Thursday 31 October 2019

Rumah Kami.........

Empat tahun setelah kejadian di tahun 1988, Indra sudah bekerja dan menetap di Yogyakarta di sela-sela kuliah S2-nya. Nia menikah setahun sebelumnya dan masih tinggal di Surabaya namun tinggal di rumah suaminya. Sedangkan Deni yang juga sudah menikah menetap di Surabaya dan tetap tinggal rumah keluarga bersama kedua orang tua mereka. Waktu pun berlalu....................



Surabaya, Desember 1994.


"Pak, Bu, Deni pamit pulang dulu, salam untuk mbah Ti (nenek) ya," lalu kusalami dan kucium  tangan kedua orangtuaku. "Nyetirnya gausah buru-buru Den, lewat tol jam segini lancar kok" pesan bapak padaku, ibu tak lupa mencium pipiku sebelum aku masuk ke dalam mobil.
Bapak dan ibuku akan tinggal dulu di Gresik selama semingguan untuk menemani mbah Ti karena mbah Kung (kakek) baru saja meninggal dunia subuh tadi. Istriku tadi sudah pulang duluan bareng mbak Nia dan suaminya, Indra mungkin besok malam sampai ke Surabaya, sedangkan aku baru bisa pulang jam 11 malam karena tadi bantu-bantu acara tahlil.

Gak enak rasanya harus meninggalkan istri sendirian di rumah, apalagi dengan status rumahku yang sudah sering mengalami gangguan makhluk halus. Mila, istriku, sebenarnya sudah mengalami gangguan-gangguan itu semenjak pertama mulai tinggal di rumah itu, tepatnya pada malam pertama setelah kami menikah. Waktu itu Mila yang sedang tidur disampingku tiba-tiba terbangun dengan penuh keringat dan nafasnya terengah-engah, lalu Mila menceritakan kepadaku malam itu juga bahwa dia baru saja bermimpi kalau dirinya dan mbak Nia dikejar-kejar bayangan hitam besaar yang ukurannya sekitar empat kali ukuran manusia normal. Bayangan itu mengejar keduanya dengan mengacungkan parang besar.

Setelah itu kusarankan istriku yang masih berkeringat itu untuk cuci muka dulu, lalu kuantar dia untuk cuci muka. "Aaaakh" kudengar teriakan Mila, dia lalu keluar dari kamar mandi sambil mewek, lalu dia menceritakan tentang apa yang baru saja dialaminya. Setelah cuci muka dia mengeringkan muka dengan handuk, di saaat itulah istriku ini merasakan telinganya seperti sedang ditiup, lalu terdengar suara tawa perempuan yang rada mengerikan. Dan semenjak itu Mila menjadi terbiasa dengan kejadian-kejadian ganjil di rumah kami, sama seperti penghuni lainnya.

Perjalanan pulang berlanjut, setelah menjemput istriku dari rumah mbak Nia kami langsung pulang. Mendekati rumah kubelokkan mobilku meyusuri jalan sepi nan gelap, "beli rumah kok di daerah yang kayak gini sih bapak" gumamku. Tinggal beberapa meter dari rumahku tiba-tiba terlihat seorang anak kecil sedang berdiri di tengah jalan membelakangi mobilku, aku langsung menekan pedal rem dan saking mendadaknya Mila sampai kaget terbangun dari tidurnya. "Sepertinya aku menabrak anak kecil" ucapku pada Mila, dia masih kaget sambil melihat ke arah depan juga. Tiba-tiba....anak kecil itu berdiri pas di depan mobilku "hihihihihi" tertawa lalu dia lenyap begitu saja. Istriku langsung merengek untuk buru-buru menjalankan mobil lagi untuk menuju ke rumah kami yang sudah terlihat.

Mila tidur sambil memeluk diriku, sementara diriku masih terjaga sambil memikirkan kejadian diluar tadi. Kalau kuingat-ingat lagi, dulu Indra pernah menceritakan kejadian yang dia alami ketika pertama kali meninggali rumah ini. Seingatku dia menceritakan mengenai seorang ibu muda berparas cantik dan anak perempuannya yang berparas bule, tapi aku lupa akan nama-nama mereka yang dulu dijelaskan oleh Indra. Rasanya aku baru saja menemukan kesamaan dari cerita Indra dengan peristiwa yang tadi kualami, anak kecil tadi itu perempuan dan berparas bule, tidak kulanjutkan lagi pemikiranku dan kucoba untuk menutup mata dan beristirahat.

Hari sabtu, pekerjaanku sebagai PNS libur, aku duduk santai di teras sambil menikmati udara pagi, sementara Mila membaca majalah wanita sambil menunggui sop yang dimasaknya di dapur. Ingatanku kembali ke tujuh tahun yang lalu, dimana kami menjual sebuah gramophone tua ke tukang rombeng yang lewat di depan rumah. Aku masih ingat ketika si tukang rombeng memeriksa benda itu, ditemukan sebuah foto usang yang didalamnya terdapat gambar seorang anak kecil sedang bermain ayunan sambil tertawa, wajahnya tak terlalu jelas karena di foto ini sudah banyak noda yang melekat. Foto ini ditemukan di bagian dalam kotak kayu mekanis dari gramophone, bapak lalu meminta foto tersebut untuk beliau simpan sebagai peninggalan sejarah dari rumah yang kami huni ini.

"Selamat pagi mas Deni" seorang wanita muda berparas cantik tiba-tiba menyapaku, belum sempat kubalas sapa dia sudah berjalan menghilang ke arah utara. Siapa ya tadi? Seumur-umur belum pernah lihat ada tetanggaku yang seperti wanitu itu tadi, parasnya cantik dengan kulitnya yang berwarna cerah, dia memakai semacam daster atau baju terusan berwarna kuning. Aku beranjak dari kursi lalu keluar halaman rumah, kutengok ke arah utara namun wanita tadi sudah tidak ada. Lalu aku menuju dapur untuk menanyakannya kepada istriku, dia kan ikut perkumpulan PKK di lingkungan RT.

"Nggak ada deh mas, tetangga kita kan rata-rata sudah 40an semua" jawab Mila, istriku. Tapi darimana wanita tadi bisa tahu namaku yah, istriku sendiri juga bingung.

Kriiing...kriiiing, telepon di ruang keluarga berbunyi. Kuangkat namun tidak ada suara dari seberang sama sekali, akhirnya kututup teleponnya. Karena masih pagi kucoba untuk tidak berpikir macam-macam, lalu aku memilih untuk santai di ruang tamu sambil membaca koran. Sekitar lima belas menit kudengar pintu rumah diketuk dari luar, kuletakkan koran lalu menoleh ke arah pintu, tak kudapati ada orang diluar dan suara ketukannya tak berlanjut. Kudekati pintunya karena penasaran, dari balik kaca pintu juga terlihat kalau pagar depan rumah tertutup. Mila menanyakan juga karena dari dapur suara pintu diketuk tadi juga terdengar, kujawab seadanya dan dia bisa memakluminya.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi, selesai memasak Mila melanjutkan pekerjaan sampingannya sebagai penulis cerita pendek. Istriku ini menulis cerpen untuk beberapa majalah wanita, pekerjaan ini sudah dijalaninya sejak SMA, sungguh wanita berbakat memang istriku. Melihat istriku sedang tekun mengetik aku jadi teringat, di gudang yang terletak di halaman belakang pernah kulihat ada mesin tik tua, ingin rasanya kutunjukkan pada Mila. "Mil, apa kamu tertarik dengan mesin tik tua? di gudang seingatku tersimpan satu." Tanpa memandangku Mila menjawab kalau dia tertarik karena ada orang dari salah satu majalah yang mengoleksi mesin tik, mungkin bisa dijual pada orang itu.

Aku beranjak dari kursi santai dan berjalan menuju gudang, langit terlihat sudah mendung jadi kusiapkan senter untuk menerangi gudang. Di depan pintu gudang sekelebat kurasakan ada anak perempuan berlari ke arah halaman depan, spontan aku menengok kearahnya namun tak kudapati apa-apa. Halaman belakang rumahku ini lebih mirip hutan karena ada tiga pohon besar yang sebagian tumbuh rindang menutupi sinar matahari, jadi ketika cuaca mendung begini halaman belakang jadi terlihat rada gelap. Akhirnya pintu gudang kubuka, kunyalakan senter dan mulai mencari dimana mesin tik tua itu disimpan.

Entah berapa lama gudang tidak pernah dibuka, namun keadaan gudang ini beserta barang-barang yang tersimpan di dalamnya hampir tidak berdebu. Ukuran gudang ini adalah 6x3 meter kata bapakku, didalamnya sebagian besar terisi dengan barang-barang peninggalan penghuni rumah ini sebelum kami. Setelah agak lama akhirnya kutemukan juga mesin tik tua itu, kubuka kain penutupnya dan aku terkejut.........sebuah kertas seukuran kartu pos terpasang pada papan ketiknya. Penasaranku begitu besarnya hingga kucabut saja kertas itu dan tak kusangka dibaliknya ternyata ada foto, tak salah lagi, yang kertas yang sedang kupegang saat ini adalah foto yang dulu ditemukan dari gramophone tua.

"Ingrid laten we naar huis gaan, het gaat regenen"
"nee, ik wil hier iets langer blijven"

Kudengar suara percakapan dari dua orang di luar gudang, tetapi bahasanya terdengar asing di telingaku, suaranya berasal dari  seorang wanita dewasa dan anak perempuan. Kuambil mesin tik dan foto tadi, kubawa ke teras untuk nanti kubersihkan dulu. Aku kembali ke gudang untuk mengunci pintunya, seorang anak perempuan yang sekelebat berlari memasuki gudang sontak membuatku kaget. Kembali kumasuki gudang rumah dan kucari anak perempuan tadi, lampu senter sudah kuarahkan ke seluruh penjuru ruangan namun tidak kutemukan dia, apakah aku sedang berhalusinasi. Rintik hujan kudengar sudah turun, tanpa pikir panjang aku keluar dari gudang dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Tak kuceritakan sedikit pun peristiwa tadi kepada istriku, aku langsung menuju teras sambil membawa kain lap untuk membersihkan mesin tik. Tidak perlu waktu lama untuk membersihkan mesin tik tua ini, lalu sebelum aku kembali ke dalam kuperhatikan lagi dengan lebih teliti foto usang si gadis kecil. Hmmmm, agak jauh di latar belakang foto ini samar terlihat seorang wanita berdiri dengan mengenakan setelan panjang, sejenak kupikir-pikir "bukannya ini mirip wanita yang tadi pagi menyapaku???"

