Thursday 16 February 2017

Serial Detektif Indigo (SDI): Kenangan Kirana (bagian 5)

Madakaripura!


Kuminum segelas air dingin yang disediakan untukku, disebelahnya ada cemilan keripik kentang kesukaanku. Masih setengah teler aku berusaha untuk meraih kesadaran sepenuhnya, sepertinya tadi diriku melebihi 'batas' tidur normalku.

"Berapa lama tadi aku t......." DUKK!! belum selesai kubertanya sebuah pukulan mendarat di kepalaku.

"Hobimu selalu saja menyusahkan orang, apa kau sadar tadi butuh setidaknya empat orang untuk menggotongmu keluar dari mobil" damprat Arina menusuk telingaku.

"Apa sih yang ada di kepalamu sampai tertidur sampai enam jam kayak orang mati pula susah dibangunkan" kudengar saja omelan-omelan itu sambil berpikir sendiri.

Lama juga aku tadi 'ketiduran' pantas saja badan masih terasa loyo. Sebisanya kujawab semua yang ditanyakan oleh Arina, bukan masalah sih diriku panjang lebar kepadanya karena dia sudah percaya nggak percaya pada setiap ceritaku. Saat ini diriku berada di kamar yang disediakan untukku dan Arina, tentu saja ketika tidur malam aku mendapat jatah tidur di lantai dan Arina di atas kasur empuk T_T.

Jam menunjukkan sudah hampir sore hari. Diriku masih belum bertemu Aditya lagi semenjak 'ketiduran' tadi, sedangkan Arina sibuk dengan dirinya sendiri. TOK TOK, pintu kamar diketuk, terdengar suara Aditya memintaku dan Arina untuk bertemu di ruang keluarga. Aku dan Arina saling menatap lalu bergegas keluar kamar dan mengikuti Aditya. Sesampainya ruangan itu kuperhatikan di sebuah kursi ada seorang wanita dengan potongan rambut pendek sedang disuapi makan oleh seorang suster.

Wajahnya sudah tak asing lagi bagiku, ya wanita ini adalah Kirana. Dia bagaikan anak berusia tiga tahun secara mental, apakah ini efek dari kejadian 'itu'?

"Um, Kirana sudah bisa sedikit berpikir tentang makan, mandi dan beberapa perilaku wajar lainnya sejak satu jam yang lalu, entah kenapa diriku juga tidak tahu" Aditya menjelaskan.

"Tetapi dia masih tidak mengucapkan satu kata pun, walaupun begitu kelakuannya seperti anak kecil tapi sudah mampu merespon kata-kata dan meminta sesuatu yang dia inginkan" lanjutnya.

Lalu Aditya menyodorkan sebuah kertas padaku, pada kertas itu tertulis sebuah tulisan

"TERIM A KASIH KAKAK BERSAMA RANIA"

Apa tulisan ini mereferensikan diriku?

"Siapa yang menulis ini?" tanyaku.

"Oh itu kutemukan di tangan Kirana, dia yang menulisnya" jawab Aditnya.

"Kirana mengenaliku, dia mengenali diriku ketika bersama Rania. Tetapi kita masih belum menemukan separuh dari jiwanya yang lain, tak lama lagi aku yakin kita akan menemukannya, kita tunggu sampai Kirana mungkin mampu untuk menceritakannya" ucapku.

Semua yang mendengar ucapanku tentu saja kebingungan, tapi biarlah, nanti akan kujelaskan kalau mereka sudah bisa sedikit paham. Kudekati Kirana dan dia memandangku seakan sudah mampu merespon keadaan dan orang-orang di sekitarnya, kutanyakan tentang tulisan di kertas itu apakah dia yang menulisnya ataukah ada yang menyuruhnya. Benar saja, Kirana tak mampu menjawab, dia masih tak mampu mengucapkan satu kata pun.

Kirana tiba-tiba berdiri, dia berjalan ke arah suaminya dan menarik tangannya, mereka lalu berjalan menuju kamar mereka.

"Eh Arina dan kamu Alvian, kalian kalau lapar langsung bilang ke pengurus rumahku ya, kalau mau jalan-jalan bilang saja langsung ke sopirku. Kirana sepertinya ada butuhnya denganku" ucap Aditya sembari berjalan.

Arina lalu mengajakku ke pantai Lovina untuk jalan-jalan, tentu saja dalam pikiranku dia sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan tentang apa yang terjadi selama diriku 'tertidur' tadi. Kujelaskan semua yang terjadi di 'sana' tadi, dia mendengarkan dengan serius walau pun ceritaku seperti sebuah dongeng.

"Lalu apa yang akan kau lakukan untuk mengetahui dimana separuh jiwanya, Kau sama sekali tak memiliki petunjuk kan?"

Pertanyaan Arina itu sangat menusuk, dia tahu betul diriku sama sekali tak mengetahui langkah selanjutnya.

