membawa tombak dan mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak kumengerti. Entah mengapa tanganku tergerak untuk menyerahkan kunci yang baru saja kuterima kepada mereka.

"Beritahu kami apabila anda sudah siap untuk menemui raja kami"......spontan mereka lenyap dan diriku terbangun.



-BERSAMBUNG-

Wednesday 8 February 2017

Mak Kusni?



Danang tiba-tiba dikejutkan oleh suara mbok Warti yang memanggilnya, Danang yang waktu itu sedang jaga di pos ronda didatangi oleh mbok Warti bibi istrinya yang tinggal serumah.

“Nang, buruan pulang gih, Marni mau melahirkan Nang” jelas mbok Warti.

Danang pun terkejut dan langsung menuju ke rumahnya, pak Heru dan Mijan yang ikut ronda bersama Danang pun turut serta karena merasa bantuan mereka dibutuhkan. Sesampainya di rumah Danang sudah ada beberapa orang tetangga yang sedang menunggui Marni yang sedang kesakitan, diantaranya adalah mbah Lasmi seorang dukun pijat yang dianggap sepuh di desanya.

“Danang, istrimu sudah saatnya melahirkan malam ini, tapi tadi Pak Asnan yang menhubungi Bidan di desa tetangga dapat kabar kalo bu Bidan sedang ke luar kota, nah saat ini juga kamu jemput Mak Kusni saja ya nang, dia kan dukun bayi dan satu-satunya yang bias dimintai tolong malam ini” ujar mbah Lasmi.

“Mak Kusni…..yang rumahnya di ujung desa itu yam bah?” Tanya Danang.

“Iya, kamu buruan jemput gih nak kasian Marni sudah kesakitan”

“Baik mbah kujemput sekarang Mak Kusni” potong Danang.

“Eh Nang, sebentar tak peseni dulu, ingat ya Nang sebelum sampai ke rumah Mak Kusni kamu jangan berhenti atau nanya jalan, dan kalau menemui orang dijalan gausah disapa, pokoknya kamu lansung aja ke rumah Mak Kusni, ingat ya Nang kamu harus menjemput mak Kusni di rumahnya” pesan mbah Lasmi.

Setelah itu Danang pun segera menuju ke Rumah mak Kusni dengan mengendarai sepeda angin. Rumah mak Kusni ini terletak di hampir ujung desa tapi harus melewati beberapa sawah, satu pemakaman dan sebuah jembatan yang memecah desa. Danang mengayuh sepedanya dengan mantap, hingga ketika dirinya melintasi pemakaman desa hujan turun dengan tiba-tiba dan memaksa Danang berhenti sejenak untuk mengambil daun pisang di pinggir pemakaman.

Dengan satu tangan memegangi daun pisang sebagai payung, Danang kembali mengayuh sepedanya dan melintasi jembatan. Angin yang sedikit kencang dan hawa dingin nya sedikit membuat Danang goyah hingga dia terpaksa harus menuntu sepedanya melintasi jembatan desa. Di ujung jembatan sembari menuntun sepedanya Danang melihat sebuah sosok yang tampaknya memakai jas hujan warna hitam dan berjalan dengan membawa bungkusan. Entah apa yang saat itu ada di pikiran Danang sehingga dirinya melupakan nasehat mbah Lasmi, Danang mendekati sosok tersebut dan menyapanya.

“Selamat malam apakah saya sudah dekat dengan rumah mak Kusni?” Tanya Danang.
“Saya ini mak Kusni nak, ada apa ya, saya mau ke pasar ini” jawab sosok itu.

“Oh ya ampun tenyata ibu ini mak Kusni, saya Danang tetangganya mbah Lasmi, saya mau menjemput mak Kusni kaena istri saya akan melahirkan, tolong saya mak” pinta danang.

“Ya sudah kita ke rumahmu saja dulu, saya ke pasarnya besok saja” jawabnya, Danang pun segera membonceng mak Kusni ini menuju rumahnya.

Hujan turun semakin lebat dan angin mengikuti dengan kencang sehingga hawa dinginnya semaki mencekam pada malam itu. Sepanjang perjalanan Danang terus mencium bau wangi dan terkadang bau anyir tapi dia menghiraukan saja kaena yang ada di dalam benaknya adalah keselamatan Marni, istrinya. Sesampainya di rumah terlihat beberapa orang termasuk pak Heru dan Mijan sedang tertidur di teras rymah Danang. Danang langsung membawa mak kusni menuju kamar tempat istrinya sedang mengerang kesakitan, mbah Lasmi yang namanya dipanggil oleh Danang terdengar suaranya dari arah dapur, katanya sedang menyiapkan air hangat dan handuk kering.

Mak Kusni menyuruh Danang untuk menunggu di luar kamar. Mbah Lasmi keluar dari arah dapur.
“mana mak Kusni nang?” Tanya mbah Lasmi.

“Dia sedang di kamar beserta Marni mbah, saya disuruh menunggu di luar saja” jawab Danang.

Danang menuju teras rumahnya untuk melihat orang yang sedang tertidur disana dan mbah Lasmi kembali lagi ke dapur.

Beberapa menit berlalu, hujan pun sudah turun dan angin tidak berhembus kencang lagi.

“AAAAAAAAAAAAKH” Danang dan orang-orang yang tadinya tertidur mendadak dikejutkan oleh suara terikan Marni dari arah kamar, mereka bergegas menuju kesana.

Pintu kamar yang nampaknya terkunci di dobrak dan pemandangan mengerikan terpajang tepat di wajah Danang dan orang-orang yang berdiri di dekatnya. Marni tergeletak tak sadarkan diri dengan bersimbah darah, danang yang terkejut pun penasaran dan memanggil mak Kusni.

“Mana mak Kusni!! Dia seharusnya berada disini kan, mak Kusni dimana kau???”  dan seiring dengan itu terdengarlah suara tawa menggema yang mngerikan dan membuat merinding,

“HIHIHIHIHIHIIIIIIII, HIHIIHIHIHIHIIIIII!!!!” pak Heru dan Mijan yang juga mendengarnya langsung berlari menuju luar rumah karena penasaran.

Sebuah sosok putih samar mereka lihat melesat meloncat dari pohon ke pohon dan perlahan menghilang……….

Mbah Lasmi yang ikut terkejut menghampiri Danang.

“Danang, tadi siapa yang kamu jemput nak, kamu mejemputnya dimana? “ Tanya mbah Lasmi dengan roman muka takut.

“Yang saya jemput tadi mengaku bernama mak Kusni mbah, saya kebetulan berpapasan dengannya di ujung jembatan, ya sudah langsung saya bawa kesini” jawab Danang sambil merinding menahan tangis.

Marni selamat walau harus kehilangan bayinya, mbah Lasmi pun menjelaskan kepada  orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu perihal kejadian mengerikan pada malam itu.

“yang dibawa Danang itu bukanlah mak Kusni tapi kuntilanak, Danang lalai dengan tidak menjalankan apa yang telah kupesankan pada dirinya sebelum menjemput mak kusni. Bayi mereka sudah diambil korban oleh kuntilanak itu.” Cerita mbah Lasmi dengan nada lemas………

-TAMAT-