Kenapa juga foto ini tadi diselipkan di mesin ketik, kulihat bagian belakangnya dan terlihat samar ada bekas ketikan yang halus namun tak bertinta, kuraba dengan jari pun nyaris tak terasa bekas ketikannya. Foto ini akhirnya kusimpan dulu tanpa memberitahukan keberadaannya pada Mila, lalu kutunjukkan mesik tik tua tadi kepada Mila dan dia langsung memeriksanya. "Ini Corona buatan tahun 1930 mas, ini sangat berharga" ujar Mila setelah memeriksanya, diriku tidak habis pikir ternyata istriku jago juga.

Mendadak kami dikejutkan dengan suara jendela yang diketuk-ketuk, asalnya dari kamar orangtuaku. Kutinggalkan Mila di ruang keluarga dan aku menuju ke kamar orangtuaku, suara ketukan itu masih terdengar tapi mulai samar-samar ketika aku sudah mendekati kamar. Pintu kamar bapak dan ibu tidak ditutup sehingga aku bisa langsung melihat ke dalam ruangannya, suara ketukan jendela itu tak lagi kudengar, tapi kulihat kipas angin di dalam kamar ini dibiarkan menyala. Dengan berteriakku menanyakan hal ini kepada Mila yang berada di ruang tamu, dia menjawab kalau dari semalam kipas angin itu dalam keadaan tidak menyala. Akhirnya kumatikan kipasnya, jendela kamar kututup karena sedang hujan, lalu aku kembali ke ruang keluarga untuk menemani Mila.

Di ruang keluarga kulihat Mila masih mengulik mesin tik tua tadi, sambil sesekali dia menekan tombol-tombolnya. Semakin lama kulihat justru aku merasakan Mila seperti sedang mengetikkan sesuatu memakai mesin tik tua ini, lalu tak lama Mila beranjak menuju mesin tik elektronik yang setiap hari dia gunakan untuk bekerja. Kertas di mesin tik miliknya dicabut lalu diletakkannya kertas kosong, sedang apa istriku ini? Sebelumnya aku tidak menyangka kalau Mila sedang 'diambil alih' tubuhnya, diriku baru menyadarinya ketika dia berhenti mengetik lalu terbatuk-batuk dan memanggil namaku dengan lemah. Kupapah Mila ke sofa lalu kuambilkan air putih, sembari berdoa kubantu meminumkan air tadi lalu kupijat-pijat bahu dan lengannya.

"Aku kenapa mas Deni, rasanya kok lemas dan agak samar semua tadi?" Tanya Mila dengan nada lemas. Kujawab dengan menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada dirinya, lalu dia memelukku sambil ketakutan. "Aku ada firasat kalau misteri ini harus diakhiri, penghuni terdahulu pasti juga mengalami hal yang sama dengan yang kita alami" ucapanku ini langsung dibalas oleh Mila, "Aku paham kalau maksudmu harus kita yang mengakhirinya mas, tapi dengan cara apa?"

Kujelaskan pada Mila kalau kami mungkin harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dibalik fenomena-fenomena kejadian ganjil ini. Besar atau kecilnya sebuah petunjuk pasti akan merujuk pada satu jawaban. Jam 16.00, langit sudah gelap karena mendung pekat dan sudah dua jam hujan yang tidak begitu lebat ini belum juga berhenti. Lampu-lampu sudah kunyalakan semua karena saking gelapnya keadaan sore ini, lalu Mila memanggilku dari ruang keluarga. Mila memberitahukan kepadaku sesuatu yang sama sekali tidak terpikirkan olehku dari siang tadi. Dia menggenggam pensil dan digosokkan ke belakang foto anak perempuan tadi, lalu dari arsiran-arsiran pensil itu terlihat kata-kata "Ini bahasa Belanda mas," kata Mila.

Istriku lalu menyalin kata-kata tersebut lalu menelepon kenalannya dari sebuah majalah untuk membantu menterjemahkan.

"we kunnen dit ding niet langer geheim houden, onze lijken moeten worden gevonden. wat het belangrijkste is, moet je Ingrid hoofd vinden.
help ons het te vinden ....... Inge"


Setelah menutup teleponnya, Mila menjelaskan kepadaku bahwa kami harus membantu menemukan 'mayat-mayat' dan 'kepala' dari seseorang yang bernama Ingrid. Kami hanya saling pandang sambil memasang muka bingung. Aku lalu teringat pada selembar kertas yang tadi secara tak sadar diketik oleh Mila, selembar kertas itu tadi tak sempat kubaca, kertas itu masih menempel di mesin tik milik istriku namun sungguh aneh, seharusnya ada ada yang tertulis diatas kertas ini, tapi tak kudapati satu huruf pun yang tercetak. 



Sepanjang sisa sore kami hanya menghabiskan waktu di ruang keluarga, hingga waktu maghrib telah tiba. Hujan belum berhenti juga hingga lepas maghrib, Mila sedang memanaskan makanan di dapur, aku duduk sendirian di ruang tamu sambil memandangi foto usang tadi, tak lama lalu kudengar suara televisi sedang menyala, kupikir itu pasti istriku yang sedang menontonnya, lalu kuhampiri ke ruang keluarga. Aku terkejut bukan main, kudapati tak ada istriku di ruang kelurga sedangkan televisi dalam keadaan menyala, majalah-majalah dan koran yang tadi tersusun rapi berserakan di lantai seperti habis dilempar. Bulu kudukku mulai berdiri merinding melihat suasana di ruang keluarga, tiba-tiba kudengar suara dari arah pintu depan, ada yang mengetuknya dengan keras sekali.



DOK, DOK, DOK! Kudatangi pintu depan dan kubuka, tak kutemukan seorang pun bahkan kulihat lantai di depan pintu masih kering tak ada bekas jejak kaki yang basah karena hujan. "AAAAAAKH mas Deniiii....." suara teriakan Mila kudengar sangat keras, aku bergegas mendatanginya kearah dapur, kudapati Mila sedang bersembunyi jongkok dibalik kursi meja makan. "Ada apa Mila, kamu habis melihat apaan?" tanyaku, Mila yang gemetaran segera memelukku sambil menajwab dengan ketakutan, "aku tadi mau pipis mas,,,,,,,,, terus ke kamar mandi tapi lampunya kok mati, tadi kan sudah kamu nyalakan ya? aku tekan berkali-kali saklarnya tapi tetap nggak mau nyala lampunya. Akhirnya aku nekat masuk saja karena sudah kebelet,,,,waktu mau keluar aku dengar gayungnya jatuh, aku menoleh ke belakang malah ada kaki besar berbulu hitam mas........tingginya sampai nembus langit-langit kamar mandi." 



Kutenangkan Mila kubawa dia ke kamar tidur kami, kekacauan di ruang keluarga belum kuceritakan apalagi kubereskan. Setelah Mila agak tenang aku kembali ke ruang tamu dengan maksud untuk membereskan majalah dan koran yang berserakan dan mematikan televisi. 



Aku melangkah ke ruang tamu, sesampainya disana diriku dibuat tertegun. Di depan televisi yang sedang menyala kulihat ada seorang anak perempuan duduk di lantai, lalu di sofa kulihat ada seorang wanita berparas cantik, "bukankah dia yang menyapaku pagi tadi?" Aku hanya bisa diam membisu menatap mereka disana, mulut dan kakiku seakan dikekang oleh sesuatu yang tak terlihat oleh mata. Wanita yang duduk di sofa itu mulai menatapku dengan senyum tipis, dan seketika itu sebuah lagu dalam bahasa Belanda mulai terdengar dengan jelas dari radio di atas bufet yang menyala sendiri, penampakan-penampakan yang ganjil pun mulai muncul tanpa aku bisa menutup mata untuk mengabaikannya.



Dua pria asing yang sangat tinggi muncul dari dinding lalu melintas di depanku berjalan menembus dinding ke arah ruang tamu, kulit mereka yang kering terkelupas terlihat jelas ketika mereka sangat dekat dihadapanku. Aroma melati bercampur busuk mulai tercium memenuhi ruangan, sekelebat selendang kuning melayang seakan-akan diterbangkan angin, lalu menghilang di langit-langit. Yang tambah mengagetkan adalah tiba-tiba tubuhku seakan didorong dari belakang lalu kulihat dua buah kaki besar berbulu hitam melangkahi kepalaku, pangkal kakinya tak terlihat karena tingginya menembus langit-langit rumah. Kaki itu terus melangkah hingga menghilang menembus dinding, lalu disusul suara percakapan oelh beberapa orang dalam bahsa Belanda terdengar menggema dan semakin membuat bulu kudukku berdiri, sementara aku masih belum bisa menggerakkan apa pun dan hanya bisa terdiam di tengah-tengah peristiwa ganjil nan mencekam ini.



BLUUUGH....Sesuatu mendorongku dari belakang dan membuatku jatuh terjerembab, dan aku bisa bergerak dan bersuara lagi. "Apaan sih ini, aduh dadaku sakit" rintihku, "Mas Deniiiii, kipas angin dikamar menyala sendiri tuuuh, aku panggil-panggil kamu gak nyahut mas," Ternyata Mila yang mendorongku, dia terlihat ketakutan sekali. Anak kecil dan wanita itu menghilang, sementara di ruang tamu ini televisi dan radio masih menyala, lalu koran dan majalah berserakan membuat Mila jadi tambah ketakutan, dia kupeluk erat sambil mematikan televisi dan radio itu, koran dan majalah kupinggirkan saja tanpa dirapikan kembali. Lalu kami kembali ke kamar, benar juga apa yang dikatakan Mila, kipas angin di kamar kami menyala tapi......kulihat dengan jelas kalau kabelnya tidak menancap di colokan listrik, aku bergegas membawa Mila pindah ke ruang tamu.



Kutenangkan Mila di ruang tamu, lalu kuambilkan dia sebotol air putih dari dapur. Aku mendengar suara kamar mandi seperti sedang dipakai, tak kuhiraukan da aku langsung menemui Mila di ruang tamu. Kukatakan pada istriku yang sedang ketakutan ini untuk berdoa saja kepada Tuhan supaya keanehan malam ini segera berakhir dan kami semua dilindungi olehNya. 


Baru saja kami merasa agak tenang, kemudian PETT....lampu seisi rumah mati, apakah listrik di daerah ini padam, pikirku. Kutinggalkan Mila sejenak untuk menyalakan ublik (lampu minyak) supaya ada penerangan di beberapa ruangan. Mila akhirnya ikut menyusulku karena gerah ditinggal sendirian, ketika kunyalakan ublik untuk menerangi kamar mandi terdengar suara pintu depan ada yang mengetuk, lengan kananku spontan dipeluk erat oleh Mila. Dengan ragu kami berjalan menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu depan. Dari ruang keluarga terlihat cahaya menembus dari kaca pintu, segera kudatangi dan kubuka pintu itu........

"Mas sama mbak Mila habis ngapain, kupikir pada malam mingguan ke Mitra (sebuah gedung bioskop)." Ternyata yang mengetuk pintunya si Indra, adikku, diriku sampai lupa kalau malam ini dia ke Surabaya.

Hampir setengah jam kujelaskan semua yang kami alami di rumah ini, Indra bisa memahaminya karena dia dulu juga diganggu oleh penghuni gaib rumah ini. Dari cerita pesan gaib yang muncul secara misterius dari balik foto, Indra mengucapkan dua buah nama yang sekarang tidak asing bagi kami, ya kedua nama itu adalah Inge dan Ingrid. Dari ruang tamu kami pindah duduk ke ruang keluarga, disitu kami mengisi waktu dengan mengalihkan pembicaraan ke arah yang logis mulai dari cerita tentang kakek kami yang kemarin meninggal hingga persiapan nikahnya Indra.

Ctak, ctak,,,ctak ctak ctak, ctak.....suara mesin tik menghentikan obrolan kami di ruangan gelap yang diterangi ublik ini, kami bertiga langsung menoleh ke sumber suara itu. Mesin tik tua yang dari tadi kuletakkan di meja ternyata bergerak sendiri tombol ketiknya, Mila langsung merangkulku, kami terus melihat dengan tidak percaya kalau mesin tik itu benar-benar bergerak mengetik sendiri, hingga...........perlahan dalam temaram cahaya ublik, sebuah sosok mulai terlihat dari samar hingga jelas. Wanita cantik berpakaian kuning sedang mengetik sesuatu, airmata terlihat menetes di matanya, "Inge..." ucap Indra pelan.

JLEGAAAAAARRR.....suara petir mengagetkan kami, dan ketika pandangan kami kembali menuju ke wanita misterius tadi, wajah yang tadinya cantik mengelupas kulitnya dan samar perlahan wujudnya lenyap jadi asap diiringi suara tawa seram yang menggema di seluruh ruangan. Semerbak wangi melati kembali tercium, Mila semakin erat memelukku dengan ketakutan sedangkan Indra mengambil sikap siaga. Dan benar sekali sebuah hembusan angin dingin yang datang entah darimana terasa sedang mengelilingi kami bertiga, dari arah kamar Indra yang pintunya tertutup rapat terdengar lagu Belanda yang dinyanyikan oleh suara anak kecil, pandangan kami otomatis tertuju kesana dan kali ini kami diperlihatkan munculnya sosok yang oleh Indra dikenalnya sebagai Inge dan Ingrid, mereka muncul menembus pintu dari kamar adikku itu. Dari belakang menyusul sosok dua laki-laki bule (sepertinya orang Belanda) dan seketika mereka muncul salah satunya langsung menebas leher Ingrid si anak perempuan berparas bule, kepalanya tergelinding kearah kami dan berhenti kira-kira sepuluh langkah dari posisi kami berdiri. Inge terkejut dan berteriak, lalu dia lari tanpa menapakkan kakinya ke lantai, teriakkannya lama-lama seperti terjemahkan di kepalaku, lebih mirip sumpah serapah kepada dua lelaki Belanda yang menyakiti anaknya itu. Wujud kedua lelaki itu berubah menjadi menyeramkan mirip seperti mayat busuk, mereka lalu mengejar Inge ke arah dapur. 

"ze haten me omdat ik uit een autochtone vrouw was geboren" ucapan ini keluar dari kepala Ingrid.....

"Mereka membunuhnya karena terlahir dari wanita pribumi!" ucap kami bertiga, dan seketika itu kami saling pandang dengan heran. Bagaimana kami mengetahui arti dari ucapan Ingrid, keheranan kami tak berlangsung lama karena Mila berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke kepala Ingrid yang melayang. Merasa terdesak kuajak Indra dan Mila masuk ke kamarku dan mengunci pintunya dari dalam. Mila kusuruh istirahat di tempat tidur, Indra dan diriku berjaga-jaga di tepian tempat tidurnya.
"Apes kamu Ndra, baru saja pulang sudah berurusan dengan kejadian kayak gini" ucapku pada Indra, dia lalu menjawab "Bukannya kita sudah mengalami hal ini sejak pertama kali menghuni rumah ini mas, cuma lebih kecil saja gangguannya."

TOK TOK.....CKLEK! Pintu kamarku diketuk dan ada yang berusaha memainkan gagang pintunya, kuambil senter yang ada di meja kamar karena cahaya ublik kurang terang, lalu kusorotkan senternya ke arah pintu. Pas dibawah pintu diselipkan sebuah kertas, sejenak aku saling pandang dengan Indra lalu dia tanpa kusuruh langsung mendekati pintu dan mengambil kertas itu. Dengan bantuan cahaya senter kami membaca isi kertas itu, sebuah pesan yang diketik dengan tinta yang basah. "Baunya kok amis?" ujar Indra, senter yang kupegang lalu didekatkan oleh Indra ke tulisan di kertas itu, "Tinta ini, sep-sepertinya dari darah mas..." Ucapan Indra barusan sedikit membuatku mual, lalu kami mulai membacanya.

"Tahoekah kaliann,,,,,kebetoelan jang mengerikan, 
hhhhhhhhhh boeyoetmoe ternjata kacoeng meneer Willsengoerd,,
dia orang jang telah mengoeboerkan keapalaa Jngrid
temoekanlah kepaala Jngrid,,,kasihan annak gadis saja menderita.
Jnge van der Jaanschente"

Agak lemas, aku merebahkan bddanku di sebelah Mila, Indra dengan gestur rasa tak percaya terlihat diam dan berpikir. 

Pukul 01.58, hujan masih belum berhenti dan listrik masih belum menyala. Aku masih terjaga bersama Indra di dalam kamarku, Mila tertidur pulas dan sesekali aku seka keringat di wajahnya. Sudah beberapa jam sejak kejadian terakhir aku dan Indra membahas mengenai rumah ini, apakah bapak kami sudah mengetahui sejarah rumah ini atau ini semua murni kebetulan lalu nasib mengarahkan kami sekeluarga ke rumah ini? Segala posibilitas kubicarakan dengan Indra, kami tak ingin kejadian-kejadian seperti datang rutin dan berlarut-larut selalu menghantui kami atau penghuni rumah ini setelah kami. 

Indra sekali lagi menceritakan pertemuannya dengan Inge dan Ingrid pada tahun 1988, sampai di bagian "Inge mencopot kepala Ingrid di taman bermain dekat rumah" aku seakan mendapat link yang sepertinya bisa menguak masa lalu 'mereka' berdua dan rumah ini. "Mungkinkah kepala Ingrid ditanam di sebuah lokasi di dalam taman itu Ndra, lalu Inge juga dibunuh dan mayatnya dikubur bersama dengan mayat Ingrid?" 

Indra menjawab "Bisa jadi mas, tapi lokasi mayatnya...apa mungkin berada di pohon beringin besar itu yang diujung jalan, malam itu aku melihat mereka menembus masuk ke batang pohonnya."

Kujawab belum tentu, lalu entah kenapa tiba-tiba terbesit di pikiranku "Apa mungkin Ndra, mayat keduanya dikuburkan di rumah ini?" Indra mengangguk, dia berpikir sambil melihat sekeliling "Jika pikiran kita sama nih mas, di sebelah mana di rumah ini mereka dikubur?" pertanyaan indra ini tak bisa langsung kujawab. 

"Mungkinkah di gudang?" ucap Mila yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
"Coba kita ingat algi ukuran gudang di rumah ini, bukankah 6x3 meter itu terlalu besar untuk sebuah gudang. Ukuran itu kan kira-kira sepertiga dari ukuran rumah ini" Lanjut Mila.

Lalu Indra menambahkan kemungkinan yang semakin menguatkan pemikiran Mila, "Tiga pohon besar yang di halaman belakang bukankah itu sudah cukup tua umurnya mas, kalau perkiraan mbak Mila tadi tepat, berarti ketiga pohon itu sengaja dibuat sebagai pengalih perhatian atau untuk menutupi posisi gudang."

BYAAR...Listrik tiba-tiba menyala dan lampu-lampu di rumah kami kembali menerangi tiap ruangan (mungkin saja). Seketika itu kami hanya saling pandang sebagai tanda sepakat atas pemikiran-pemikiran tadi, lalu Indra mengajak untuk memeriksa tiap ruangan dan kami bertiga segera keluar dari kamar. Televisi dalam keadaan menyala (padahal tadi sudah kumatikan) lalu kumatikan, Aku bersama Mila memeriksa ruang tamu, Indra memeriksa kamar bapak dan ibu. Setelah itu kami bertiga ke dapur, semua normal, kamar mandi pun lampunya menyala.

"Dua jam lagi subuh, kita tidur saja dulu Ndra, ngumpul di kamarku saja seperti tadi" Indra dan Mila sependapat, lalu kami berusaha istirahat setelah melewati kejadian-kejadian yang kami alami malam ini.
,
,
,
,
,
Pukul 08.21, aku memanggil pak Sigit seorang petugas lingkungan dan penggali kubur di wilayah rumahku. Lantai di dalam gudang rumahku ini tidak di cor,hanya lantai ubin. Kami harus mengira-ngira dulu di bagian mana kemungkinan 'keduanya" dikuburkan, tiba-tiba indra memanggil kami "Sini mas, ada lantai yang menggembung di balik lemari kayu sebelah sini."

Tanpa pikir panjang aku dan pak Sigit mulai menggali, kami menjebol dulu lantai ubin itu dengan linggis, Mila dan Indra menyaksikan penggalian ini. Penerangan di dalam gudang ini hanya sebuah lampu petromak dan pak Sigit belum kami beritahu apa yang sedang digali ini. sekitar 1.5 meter menggali pacul pak Sigit menyentuh sebuah benda padat yang terbuat dari logam, kami lanjutkan menggali hingga benda ini terkuak bentuknya. Setelah 48 menit menggali terlihat bahwa benda yang terkubur ini adalah sebuah kabinet dari besi, dengan sedikit gemetar akhirnya kuberanikan untuk membukanya dan...................pemandangan memilukan tersingkap di dalam kabinet yang sudah lama terkubur ini, kerangka komplit seorang wanita dewasa bertumpuk dengan kerangka anak kecil tanpa tengkorak.

Pak Sigit yang masih terkejut setelah melihatnya kuajak kembali ke permukaan, Indra lalu menjelaskan semuanya ke pak Sigit, Mila kusuruh menelepon polsek untuk mengirimkan petugas.
Pukul 11.32 siang, kedua kerangka itu sudah selesai diangkat dan kami sudah memberikan keterangan kepada polisi, termasuk bagaimana kronologi-kronologi awal yang tidak masuk diakal. Pada kesempatan ini juga aku meminta ijin kepada petugas untuk sekali lagi melakukan penggalian, setengah tidak percaya pihak berwajib mengijinkanku. Kali ini kuajak pak Sigit menuju ke taman bermain di dekat rumahku, kali ini benar-benar membuat kami bingung karena tak ada petunjuk satu pun, mendadak Indra merebut sekop yang kubawa. Indra berjalan menyisiri tiap sudut taman hingga dia berhenti pada satu lokasi yang dimana terdapat banyak bangkai rajungan, lalu dia mulai menggali, pak Sigit pun juga langsung bergerak dan mulai mengglai dengan menggunakan paculnya.

Hingga akhirnya sekop Indra menyentuh sebuah benda rapuh dari dalam tanah, kemudian digalinya tanah disekitarnya dengan hati-hati.........sebuah tengkorak kepala anak kecil diangkat oleh Indra, semua yang hadir menyaksikan kaget dan tercengang. Kepolisian akhirnya yang mengambil alih masalah ini, ahli budaya juga dilibatkan, aku dan Indra menjelaskan semua kejadian ini kepada bapak sampai beliau terkejut, lemas dan berkali-kali mengelus dada.

Selama tiga minggu polisi beserta tim dari dinas cagar budaya menyelidiki rumah orang tuaku. Kami sekeluarga akhirnya sepakat untuk menjual rumah itu, karena ada tawaran dari pemerintah kota dan rumah kami dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan. Kejadian-kejadian yang pernah berlalu tak pernah kami bicarakan lagi, bahkan untuk diwariskan sebagai cerita untuk keturunan kami.


Surabaya, Januari 1995.

Sebuah cerita bersambung dimuat di sebuah majalah, jalan ceritanya sama persis dengan sejarah yang pernah terjadi di bekas rumah kami, aku tak langsung menuduh Mila sebagai penulisnya karena dia memutuskan rehat sebagai penulis selama setahun dan mesin tik elektroniknya sengaja ikut dijual beserta rumah kami dulu. Beredar kabar bahwa penulis cerita bersambung itu tak sengaja menemukan berlembar-lembar naskah yang diketik tidak utuh,entah darimana ditemukannya.......



-TAMAT-

Thursday 24 October 2019

Ada Penghuni Lain?!!!


1988, di suatu rumah, di Surabaya.........

Selepas maghrib aku sudah sampai di rumah baru orang tuaku, rumah ini berada di daerah Pacarkeling-Surabaya, lokasinya sepi dimana lampu-lampu jalan terhalang penuh oleh banyaknya pohon-pohon besar yang berbaris di sepanjang jalan. Menurutku sangat aneh melihat seputar lingkungan rumah baru ini terdapat banyak pohon asem dan beringin yang sudah tua, tinggi dan berbatang besar. Samar terlihat di dekat rumah orangtuaku ini ternyata ada taman bermain anak-anak, kuputuskan besok saja untuk melihat-lihat kesana, malam ini istirahat dulu.

Kurogoh tasku untuk mencari kunci rumah, orang tuaku masih di Rembang untuk mengurus administrasi mutasi kerja jadi aku yang saat ini disuruh untuk menghuni sekaligus membenahi kamarku. Seminggu kemarin bapak sempat ke rumah ini selama tiga hari ditemani sepupuku untuk membantu proses pindahan kemari, namun setelah itu keduanya kembali ke Rembang. Kutemukan juga kunci rumahnya, kubuka pintunya dan masuk sambil mengucapkan 'salam', kata ibu biar kita diterima sebagai penghuni baru.

Sebetulnya orang tuaku bisa tinggal di rumah dinas, namun ibu meminta bapak untuk membeli rumah saja di Surabaya, karena ibuku asli dari Gresik yang lumayan dekat dengan Surabaya. Nah, yang jadi pikiranku kenapa bapak harus membeli rumah yang bentuknya kuno begini. Bapakku sih enteng saja menjawabnya dulu "Bapak sengaja memilih rumah model tahun 30an begini karena mbahmu pernah dapat rumah dinas macam begini Ndra".

Kunyalakan semua lampu-lampu di dalam rumah ini, termasuk lampu luar juga sesuai pesan ibu. Lusa kedua kakakku akan menyusul datang kesini, jadi selama dua hari ini aku harus sendirian dulu menghuni rumah tua ini. Akhirnya lapar juga perutku, kuputuskan untuk keluar dan mencari penjual makanan di dekat-dekat sini. Baru saja melangkah keluar dari pintu aku sudah disapa oleh angin malam yang dingin, bikin merinding tapi cuek sajalah, udah telanjur kelaparan.

Aku terhenti sejenak di depan pagar rumahku, sesuatu seperti memaksaku untuk menoleh ke arah taman bermain................apa tidak salah nih? Mataku melihat seorang ibu muda dengaan paras cantik sedang mendorong gadis kecil bermain ayunan di taman yang keadaannya gelap dan sepi. Kuperhatikan keduanya memakai semacam daster atau gaun panjang berwarna kuning, lalu tak lama bau harum bunga melati melintas dan tercium oleh hidungku hingga membuatku bersin dan terbatuk-batuk. Setelah itu kukembalikan lagi pandanganku ke taman bermain tapi....kedua perempuan tadi sudah hilang, mereka lenyap. Ingin rasanya segera balik saja ke dalam rumah, tapi diriku bisa memaksa pikiranku untuk lanjut saja mencari makanan.

Aku berjalan ke arah berlawanan dari taman tadi menuju ke sebuah pedagang makanan agak jauh di ujung jalan. Lumayan ada banyak pedagang makanan walau harus berjalan agak jauh, aku memilih untuk membeli nasi goreng karena jualnya di warung jadi aku bisa makan sambil santai sejenak sembari membersihkan pikiran. Sambil duduk terbengong tiba-tiba penjual nasi gorengnya bertanya kepadaku, "Baru pindah ya mas?" lalu kujawab "Iya pak" tanpa memikirkan dia tahu darimana kalau aku baru saja pindah kesini. Entah pikiran apa yang mendorongku, aku iseng bertanya padanya, "Rumah-rumah yang lain ini berpenghuni pak, kok sepi dan sebagian gelap ya?", dia menjawab "Ada penghuninya juga mas, tapi ya jarang keluar juga, ada kalanya mereka beli nasi goreng kesini juga kok", lalu dia menambahkan "Mas, kalau belum terbiasa di daerah sini banyakin doa saja, soalnya sampe sekarang ada saja penghuni sama penjual-penjual makanan yang ditemui makhluk halus". Mendengar ucapan penjual nasi goreng ini membuatku mengernyitkan dahi, masa bodohlah aku dulu sudah beberapa kali diganggu juga waktu camping.

Selesai makan aku balik ke rumah, obrolan dengan penjual nasi goreng tadi tidak terlalu lama kupikirkan. Sungguh aneh, datang lagi angin dingin yang mirip seperti tadi, namun kali ini anginnya tidak berhembus tapi seperti sedang berputar-putar di sekitarku. Semakin mendekati rumah kusadari ada bebauan aneh yang memasuki hidungku, mirip aroma dari laut. Ah mungkin saja ada tetangga yang membuang tulang ikan di tempat sampah, pikirku.

Sesampainya di rumah aku bermaksud akan santai-santai sambil menonton Dunia Dalam Berita, tapi aku mau buang air dulu. Sampai di depan kamar mandi aku terheran, tadi seluruh lampu rumah sudah kunyalakan tanpa terkecuali, lha ini kenapa lampu kamar mandi kok jadi mati begini, tidak mungkin deh aku kelupaan. Kucoba menyalakan kembali lampunya, aneh tiga kali saklarnya kutekan tidak menyala lampunya, akhirnya pada usaha keempat baru mau menyala. Kejadian sungguh bikin diriku jadi kepikiran.

Akhirnya aku bisa santai di depan televisi sambil menonton berita. BRAAAAK!!! kudengar suara seperti kaca digebrak, arahnya dari kamar orang tuaku. Aku bergegas mendatangi kamarnya dan kudapati jedelanya terbuka dengan kaca yang sudah retak, apakah sampai seginya perbuatan angin malam, pikirku. Kututup kembali dan kupastikan slot jendelanya terkunci rapat, kuperhatikan sekeliling kamar ini dan kusadari foto wisuda bapakku yang tergantung di dinding kamar dalam posisi miring, dan kubetulkan posisinya lalu balik ke ruang keluarga untuk lanjut menonton TVRI.

Di depan televisi tanpa kusadari aku sudah terkantuk-kantuk, kuperhatikan tayangannya sudah di segmen Berita Terakhir berarti sudah hampir jam 12 malam nih. Kumatikan televisinya dan pergi ke kamar mandi dulu sebelum tidur.

Apa-apaan ini!! Lampu kamar mandinya mati lagi dan posisi saklarnya off, tadi jelas-jelas sudah kubiarkan menyala deh. Kondisi ngantuk begini tidak membuatku berpikir lama, kunyalakan lampunya lalu aku buang air dulu sebelum tidur. Menuju ke kamarku aku melintasi kamar bapak dan ibu, kudapati kipas anginnya sedang menyala "Nah tambah lagi nih gangguannya" gumamku pelan. Sedikit merinding kumasuki kamar itu untuk mematikan kipas angin, setelah itu ku berbalik dan kudapati foto bapak terjatuh ke lantai tapi kacanya tidak pecah. Hal ini mulai membuatku takut, kubiarkan foto itu tergeletak di lantai dan aku berlari ke kamarku, lalu ku kunci pintunya dan tidur dengan bertutup selimut.

TOK....TOK
TOK......TOK......TOK...

Sebuah suara ketukan dari jendela kamarku membuat tidurku jadi tidak nyenyak, kuraih arlojiku dan kulihat sudah subuh, tak lama terdengar suara adzan. Dari tempat tidurku aku menoleh ke arah jendela, suara itu tidak terdengar lagi, apakah tadi itu aku cuma bermimpi?

Sudah setengah jam selepas adzan subuh, aku belum beranjak dari tempat tidurku, rasanya enggan untuk keluar kamar. Tak lama kudengar alunan musik dengan suara vokal yang  samar-samar, suara nyanyian memakai bahasa Belanda menurutku, aku bisa tahu karena aku termasuk paham bahasa Inggris, dan bahasa dalam suara vokalnya ini bukanlah bahasa Inggris. Kuberanikan diriku mendekati pintu untuk menguping, suara musiknya terdengar dengan jelas berasal dari rumah ini! Lalu suara vokal yang samar-samar ini apakah sedang ada yang menyanyi mengiringi lagu ini, pikirku.

PRAAAAANG......Suara benda terjatuh dan pecah terdengar sangat keras hingga aku terkejut dan kakiku sedikit menendang pintu. Suara musik dan vokalnya tadi juga ikut menghilang, kugenggam gagang pintu dan bersiap membuka kuncinya, tiba-tiba terdengar suara tertawa wanita dengan nada asing.....lama-lama suara tawa itu berubah menjadi tawa cekikikan dan perlahan menghilang.

Kumantapkan diriku untuk keluar kamar, kudapati semua benda di depan kamarku (ruang keluarga) dalam kondisi rapi. Lalu aku berjalan ke arah dapur dan kamar mandi, kulewati kamar kakak-kakakku karena terilihat biasa saja. Namun berbeda dengan kamar kedua orangtuaku, lampu di kamarnya mati dan kipas angis dalam keadaan kembali menyala......

Kali ini aku benar-benar tidak berani untuk masuk ke kamar bapak dan ibu, tapi kali ini pintu kamarnya kututup rapat, kipas anginnya kumatikan kalau hari sudah terang saja. Kulanjutkan ke arah dapur, kuperhatikan dan kucari-cari tidak kutemukan adanya gelas atau piring yang pecah, akhirnya aku menuju ke kamar mandi. Betapa kagetnya diriku, di depan kamar mandi kudapati ada gelas dalam keadaan pecah bercampur cairan coklat tua. Kudekati dan tercium aroma kopi dari cairan ini, akal sehatku mulai tidak percaya dengan kejadian-kejadian yang janggal di rumah ini. Kubersihkan pecahan gelas dan tumpahan 'kopi' ini, tak lama kemudian aku mandi.

Selepas mandi dan sholat subuh aku mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir logis dengan duduk di ruang santai sambil menyetel kaset video berisikan acara-acara musik dari luar negeri. Kupikir dengan logis apakah ada penghuni lain di rumah ini, mungkin saja manusia iseng yang sembunyi entah dimana di dalam rumah ini? Namun tidak mungkin, semua ruangan di rumah ini tidak memungkinkan untuk dipakai bersembunyi, juga tidak ada tanda-tanda adanya ruang rahasia.

Akhirnya kudengar suara ayam berkokok, semua jendela (kecuali kamar orangtuaku) mulai kubuka, pada waktu membuka jendela dapur, terdengar suara musik yang misterius tadi dan tanpa pikir panjang pintu halaman belakang yang dekat dengan dapur kubuka. Di halaman belakang tidak terdengar lagi suara musiknya, lalu aku kembali masuk ke rumah dan menuju dapur, lambat laun suaranya terdengar lagi.

Kudatangi ruang tamu dan suara itu masih terdengar, lalu aku keluar lewat pintu depan dan suaranya hilang.....dengan merinding dan bulu romaku berdiri tidak karuan aku tidak kembali masuk ke dalam rumah, aku duduk diteras rumah sambil menenangkan diri.

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 ketika diriku kembali masuk ke dalam rumah, kubuka pintu kamar orangtuaku, kubuka jendelanya dan kumatikan kipas anginnya, kurapikan lagi foto bapak yang terjatuh semalam. Kuperhatikan kamar ini biasa-biasa saja pagi ini, lalu kuhabiskan waktu sambil menonton video.

Pukul 10.00 siang kudengar ada suara pedagang makanan lewat, kuintip lewat jendela ternyata pedagang bakso. Kupanggil dan dia berhenti pas di depan pagar rumah, aku pesan dua porsi bakso sambil membawa dingklik untuk duduk disamping gerobaknya. Setelah kenyang dan kubayar, aku berniat untuk menaruh dingklik tadi ke teras rumah, tapi pandanganku mendadak tertuju kearah taman bermain di arah kanan jalan depan rumahku. Kutaruh dingkliknya di teras dan kudatangi taman bermain itu.

Taman bermain ini ternaya diberi pagar yang lumayan tinggi dan pintu masuknya berada di arah sebaliknya, akhirnya kumasuki. Di taman ini kuperhatikan semua alat bermainnya sudah banyak yang usang serta berkarat. Di sisi lain kuperhatikan ada bangkai kucing yang sudah kering di salah satu sudutnya, lalu beberapa kali kutemukan banyak cangkang rajungan (kepiting laut), padahal sama sekali tidak kutemui adanya warung atau penjual seafood disekitaran daerah ini, apakah 'aroma laut' yang semalam berasal dari sini?. Tiba-tiba samar kudengar suara wanita sedang bernyanyi dalam bahasa Belanda.

Aku menoleh kesana-kemari dengan kebingungan mecari sumber dari suara ini, namun suara nyanyian ini makin lama makin menggema di dalam kepalaku. Aku beranjak pergi dari taman bermain ini dan bergegas pulang.

Pukul 17.21, menjelang maghrib semua lampu kunyalakan dan ku cek bahwa semua sudah MENYALA, kipas angin di kamar bapak kucabut kabelnya dari colokan listrik lalu kutup kamarnya, semua jendela dan pintu sudah kututup rapat dan terkunci. Aku mencari makan pada waktu selepas Isya'. Seperti kemarin malam kuputuskan untuk makan nasi goreng lagi, setelah mengunci pintu depan aku berjalan melewati halaman depan, baru saja akan keluar pagar kudengar suara seorang wanita menyapaku, "Mau cari maem ya mas?", lalu kubalas "Iya mbak" sembari aku mengangguk, "Yok bareng mas, anakku agak takut gelap ini, hihihi" suara tawanya sekilas mengingatkanku pada sesuatu, tapi sukar sekali untuk kuingat. Bukankah mereka ini yang semalam kulihat sedang bermain ayunan ya, pikirku dalam hati.

Sembari berjalan bareng kulihat anak perempuan dari wanita ini sama sekali tidak mempunyai ekspresi atau menunjukkan rasa lapar. Mendekati penjual nasi goreng yang semalam, kuperhatikan bahwa jalanan terlihat sepi, lalu kuperhatikan juga lapak-lapak penjual makanan yang lain juga sepi.
"Mas, nasi gorengnya tiga piring ya, yang satu gak pake sambel" Wah wanita tadi sudah sekalian memesankan untukku juga. Kami duduk sebaris, kuperhatikan ternyata rambut dari anak wanita tadi berwarna kecoklatan, mirip bule.

"Namaku Inge mas, rumahku depan taman bermain situ tadi, kalo yang ini anakku namanya Ingrid, suamiku dulu bule Belanda jadi nurun juga darahnya ke anakku" Aku cuma bisa menjawab "Iya, iya" sambil mengangguk, kulihat lagi muka Ingrid masih tak berekspresi. Mbak Inge dan Ingrid sudah selesai duluan makannya, lalu kulihat mendekati penjual nasinya dan membayar, "Sudah kubayari juga nasi gorengmu, aku pulang duluan ya".

Sedikit terbengong lalu aku merasa suasana yang tadi sepi jadi mendadak rame, terlihat kendaran-kendaraan berlalu-lalang di jalan raya, warung-warung yang disekitaran juga terlihat dipenuhi pembeli. Lalu, "Lho mas!! Temanmu tadi itu manusia apa bukan, ini kok duitnya jadi daun semua!!!" aku ikut terkejut mendengar ucapan penjual nasi goreng itu, kudatangi dia dan kulihat dengan seksama dia memegang daun-daun yang masih hijau. Kutenangkan penjual nasi goreng ini dan kubayar semua tiga piring nasi goreng tadi, anehnya, dia hanya menerima pembayaran untuk satu piring nasi goreng saja, yang dua piring dia ikhlaskan, aku jadi tidak bisa mikir juga apa yang ada di kepalanya. Sebelum pulang aku kembali ke bangku kayu tempatku makan tadi untuk menghabiskan minumanku, entah mengapa aku sempat saja untuk melihat kebawah dan kulihat di tempat yang diduduki mbak Inge dan Anaknya Igrid tadi kulihat ada sisa-sisa nasi goreng.

"Biarin ae mas, nanti kubersihkan. Sampeyan berdoa saja pulangnya ya" Ujar penjual nasi goreng itu mengejutkanku, tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sampingku. Dan akhirnya aku pamit pulang, di perjalanan pulang aku tidak merasakan apa-apa seperti semalam, tapi ketika aku sudah sampai di pagar depan rumah kudapati Inge dan Ingrid sedang bermain ayunan. Persis seperti kemarin malam, Inge mendorongkan ayunan itu untuk Ingrid, tak lama setelah itu terdengar samar Inge mengajak Ingrid untuk pulang, namun anak perempuannya itu tidak mau pulang.

Pemandangan mengerikan terjadi di depan mataku, Inge tanpa ekspresi mencopot kepala Ingrid lalu meninggalkannya, lalu Ingrid dengan tanpa kepala mengikutinya dengan berlari-lari kecil. Kulihat Inge berjalan menuju pohon beringin besar di ujung jalan, persis di depan taman bermain itu, Inge masuk dan menghilang ke dalam batang pohon beringin yang besar itu diikuti oleh Ingrid yang berlari sambil tangannya berusaha meraih kepalanya.

Melihat kejadian itu aku tak sanggup bergerak serta tak sanggup untuk berucap apa-apa.

Sebuah suara nyanyian dalam bahasa Belanda membuatku tersadar.

Slaap kindje slaap,
daar buiten loopt een schaap.
Een schaap met witte voetjes,
die drinkt zijn melk zo zoetjes.
Slaap kindje slaap,
daar buiten loopt een schaap.



Suara yang menyanyikan lagu ini....tidak salah lagi ini suara Inge, lalu terdengar suara tawa anak kecil, ini suara Ingrid. Diriku bergegas masuk ke dalam rumah, kukunci pintu depan dan kututup semua tirai di ruang tamu. Dengan masih terengah-engah aku menuju ke kamar mandi karena sudah kebelet, dan kudapati lampu dapur dimatikan begitu juga lampu kamar mandi. Dengan menahan rasa takut kunyalakan dan setelah beberapa kali menekan saklar akhirnya kedua lampunya menyala semua.

Di dalam kamar mandi mulai terdengar suara musik tanpa vokal, setelah buang air kucari sumber dari suara tadi, sumbernya datang dari arah ruang keluarga. Di ruang keluarga suara musik itu masih terdengar tapi tidak kuketahui darimana arah pasti datangnya suara musik ini. BRAAKKK!!! Suara keras sebuah benda yang terjatuh terdengar dari dalam kamar orangtuaku, mau tidak mau kudatangi juga dan kumasuki kamarnya. Lampu di kamar ini masih menyala namun kudapati kalau kipas angin di kamar ini kembali menyala tapi dalam keadaan roboh ke lantai.

Bagaimana mungkin kipas angin ini bisa menyala, tadi kabelnya sudah kucabut. Kuberdirikan lagi kipasnya dan kucabut kabelnya. Praaaak..praaaang...lalu aku dikejutkan dengan jatuhnya foto wisuda bapakku, tepat disampingku dan kali ini kaca piguranya pecah, tanpa pikir panjang kutinggalkan kamar ini, BRAAAK!! pas sebelum pintu kamarnya kututup ternyata kipas anginnya roboh sekali lagi, astaga aku benar-benar ketakutan setengah mati kali ini.

Begitu kututup dan kukunci pintunya dari luar, aku segera masuk ke kamarku sendiri. Suara cekikikan yang sepertinya sudah kukenal menggema dengan tiba-tiba di dalam rumah ini, "Mbak Inge jangan menakut-nakuti saya mbak, salahku apa sih mbaaak" teriakku sembari tergopoh masuk ke kamar. Dengan ketakutan setengah mati aku berdoa semoga malam ini segera terlewati. 

Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut. Badanku merinding dan berkeringat karenan ketakutan, lalu terdengar suara ketukan di jendelaku, ketukannya tak juga berhenti sehingga semakin menambah ketakutanku. Tak lama semerbak aroma kopi seakan memenuhi isi kamarku, aorma ini sama persis dengan aroma kopi di pecahan gelas yang subuh tadi kubersihkan.

Aku menjadi tidak tahan, terutama dengan suara ketukan-ketukan di jendela itu, dengan modal nekat aku beranjak dari tempat tidur dan kubuka jendelanya.......tidaka da siapa pun diluar sana. 

"hihihihihihiiiii hihihihihihiiiii" suara ketawa cekikikan mendadak muncul dan terdengar jelas dari luar, aku masih berdiri di depan jendela kamarku dan mulai dari samar terlihat sebuah benda melayang mendekati dari luar...........semakin mendekat maka semakin terlihat bahwa benda yang datang melayang ini adalah kepalanya Ingrid. Tanpa ekspresi kepalanya melayang-layang di luar jendelaku sambil terawa cekikikan yang terdengar seram. Perlahan dari leher kepala Ingrid mulai menjulur darah dan semacam usus terbungkus darah. Aku ingin berteriak namun tak sanggup, ingin bergerak juga tak sanggup. Tiba-tiba kurasakan sentuhan yang sangat dingin menekan di bahu kananku, aku hanya bisa melirik tanpa menoleh untuk melihatnya, tapi sudah terlihat itu adalah sebuah tangan dengan jari-jarinya yang berkuku runcing terlihat membusuk. "Ingrid ayo pulang, jangan ganggu-ganggu manusia lagi, tadi sudah kenalan baik-baik kan anakku sayang" Itu suara Inge, terdengar jelas dari arah samping kananku.

Jendela kamarku tiba-tiba tertutup dengan sendirinya, aku bisa bergerak lagi, bisa bersuara lagi. Kupikir itu tadi adalah puncak dari semua peristiwa yang diluar logika ini, aku sudah kecapekan dan sangat butuh minum, aku melangkah keluar dari kamarku untuk mengambil minum di dapur. Aku duduk di meja makan sambil menenangkan diri dengan meminum air dingin sebanyak-banyaknya. Setelah itu kutengok kearah jam dinding, masih pukul 02.17, artinya pagi hari masih lama. Selanjutnya aku berjalan menuju ke kamarku, di ruang keluarga sekilas sebelum aku menutup pintu kamarku kuperhatikan diatas meja ada sebuah gramophone tua, tak kupedulikan dan langsung kututup pintu kamarku lalu kukunci. JREEEENG suara orkes lagu belanda terdengar keras sekali hingga kekamarku, lalu terdengar pula suara orang bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, kubuka kembali pintu kamarku akrena pensaran dan terganggu..........di ruang keluarga terlihat tujuh orang Belanda sedang duduk menikmati alunan musik dari gramophone tadi sambil masing-masing menikmati secangkir kopi hitam. Wajah mereka terlihat pucat dan menyeramkan, hingga akhirnya salah satu dari mereka menoleh kearahku sambil mengangkat gelasnya.......seakan terkena hipnotis aku berjalan keluar dari kamarku dan mendekatinya, aku ikut duduk membaur dengan mereka namun....perlahan pandanganku mulai samar, gelap dan kepalaku tak mampu berpikir lagi.

DOK DOK DOK!!!

DOK DOK DOK DOK!!!!!

"NDRAAAAA, INDRAAAAAA"
"INDRAAAAAAAA, kamu didalam nggaaak?"

Suara pintu digedor dan namaku dipanggil-panggil membangunkanku, kudapati diriku tergeletak di samping meja ruang keluarga. Dengan sedikit terburu-buru aku menuju pintu depan dan membukanya, ternyata kedua kakakku sudah sampai di rumah, "Mbak Nia kok sendiri, mas Deni kemana?" tanyaku. Dahiku langsung ditampol "Sepuluh menitan dipanggil nggak nyahut, kamu habis ngapain" omelnya, "Tuh bantuin Deni bawain tas-tasnya semua" lanjutnya. 

Ternyata sudah lepas dhuhur ketika aku tadi terbangun, lalu tentang kejadian semalam masih kurahasiakan dari kedua kakak dan orangtuaku.

"Oii Ndra, ini barang antik punya siapa, sudah berdebu begini ditaruh diatas meja" tanya mas Deni kepadaku, aku memandangi benda yang dimaksud tadi dengan pandangan kosong, benda itu adalah gramophone yang semalam. Dan ditambah lagi....
"Indraaaa, ini kipasnya bapak kok dirobohin ke lantai sih, dibiarkan pula, kamu sengaja mau diamuk bapak ya?", bertambah lagi apesku ya Tuhan......




-TAMAT-

Sunday 20 October 2019

Mayat Pak Soleh Gentayangan?!!!!

"Ji, Ji nisannya bawa kemari" teriak mbah Di padaku.
Aku dan warga desa Dinoyojati baru saja membantu pemakaman pak Soleh, salah seorang warga yang cukup dikenal sekelurahan karena kekayaan dan usahanya. Hampir isya' dan prosesi pemakamannya baru saja kelar.

Ada saja tadi kabar-kabar yang kudengar sepanjang perjalanan mengantarkan almarhum ke pemakaman umum. Misalnya saja kabar burung yang mengatakan kalau pak Soleh dulunya miskin terus jadi kaya raya setelah sering bertapa di suatu tempat, ada juga yang mengatakan kalau dulu pak Soleh harus sering menikah supaya nggak jatuh miskin. Aku nggak terlalu memikirkan kabar-kabar berikutnya karena diriku sendiri gak terlalu kenal, keluargaku pun juga begitu.

Dalam perjalanan pulang dari makam aku menyadari kalau diriku harus berpisah arah dengan sebagian tetangga dan orang-orang yang ikut memakamkan pak Soleh, karena mereka tidak langsung pulang ke rumah namun menuju ke rumah duka untuk tahlilan, sedangkan aku memilih untuk pulang saja walau harus berjalan sendiri menuju rumahku yang lumayan jauh dari makam.

Sepanjang perjalanan pulang di jalanan sering kutemui rumpun bambu, kebun pisang dan pohon jati milik warga, yang bikin ciut nyaliku adalah suara daun-daun bambu yang bergesekan karena diterpa angin dan suara batang bambu yang sayup-sayup bersuara "kreeeet kreeeet". Walau pun mencoba untuk tetap tenang dan berdoa namun ada saja nyali ciut yang muncul di diriku, terutama ketika melintasi kebun-kebun pisang, sebuah tempat yang dulu sempat bikin masa kecilku diliputi rasa takut ketika melintasi. Lampu penerangan jalan yang cuma dipasangi bohlam kuning menambah suasana malam ini menjadi semakin seram kurasa.

Tibalah aku di sebuah pertigaan yang dimana banyak ditanami pohon pisang di sekitarnya, kupercepat langkahku saking merasa ngerinya.

"Bluk......bluk...." sebuah suara terdengar samar dari arah kiriku, sengaja tidak kutolehkan kepalaku kearahnya.

Aku lanjutkan berjalan dengan langkah cepat karena kupikir masih belum perlu diriku berlari karena godaan tadi. Agak  lama kemudian kucium bau wangi bunga.

"Aku yakin tidak ada tanaman Melati disini" gumamku dalam hati.

"Ini bau bunga Kemuning mas Aji, bukan Melati" sebuah suara wanita terdengar jelas dengan nada berat di telingaku, sontak aku berlari.

Aku berlari sampai akhirnya kelelahan di depan barongan (rumpun bambu). Aku sudah yakin kalau dari lokasi ini jarak ke rumahku sudah dekat, akhirnya kulanjutkan dengan berjalan. Suara tadi sungguh sangat mengagetkanku setengah mati, beruntung juga diriku tidak melihat rupa dari yang punya suara tadi.

Tak lama berjalan kudengar suara seakan sedang meringis kesakitan, diriku spontan berpikir kalau ini juga godaan makhluk halus, tapi...badan dan kakiku seolah disetir kerah suara itu. Aku semakin mendekati sebuah rumpun bambu dan suaranya semakin jelas terdengar, suara dengan nada meringis kesakitan namun tidak jelas apa yang diucapkannya. Sekuat tenaga kucoba untuk menutup mata namun tida berhasil seakan-akan diriku sedang dihipnotis.

Dibalik rumpun bambu yang kudekati samar terlihat sesuatu sedang menggeliat di tanah dengan suara meringis kesakitan. Tiba-tiba tubuhku seperti didorong dari belakang dan aku jatuh tepat dihadapannya.

"Po..poc....pocoooong" teriakku namun mulutku tidak terbuka.

Namun ada yang kejanggalan dan segera kutemukan dari pocong ini, dari wajahnya.....ini adalah wajah pak Soleh yang tadi dimakamkan selepas maghrib. Akhirnya aku sanggup mengendalikan badanku lagi dan segera berdiri untuk menjauh darinya. begitu diriku sanggup berdiri, pocong pak Soleh ikut juga berdiri, terlihat wajah sampai kakinya penuh luka cabik yang sampai merobek kain kafannya. Baunya busuk walau pun baru saja dimakamkan. Lalu kusadari diriku sekali lagi tak sanggup bergerak, sedangkan pocong itu bergerak mendekatiku.

"Hhhhhhh...eei...hhhhheiikh....hhheeeiij.....tttohlong..iii..akkkh..uuu" ucap pocong itu nggak jelas.

Dia semakin mendekatiku dengan ucapan yang sama, dan bau busuk tubuh poconga ini membuatku pingin muntah. Akhirnya dia berada pas di depanku, lalu tiba-tiba pocong pak Soleh mendorongku hingga aku terjatuh, dan dia ikut jatuh menimpa pas diatas tubuhku...................
'
'
'
'
'
"Ji, Ajiii, Ajiiii" samar terdengar suara memanggil namaku, "dek Aji, Jiiii, ayo bangun".

Beberapa warga yang tadi ikut tahlilan di rumah pak Soleh mengerumuniku yang pingsan di sebelah rumpun bambu yang rimbun. Mereka bertanya kenapa aku bisa pingsan disini, dan kujelaskan dari awal sampai yang terakhir bisa kuingat. Setelah mendengarkan ceritaku tidak sedikit dari mereka yang ikut mengutarakan rasa takut, sisanya dengan muka serius mengajak supaya dilupakan dulu. Aku diantarkan sampai ke rumahku, tanpa menceritakan sedikit pun mengenai kejadian tadi di jalan mereka lalu pamit pulang.

Aku langsung mandi untuk membersihkan diri dan bersuci, sambil masih mengingat kejadian tadi. Walau bikin merinding tapi masih menyisakan banyak tanya di kepalaku. Setelah bebersih diri kuputuskan untuk makan malam lalu tidur saja.

Besok paginya emak membangunkanku, lalu menyodorkan sesuatu sambil bertanya kepadaku.
"Ini bungkusan apa Ji, tadi emak nemu di kantong celanamu pas emak nyuci pakaian" tanya emakku, belum sempat kujawab emak lalu menambahi, "semalam beneran ya kamu semaput di alas bambu, tadi pagi Kardiman cerita lho pas emak belanja", sambil heran kujawab juga semua pertanyaan emak, "bener mak, semalam aku pingsan terus ditolong sama orang-orang yang pulang dari tahlil. Itu buntelan merah apaan mak? dari semalam aku gak nyimpen apa-apa di kantong celanaku".

Buntelan yang dimaksud emak berbentuk katong merah dengan hiasan dari cat emas, entah apa isinya itu diriku tidak tahu-menahu. Setelah kujelaskan semuanya emak keluar dari kamarku sambil meninggalkan benda yang ditemukannya di kasurku. Kuambil buntelan merah itu dan kubuka, isinya ternyata daun kering dan sebuah biji kering entah dari tanaman apa. Tak lama setelah kubuka benda itu semerbak wangi bunga Kemuning seakan memenuhi kamarku, benar mengejutkan dan membuatku merinding lagi.

Sorenya kuceritakan pada bapak dan pamanku sepulangnya mereka dari bekerja, keduanya sama-sama tidak bisa menjelasakan mengenai buntelan merah itu. Lalu mengenai kejadian yang kualami semalam aku dinasehati macam-macam mengenai menjaga diri dan pikiran.

Sudah tiga minggu setelah kematian pak Soleh, lama-lama mulai terdengar berbagai cerita dari warga desa mengenai gangguan oleh makhluk halus, paling banyak adalah cerita mengenai beberapa warga yang bertamu mayat pak Soleh di berbagai lokasi di desa ini.

Hingga suatu hari rumahku kedatangan tamu, tamu ini adalah menantu dari pak Soleh, suami dari putri pertamanya pak Soleh. Namanya mas Handoko, kedatangan dia bertamu adalah untuk menemuiku. Mas Handoko dengan lugas menceritakan keperluannya denganku, dia menjelaskan bahwa dari hari pertama mertuannya meninggal, diriku inilah yang pertama kali 'diganggu' oleh mayat gentayangan pak Soleh.

Mas Handoko ini orang cerdas, dia juga sekretaris desa di desa lain. Selanjutnya mas Handoko menceritakan kalau mertuanya dulu sering pergi bertapa ke Gunung Kawi untuk memohon kekayaan dunia, nah dari cerita ini mas Handoko langsung bertanya kepadaku, "dek Aji apakah selepas kejadian malam itu dititipi sebuah buntelan dari kain merah?" dan langsung kujawab "iya mas Han". Tanpa Basa basi mas Handoko menjelaskan bahwa buntelan merah itu harus dikembalikan ke asalnya, dia juga menceritakan tentang isi buntelan merah itu.

Beberapa saat sebelum pamit pulang, mas Handoko menceritakan bahwa yang dapat 'teror' bukan hanya warga desa, semua keluarga pak Soleh juga mengalami. Namun karena dia ini lebih rasional maka dia lah yang bergerak untuk menyelidikinya. Akhirnya kuserahkan buntelan merah itu pada mas Handoko, dan aku dia berpesan untuk memaafkan segala kesalahan almarhum pak Soleh, setelah itu dia pamit pulang.

Dua hari kemudian ada kabar mengenai dua anak (anak ketiga dan kelima) pak Soleh yang mengalami kecelakaan sepulangnya dari Gunung Kawi. Warga yang mengetahui dari awal juga menceritakan bahwa kedua anak pak Soleh ini tidak akan dimakamkan di desa ini.

Akhirnya aku keceplosan juga untuk mulai berpikir lagi atas hubungan peristiwa yang dulu kualami dengan peristiwa  yang barusan ini merenggut nya dua anak almarhum pak Soleh. Hampir seharian aku memikirkannya dan ikut-ikutan menghubungkan antar peristiwa itu. Malam harinya aku terbangun karena perutku mules, sebenarnya aku males juga untuk buang hajat karena letak WC terpisah dari rumah, dan lagi dari tadi aku memikirkan yang tidak-tedak terhadap berbagai peristiwa nggak logis belakangan ini di desaku.

Kuputuskan juga untuk buang hajat karen sudah gak kuat menahan beban. di dalam kakus yang tidak beratap, aku hanya ditemani bintang dan angin malam, bulan tidak kelihatan malam ini. Tiba-tiba semerbak wangi bunga Kemuning tercium sangat pekat di hidungku, lalu kudengar suara "bluk....bluk...blukk..." seakan ada yang dsedang loncat-loncat di tanah, tak lama hembusan angin malam semakin kencang. Aku mendongak keatas dan benar saja, kulihat sebuah buntelan merah melayang-layang berputar seakan dia mengelilingiku.

"Kamu nggak kepingin kaya nak Aji?" sebuah suara laki-laki bernada berat mengagetkanku.

Ingin segera beranjak dari kakus ini tapi aku sangat ketakutan dan tak sanggup berdiri. Lalu dari dinding bambu sebelah kanan tercium bau busuk seperti yang kutemui dulu, dan suara jari mencakar-cakar bilik bambunya.

""GEDEBUUUK!!!" sebuah benda jatuh pas didepanku yang masih berada di dalam kakus, benda yang barusan jatuh ini tak lain adalah....kepala pak Soleh menyeringai dengan wajahnya yang busuk dan berbau.....................................




-TAMAT-

Monday 14 October 2019

Serial Detektif Indigo (SDI): Mata Sukma


Bagian 2: Enigma di Rumah Bayang-bayang



"Alasan yang cukup bodoh, semudah itu doang ya ucapannya bisa membuatku pindah dari Cimahi lalu melanjutkan kuliah di sini. Itu juga karena faktor luck banget yah kamu bisa kuliah di kampus negeri lagi".

"Yap bener" jawab Abel. "Sambungin hapeku ke audio mobilnya dong kak, playlist-ku bagus-bagus nih di spotify" dan ku turuti walau aku sudah curiga isinya bakal sekumpulan lagu-lagu Korea.
(-___-)

Saat ini aku menemani Abel ke kabupaten Malang. Sudah 3 bulan sejak aku mengenalnya dan bergabung di komunitas Mata Sukma, dan kini aku dipercaya untuk menangani sebuah kasus atas sebuah permintaan dari klien Mata Sukma.

Klien ini kami panggil dengan nama tante Nunik, nah kasus yang membuatku tertarik sampe harus melakukan perjalanan ini berawal dari perasaan tidak enak yang dialami oleh tante Nunik. Pada tahun 1987 kakeknya yang pensiunan perhutani mengikuti lelang yang dimana akhirnya memenangkan sebuah rumah dinas yang dibangun pada tahun 1930an, rumah ini sempat ditempati oleh beberapa saudara kandung dari orang tua tante Nunik, hingga tiga tahun yang lalu akhirnya keluarga besarnya entah atas dasar apa memutuskan untuk mewariskan rumah ini atas nama pribadi ke tante Nunik.

Sekilas kayak kejatuhan durian ya, ternyata setelah ditinggali oleh tante Nunik bersama beberapa keponakannya (anak-anak dari sepupunya) mulailah terkuak sebuah tabir misteri yang sukar diterima akal sehat. Rumah ini serasa hidup dan memiliki penghuni "lain", ketika diceritakan di komunitas memunculkan beberapa persepsi mulai dari poltergeist (fenomena dimana makhluk gaib menggerakkan benda secara nyata) sampai kiriman sihir untuk mengusir penghuninya.

Yang membuatku tertarik untuk maju menanganinya adalah sebuah temuan yang menjadi kegemaranku, yaitu aku melihat tanda-tanda adanya sebuah enigma yang mungkin saja bisa menunjukkan serpihan-serpihan misteri untuk menolong Rania.

Sebenarnya kasus ini kami tangani bertiga, namun satu orang lagi dalam perjalanan menggunakan kereta api dari Tangerang, sedangkan Abel dan diriku menuju lokasi dengan mengendarai mobil.
Kami berhenti di stasiun kota Malang untuk menjemput Aulia, anggota ketiga yang ikut menangani kasus ini. Mengenai Aulia ini diriku masih belum banyak tahu latar belakangnya, kecuali mengenai informasi bahwa dia ini seorang guru bahasa Jepang yang baru saja lulus kuliah dan ingin terlibat langsung dalam "penanganan" masalah supranatural dengan menggunakan kemampuannya sejak kecil. (kemampuan yang kayak gimana?)

Di ruang tunggu stasiun aku sibuk membereskan pekerjaan yang menjadi rutinitas harianku dengan menggunakan hape, sementara Abel memainkan game sambil ngobrol dengan Kimi (mereka makin lama makin akrab). Rania yang tidak bisa dilihat oleh orang lain selain diriku sibuk menikmati hal-hal yang disukainya di sekitaran stasiun, dan sesekali berbicara dengan Kimi. 47 menit berselang, lalu tibalah kereta yang ditumpangi Aulia.

Abel yang sudah pernah bertemu dengan Aulia menunggu di dekat pintu keluar area peron. Tak lama kulihat Abel menyapa seorang gadil berkerudung yang fisiknya lebih gempal dan tinggi badannya sudah kurasakan melebihi tinggi badanku.

Dan hal yang kurasakan tadi menjadi nyata, Aulia memiliki tinggi 7cm melebihi diriku. (-.-)
Pokoknya saat itu juga kami langsung akrab deh. Iyalah, kami sudah sering ngobrol dan membahas segala hal di grup chat. Perjalanan kami lanjutkan dengan mobil menuju ke sbuah lokasi di kabupaten Malang (ada dua daerah administratif di daerah Malang, yaitu Kota Malang dan Kabupaten Malang).

Sebelumnya kami sudah dibekali dengan alamat dan foto dari rumah tante Nunik, dari foto itu tim ini memanfaatkan kemampuan dari Aulia yang untuk pertama kalinya bisa kusaksikan secara langsung (walau pun dari cermin sih, lha aku kan yang nyetir mobilnya). Abel duduk di sebelahku sedangkan Aulia terlihat lagi teler di belakang sambil selonjoran, sepertinya dia kecapekan dan susah tidur di kereta api.

Perjalanan dari kota Malang menuju lokasi rumah tante Nunik memakan waktu kurang dari dua jam, menariknya lagi lokasi rumah ini searah menuju ke gunung Kawi.
Walau pun sepanjang perjalanan ini aku sering mengalami kontak dengan "mereka" namun tak terlalu ku gubris, dan Kimi pun seringkali yang menanggapi "mereka" itu. Namun seiring kami semakin mendekati lokasi rumah tante Nunik, mulai sering terjadi kontak yang berhubungan langsung dengan kasus ini, terutama kontak yang ditanggapi oleh Abel.

"Kak, mereka mulai mendatangi kita" ucap Abel.

"Yang kroco gausah ditanggapi, tanggapi yang bau darah saja dan kuras informasi mengenai rumah itu" ucapanku ini langsung dilaksanakan oleh Abel.

Dengan kemampuan inter-dimensinya, Abel mampu menembus sampai ke lapisan ketiga alam gaib, yaitu irisan dimensi.

Di dalam irisan dimensi, Abel mencari informasi dan gambaran alam gaib radius 5 kilometer dari lokasi rumah tante Nunik. Sebenarnya diriku juga sudah mampu melakukan kemampuan "pintu merah" seperti Abel, tapi tidak mungkin dengan kondisi sambil menyetir mobil begini. Tetapi dengan kemampuan "pembagian kesadaran" aku bisa ikut mengetahui segala hal yang dilakukan oleh Abel didalam irisan dimensi.

Kemampuan ini sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja yang sudah mampu mengendalikan energi spiritualnya secara penuh, namun semenjak di dalam Mata Sukma si om Pus ini mengajariku secara pribadi.

Abel dihadang oleh sembilan jin di dalam irisan dimensi, para jin ini sepertinya dari golongan yang barbar alias masih liar. Kroco seperti mereka dengan mudah mampu dikalahkan oleh Abel. Tak lama setelah itu datanglah kabut dan suara mendesis seperti ular, Abel mulai merasakan tekanan energi yang sangat kuat namun tidak ramah.

"Keluar saja, mereka harus dihadapi di alam nyata. Aku merasakan hawa yang familiar dengan jin-jin penghuni Gunung Muria" dengan segera Abel menuruti perkataanku.

Sebelas menit kemudian sampailah kami di rumah tante Nunik. Sebuah rumah model kolonial berlantai satu dengan banyak "jendela Belanda", rumah ini di cat dengan warna abu-abu cerah di dinding luarnya, dari luar jendela aku bisa melihat bahwa dinding di ruangan dalamnya berwarna putih. Tante Nunik menyambut kami di teras rumah, dia segera mengajak kami masuk ke dalam rumahnya.

Sementara tante Nunik menjelaskan dan menunjukkan kamar kepada Abel dan Aulia, dari luar rumah mendadak kurasakan hawa yang tidak ramah kepada kami.

"Aku mau keluar sebentar tante, temani saja Abel dan Aulia" pamitku.

Diluar pintu Kimi sudah membelakangiku dengan sikap waspada dan kedua tangannya menggenggam pedang dari api. "Lihatlah siapa yang menyambut kita ini Vin, kaum muka sisik dari Muria" ucap Kimi.

"Sepertinya raja mereka meremehkan kita dengan hanya mengirim dua ratus ekor saja, seratus ekor untukmu Kim, seratus sisanya biar jadi korbanku" ucapku.

"Sifat haus darah itu sudah mulai merasukimu ternyata" balas Kimi kepadaku.

Kimi melawan jin-jin itu satu persatu dengan beringas, kurasa itu wajar karena penghuni Gunung Muria bukanlah sekutu dari kerajaannya. Kulihat Kimi sengaja membatasi kekuatan yang dikeluarkannya semaksimal mungkin, maklum saja Kimi adalah jin dengan kelas raja/ratu, baginya menaklukkan satu juta jin kelas bawah pun tak memakan waktu lama.

Giliranku, aku menggunakan energiku untuk membuat rantai dari api hitam yang bisa sekaligus merantai seratus jin-jin ini. Mereka meronta-ronta kesakitan begitu api hitamku membakar seluruh tubuh mereka.

Tak jauh dari lokasi pertarungan kepekaanku mendeteksi sebuah kehadiran jin yang lebih kuat.
"Kau tak ingin terlibat juga?" tanyaku di kepala.

"HEHHH! NIKMATILAH SEKARANG, KAU AKAN MERONTA-RONTA NANTI, KAU BAKAL MEMINTA AMPUN PADAKU" jawabnya.

"Vin, dia adalah kabut yang muncul di hadapan Abel tadi, wujudnya benar-benar kabut" hebat, Kimi bisa langsung mengetahuinya.

Setelah semuanya selesai, aku bergegas masuk ke dalam rumah.

"Tante, aku perlu melihat daftar penghuni-penghuni rumah ini sebelum diwariskan kepadamu" pintaku kepada tante Nunik.

"Aku bisa mencarikannya, kamu perlu apalagi yang bisa kucarikan tentang rumah ini, eh itu kamarmu yang di sebelah dapur ya Vin, gak apa-apa ya?"

"Nggak apa-apa kok" jawabku.

Abel dan Aulia masih beres-beres di dalam kamar mereka, aku beristirahat di ruang tamu selepas menaruh barang-barangku di dalam kamar. Wujud enigma atas rumah ini buatu sudah mulai terkuak dan tinggal menunggu daftar penghuni yang kuminta pada tante Nunik saja.

"Kurasa kita akan membutuhkan bantuan Abel untuk memecahkan yang satunya lagi Vin" Kimi membuka pembicaraan denganku.

"Oh, lokasinya benar dekat-dekat sini ya? nanti biar aku yang menjelaskannya pada dua cewek itu Kim" jawabku.

"Ya, dekat sekali. Kau yakin akan mengajak keduanya?" tanya Kimi dengan ragu.

"Si kucing itu sudah mempercayakan hal ini kepadaku, dia bilang si Abel dan Aulia harus pernah 'mengalaminya' secara langsung" Kimi seakan megerti dengan perkataanku ini.

Lalu datanglah Aulia merengek minta makan, kuajak dia ke dapur untuk memasak mi instan. Abel pun menyusul ke dapur, dan dimulailah ritual memasak mi.


-BERSAMBUNG-




*Pembagian Kesadaran adalah kemampuan yang dikembangkan oleh beberapa anggota Mata Sukma, kemampuan ini adalah salah satu dari pengembangan tahap ketiga pengendalian energi. Kemampuan ini mampu memecah kesadaran penggunanya menjadi dua atau lebih dan mengirim kesadaran sekundernya itu ke berbagai tempat. Kelebihan kemampuan ini adalah mampu menyadap informasi atau menjelajah ke berbagai tempat, sementara kesadaran primer dan tubuh fisik berada di tempat melakukan rutinitas sehari-hari. Kelemahannya justru tergantung dari daya tahanpenggunanya masing2, hal ini dikarenakan kapasitas energi masing2 individu berbeda satu dengan yang lain dan juga ketahanan mentalnya.

**Saya sempat kaget ketika tahu ada film berjudul Pintu Merah, saya baca sinopsisnya ternyata sama sekali tak berhubungan dengan semua yang pernah dialami rekan2 saya, bahkan memang berbeda. Pintu Merah yang saya kembangkan di komunitas Mata Sukma murni kemampuan inter-dimensi yang memerlukan ketahanan mental karena daria wal saya sudah merasakan bahwa kewarasan akan menjadi harga apabila penggunanya "ketagihan" dan tersesat.

***Memiliki misteri atau fenomena diluar logika? silahkan kontak admin di channel youtube Perdana Project, tim Mata Sukma akan mengecek kebenarannya dan berusaha membantu.

****Tutorial Pengenalan Energi bisa dilihat di channel Shani Andras.

*****Untuk mengetahui kegiatan Mata Sukma silahkan bergabung di Link ini https://discord.gg/3dEFRc kami tidak melulu membicarakan hal2 aneh kok, kadang kala ada sesi voice grup untuk mengupas masalah, fenomena dan pelatihan spiritual.