"Mungkin kita harus 'menarik' Rania keluar" terucap saja dari mulutku.

"Rania! Walau pun saat ini aku percaya pada ceritamu tadi tapi aku memiliki keraguan akan Rania, dia lebih seperti alter-ego dari Kirana" sanggah Arina.

"Dan kau sendiri yang mengatakan bahwa Rania bukan sebuah jin, dan bukan pula sebuah jiwa manusia, bagaimana kau akan membuat Rania ini hadir dihadapan kita?" lanjutnya.

Sekali lagi jalan buntu menghalangi akalku. Ucapan Arina ada benarnya juga, bagaimana nanti Rania harus dihadirkan untuk menyambung tali misteri ini.

Seketika pandanganku mengarah menuju sebuah suara kereta kuda yang berasal dari arah laut, tak kudengarkan perkataan Arina, mataku tertegun memandangi sebuah kereta berkuda yang bergerak menuju ke arahku dari lautan.

Tidak sampai menyentuh pantai kereta itu pun berhenti, sosok hitam terlihat melayang dari kereta itu dan menuju ke arahku.

"Dengarkan aku pemuda yang mampu melepaskan jiwa yang terkekang" sosok itu dalam sekejap ada di sebelahku, membisikkan perkataannya dengan nada suara perempuan di telingaku.

"Aku mengetahui apa yang kau kerjakan disini, dan apa yang baru saja kau lakukan. Langkah selanjutnya pergilah ke Madakaripura, rayulah penguasanya untuk membantumu. Monyet itu ditakdirkan binasa ditanganmu"  setelah itu sosok itu berjalan membelakangiku menuju ke arah laut tempat keretanya berhenti.

"Siapa kau" tanyaku dalam hati.

"Aku yang seharusnya melindungi mereka.........namaku.....Aisha" dan dia menghilang.

Setelah sosok tadi menghilang langsung muncul sebuah bayangan di kepalaku, wanita bergaun hitam tanpa wajah dengan rambut yang tergerai bebas. Siapa dia? Pertanyaan yang membuatku berpikir lagi. Kutarik tangan Arina sembari dia masih mengoceh, kuajak dia balik ke rumah Aditya mumpung pikiranku masih waras.

Di rumah Aditya kujelaskan semuanya, mereka yang mendengarkan tentunya juga memiliki banyak pertanyaan yang ingin mereka ajukan kepadaku. Kubilang pada mereka (Aditya dan Arina) bahwa ini adalaha satu-satunya petunjuk sebagai link yang kemungkinan bisa memecahkan masalah Kirana.

"Ada baiknya juga apabila kita nanti memang tidak berhasil menyembuhkan Kirana, aku ingin Kirana keluar dari pulau Bali dan untuk sementara tinggal di tempat kakekku di Sleman." ujar Aditya.

"Baiklah kalau begitu, sesegera mungkin saja kita berangkat, menurut perhitunganku kurang lebih akan memakan waktu 8 jam menuju Madakaripura" kataku.

"Vin, kita berangkat besok sore ya, emm anu....malam ini masih ada pekerjaan yang lebih baik kuselesaikan sebelum kita berangkat kesana"

"Oke, itu masih bisa diterima, hmmm mungkin malam ini juga diriku akan berkonsultasi dulu dengan beberapa teman." ucapku.

Sore hari pada Keesokan harinya kami berangkat menuju Madakaripura, sebuah air terjun di Probolinggo - Jawa Timur. Kami berangkat dengan menaiki mobil pribadi Aditya.

Terang temaram senja memanjakan mataku sore ini, cahaya jingga diujung langit barat seakan melambai mengucapkan pamit pada hari ini. Sementara telingaku dimanjakan oleh musik-musik tahun 80an, pikiranku mulai membentuk suatu imajinasi yang entah ini hasil ilusi ataukah nyata dari alam lain. Angin laut Selat Bali halus menjamah kulitku dengan sepoi yang tak ada hentinya. Sejenak dari dek kapal  ferry kurasakan 'panggilan' dari dalam kepalaku, lalu aku turun menuju mobil yang terparkir di lambung kapal untuk menemui Kirana.
"Sudah hampir sampai Ketapang Vin?" tanya Arina padaku.
"Oh sedikit lagi, kira-kira sepuluh menit lagi, aku ingin bicara dengan Kirana kalau boleh nih" jawabku.
"Ouw, sana deh kau ajak dia ngoceh siapa tahu dia mau membuka mulutnya" jawab Arina sinis.
Jelas sekali yang kumaksud dengan 'berbicara' dengan Kirana bukanlah sebuah ajakan bersilat lidah, tapi lebih tepatnya adalah berkomunikasi dari 'hati ke hati'. 

Di mobil ada Aditya yang sedang menemani Kirana.

