Sunday 20 October 2019

Mayat Pak Soleh Gentayangan?!!!!

"Ji, Ji nisannya bawa kemari" teriak mbah Di padaku.
Aku dan warga desa Dinoyojati baru saja membantu pemakaman pak Soleh, salah seorang warga yang cukup dikenal sekelurahan karena kekayaan dan usahanya. Hampir isya' dan prosesi pemakamannya baru saja kelar.

Ada saja tadi kabar-kabar yang kudengar sepanjang perjalanan mengantarkan almarhum ke pemakaman umum. Misalnya saja kabar burung yang mengatakan kalau pak Soleh dulunya miskin terus jadi kaya raya setelah sering bertapa di suatu tempat, ada juga yang mengatakan kalau dulu pak Soleh harus sering menikah supaya nggak jatuh miskin. Aku nggak terlalu memikirkan kabar-kabar berikutnya karena diriku sendiri gak terlalu kenal, keluargaku pun juga begitu.

Dalam perjalanan pulang dari makam aku menyadari kalau diriku harus berpisah arah dengan sebagian tetangga dan orang-orang yang ikut memakamkan pak Soleh, karena mereka tidak langsung pulang ke rumah namun menuju ke rumah duka untuk tahlilan, sedangkan aku memilih untuk pulang saja walau harus berjalan sendiri menuju rumahku yang lumayan jauh dari makam.

Sepanjang perjalanan pulang di jalanan sering kutemui rumpun bambu, kebun pisang dan pohon jati milik warga, yang bikin ciut nyaliku adalah suara daun-daun bambu yang bergesekan karena diterpa angin dan suara batang bambu yang sayup-sayup bersuara "kreeeet kreeeet". Walau pun mencoba untuk tetap tenang dan berdoa namun ada saja nyali ciut yang muncul di diriku, terutama ketika melintasi kebun-kebun pisang, sebuah tempat yang dulu sempat bikin masa kecilku diliputi rasa takut ketika melintasi. Lampu penerangan jalan yang cuma dipasangi bohlam kuning menambah suasana malam ini menjadi semakin seram kurasa.

Tibalah aku di sebuah pertigaan yang dimana banyak ditanami pohon pisang di sekitarnya, kupercepat langkahku saking merasa ngerinya.

"Bluk......bluk...." sebuah suara terdengar samar dari arah kiriku, sengaja tidak kutolehkan kepalaku kearahnya.

Aku lanjutkan berjalan dengan langkah cepat karena kupikir masih belum perlu diriku berlari karena godaan tadi. Agak  lama kemudian kucium bau wangi bunga.

"Aku yakin tidak ada tanaman Melati disini" gumamku dalam hati.

"Ini bau bunga Kemuning mas Aji, bukan Melati" sebuah suara wanita terdengar jelas dengan nada berat di telingaku, sontak aku berlari.

Aku berlari sampai akhirnya kelelahan di depan barongan (rumpun bambu). Aku sudah yakin kalau dari lokasi ini jarak ke rumahku sudah dekat, akhirnya kulanjutkan dengan berjalan. Suara tadi sungguh sangat mengagetkanku setengah mati, beruntung juga diriku tidak melihat rupa dari yang punya suara tadi.

Tak lama berjalan kudengar suara seakan sedang meringis kesakitan, diriku spontan berpikir kalau ini juga godaan makhluk halus, tapi...badan dan kakiku seolah disetir kerah suara itu. Aku semakin mendekati sebuah rumpun bambu dan suaranya semakin jelas terdengar, suara dengan nada meringis kesakitan namun tidak jelas apa yang diucapkannya. Sekuat tenaga kucoba untuk menutup mata namun tida berhasil seakan-akan diriku sedang dihipnotis.

Dibalik rumpun bambu yang kudekati samar terlihat sesuatu sedang menggeliat di tanah dengan suara meringis kesakitan. Tiba-tiba tubuhku seperti didorong dari belakang dan aku jatuh tepat dihadapannya.

"Po..poc....pocoooong" teriakku namun mulutku tidak terbuka.

Namun ada yang kejanggalan dan segera kutemukan dari pocong ini, dari wajahnya.....ini adalah wajah pak Soleh yang tadi dimakamkan selepas maghrib. Akhirnya aku sanggup mengendalikan badanku lagi dan segera berdiri untuk menjauh darinya. begitu diriku sanggup berdiri, pocong pak Soleh ikut juga berdiri, terlihat wajah sampai kakinya penuh luka cabik yang sampai merobek kain kafannya. Baunya busuk walau pun baru saja dimakamkan. Lalu kusadari diriku sekali lagi tak sanggup bergerak, sedangkan pocong itu bergerak mendekatiku.

"Hhhhhhh...eei...hhhhheiikh....hhheeeiij.....tttohlong..iii..akkkh..uuu" ucap pocong itu nggak jelas.

Dia semakin mendekatiku dengan ucapan yang sama, dan bau busuk tubuh poconga ini membuatku pingin muntah. Akhirnya dia berada pas di depanku, lalu tiba-tiba pocong pak Soleh mendorongku hingga aku terjatuh, dan dia ikut jatuh menimpa pas diatas tubuhku...................
'
'
'
'
'
"Ji, Ajiii, Ajiiii" samar terdengar suara memanggil namaku, "dek Aji, Jiiii, ayo bangun".

Beberapa warga yang tadi ikut tahlilan di rumah pak Soleh mengerumuniku yang pingsan di sebelah rumpun bambu yang rimbun. Mereka bertanya kenapa aku bisa pingsan disini, dan kujelaskan dari awal sampai yang terakhir bisa kuingat. Setelah mendengarkan ceritaku tidak sedikit dari mereka yang ikut mengutarakan rasa takut, sisanya dengan muka serius mengajak supaya dilupakan dulu. Aku diantarkan sampai ke rumahku, tanpa menceritakan sedikit pun mengenai kejadian tadi di jalan mereka lalu pamit pulang.

Aku langsung mandi untuk membersihkan diri dan bersuci, sambil masih mengingat kejadian tadi. Walau bikin merinding tapi masih menyisakan banyak tanya di kepalaku. Setelah bebersih diri kuputuskan untuk makan malam lalu tidur saja.

Besok paginya emak membangunkanku, lalu menyodorkan sesuatu sambil bertanya kepadaku.
"Ini bungkusan apa Ji, tadi emak nemu di kantong celanamu pas emak nyuci pakaian" tanya emakku, belum sempat kujawab emak lalu menambahi, "semalam beneran ya kamu semaput di alas bambu, tadi pagi Kardiman cerita lho pas emak belanja", sambil heran kujawab juga semua pertanyaan emak, "bener mak, semalam aku pingsan terus ditolong sama orang-orang yang pulang dari tahlil. Itu buntelan merah apaan mak? dari semalam aku gak nyimpen apa-apa di kantong celanaku".

Buntelan yang dimaksud emak berbentuk katong merah dengan hiasan dari cat emas, entah apa isinya itu diriku tidak tahu-menahu. Setelah kujelaskan semuanya emak keluar dari kamarku sambil meninggalkan benda yang ditemukannya di kasurku. Kuambil buntelan merah itu dan kubuka, isinya ternyata daun kering dan sebuah biji kering entah dari tanaman apa. Tak lama setelah kubuka benda itu semerbak wangi bunga Kemuning seakan memenuhi kamarku, benar mengejutkan dan membuatku merinding lagi.

Sorenya kuceritakan pada bapak dan pamanku sepulangnya mereka dari bekerja, keduanya sama-sama tidak bisa menjelasakan mengenai buntelan merah itu. Lalu mengenai kejadian yang kualami semalam aku dinasehati macam-macam mengenai menjaga diri dan pikiran.

Sudah tiga minggu setelah kematian pak Soleh, lama-lama mulai terdengar berbagai cerita dari warga desa mengenai gangguan oleh makhluk halus, paling banyak adalah cerita mengenai beberapa warga yang bertamu mayat pak Soleh di berbagai lokasi di desa ini.

Hingga suatu hari rumahku kedatangan tamu, tamu ini adalah menantu dari pak Soleh, suami dari putri pertamanya pak Soleh. Namanya mas Handoko, kedatangan dia bertamu adalah untuk menemuiku. Mas Handoko dengan lugas menceritakan keperluannya denganku, dia menjelaskan bahwa dari hari pertama mertuannya meninggal, diriku inilah yang pertama kali 'diganggu' oleh mayat gentayangan pak Soleh.

Mas Handoko ini orang cerdas, dia juga sekretaris desa di desa lain. Selanjutnya mas Handoko menceritakan kalau mertuanya dulu sering pergi bertapa ke Gunung Kawi untuk memohon kekayaan dunia, nah dari cerita ini mas Handoko langsung bertanya kepadaku, "dek Aji apakah selepas kejadian malam itu dititipi sebuah buntelan dari kain merah?" dan langsung kujawab "iya mas Han". Tanpa Basa basi mas Handoko menjelaskan bahwa buntelan merah itu harus dikembalikan ke asalnya, dia juga menceritakan tentang isi buntelan merah itu.

Beberapa saat sebelum pamit pulang, mas Handoko menceritakan bahwa yang dapat 'teror' bukan hanya warga desa, semua keluarga pak Soleh juga mengalami. Namun karena dia ini lebih rasional maka dia lah yang bergerak untuk menyelidikinya. Akhirnya kuserahkan buntelan merah itu pada mas Handoko, dan aku dia berpesan untuk memaafkan segala kesalahan almarhum pak Soleh, setelah itu dia pamit pulang.

Dua hari kemudian ada kabar mengenai dua anak (anak ketiga dan kelima) pak Soleh yang mengalami kecelakaan sepulangnya dari Gunung Kawi. Warga yang mengetahui dari awal juga menceritakan bahwa kedua anak pak Soleh ini tidak akan dimakamkan di desa ini.

Akhirnya aku keceplosan juga untuk mulai berpikir lagi atas hubungan peristiwa yang dulu kualami dengan peristiwa  yang barusan ini merenggut nya dua anak almarhum pak Soleh. Hampir seharian aku memikirkannya dan ikut-ikutan menghubungkan antar peristiwa itu. Malam harinya aku terbangun karena perutku mules, sebenarnya aku males juga untuk buang hajat karena letak WC terpisah dari rumah, dan lagi dari tadi aku memikirkan yang tidak-tedak terhadap berbagai peristiwa nggak logis belakangan ini di desaku.

Kuputuskan juga untuk buang hajat karen sudah gak kuat menahan beban. di dalam kakus yang tidak beratap, aku hanya ditemani bintang dan angin malam, bulan tidak kelihatan malam ini. Tiba-tiba semerbak wangi bunga Kemuning tercium sangat pekat di hidungku, lalu kudengar suara "bluk....bluk...blukk..." seakan ada yang dsedang loncat-loncat di tanah, tak lama hembusan angin malam semakin kencang. Aku mendongak keatas dan benar saja, kulihat sebuah buntelan merah melayang-layang berputar seakan dia mengelilingiku.

"Kamu nggak kepingin kaya nak Aji?" sebuah suara laki-laki bernada berat mengagetkanku.

Ingin segera beranjak dari kakus ini tapi aku sangat ketakutan dan tak sanggup berdiri. Lalu dari dinding bambu sebelah kanan tercium bau busuk seperti yang kutemui dulu, dan suara jari mencakar-cakar bilik bambunya.

""GEDEBUUUK!!!" sebuah benda jatuh pas didepanku yang masih berada di dalam kakus, benda yang barusan jatuh ini tak lain adalah....kepala pak Soleh menyeringai dengan wajahnya yang busuk dan berbau.....................................




-TAMAT-

No comments:

Post a Comment