"Tolong peluk istri anda" kataku, Aditya pun segera melakukannya.

 Kusentuh dahi Kirana dengan jari telunjukk.

Kali ini kuajak serta Aditya menuju ke bawah sadar Kirana, disana sudah ada Rania dan Kimi sedang menemani separuh jiwa Kirana. Raut kaget bercampur ketakutan terlihat di wajah Aditya, tak mengherankan karena ini adalah pertama kalinya bagi dia untuk mengalami 'kejadian' seperti ini. 
 
"I-itu Kirana, keadaannya tidak berbeda, dimanakah kita vin?" tanya Aditya.

"Kita di dalam alam bawah sadar Kirana, gadis kecil itu adalah Rania, ya Rania yang selama ini sring disebut-sebut oleh Kirana, emm wanita yang satunya itu, hmmm dialah yang membantu kita selama ini" phew susah juga menjelaskan tentang Kimi kepada Aditya.

"Kesanalah tidak apa-apa koq, mereka semua mengenalmu" lanjutku.

Dan mereka semua pun memperkenalkan dirinya masing-masing pada Aditya, kubiarkan saja sembari mengontrol energi Aditya karena dia belum pernah mengalami hal seperti ini.

"Kau temanilah Kirana disini, nanti kubangunkan kalau kita sudah sampai di tujuan kita"  dan kutinggalkan mereka, aku merasakan ada 'mendatangiku' di luar sana.

Aku keluar dari mobil, kutinggalkan Aditya dan Kirana, sopir kami kupesan agar membiarkan mereka 'tidur pulas' sampai tujuan. Kudatangi lagi Arina, kuajak dia ke ruang cafe untuk menemaniku.

"Rin dengarkan aku, ada yang mengawal kita untuk menuju ke Madakaripura"

"Ha? siapa Vin, mana dia" tanya Arina memotongku.

"Dengarkan sampai selesai dulu, kamu tak akan mampu melihatnya, maka akan kubuat dia untuk berbicara melalui diriku, unutk itu nanti bersikaplah kau seakan berbincang biasa denganku. Tak lama lagi kita akan berlabuh jadi aku ingin kamu bertanya seperlunya, gunakan saja logikamu" jelasku.

Arina tanpa menjawab pun akhirnya mengerti, baiklah sudah saatnya 'dia' untuk mulai bicara.

"Salamku untuk kekasihmu nona, hamba adalah kunci yang akan mengawal kalian sampai di Madakaripura dan membuka jalan menuju singgasana penguasanya, adakah yang perlu hamba jelaskan lagi?" 

"A-aku harus bertanya apa padamu.......emmm kau tidak berpihak pada yang jahat itu kan?"

"Tidak, hamba tidak memihak pada keduanya, hamba ini suruhan dari laut yang kemarin anda datangi"

"Oh yang kemarin itu........kau tidak akan selamanya mengikuti kami?"

"Tidak nona, ratu rusa itu tidak akan mengijinkan hamba hahaha....."

"Oh Kimi....kau tahu tentang dia juga ternyata"

"Eh kapal ini sudah bersandar, saatnya kau pergi 'pengawal', Alvin biar diriku saja yang mengurusnya"

Akhirnya perjalanan kami di tanah jawa dimulai, Arina menceritakan apa yang tadi dialaminya selama diriku 'diambil alih'. Hujan menemani kami semenjak beberapa waktu kami meningggalkan pelabuhan ketapang, Kirana dan Aditya masih terbuai tenang, sepertinya mereka sedang menikmati kemesraan 'disana'. Sedikit terlambat akhirnya kami sampai di kawasan pegunungan Bromo, Madakaripura terletak di sisi utara kaki pegunungan legendaris itu. Kami menuju hotel tempat kami akan menginap selama beberapa waktu kedepan nanti, sekali lagi.....Arina dan diriku ditempatkan di dalam satu kamar, namun tempat tidur kami terpisah.

Hujan masih belum reda hingga kami sampai di hotel ini, maka sehabis makan siang kuputuskan untuk tidur saja.

"Sudah saatnya saya meninggalkan rombongan anda, selanjutnya anda akan ditemui oleh pengawal-pengawal dari Madakaripura, terimalah kunci ini sebagai tanda bahwa kami yang mengantarkan anda ke tempat ini, salam" dan kulihat pemuda itu membelakangiku kemudian lenyap begitu saja.

Masih terbengong lalu kurasakan ada yang 'lain' lagi mendekatiku, di samping kiriku ada tiga orang pemuda masing-masing membawa tombak dan mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak kumengerti. Entah mengapa tanganku tergerak untuk menyerahkan kunci yang baru saja kuterima kepada mereka.

"Beritahu kami apabila anda sudah siap untuk menemui raja kami"......spontan mereka lenyap dan diriku terbangun.



-BERSAMBUNG-

3 comments: