Thursday 29 September 2016

Serial Detektif Indigo (SDI): Kenangan Kirana (bagian 1)

Twin Soul?


Terang temaram senja memanjakan mataku sore ini, cahaya jingga diujung langit barat seakan melambai mengucapkan pamit pada hari ini. Sementara telingaku dimanjakan oleh musik-musik tahun 80an, pikiranku mulai membentuk suatu imajinasi yang entah ini hasil ilusi ataukah nyata dari alam lain. Angin laut Selat Bali halus menjamah kulitku dengan sepoi yang tak ada hentinya. Sejenak dari dek kapal  ferry kurasakan 'panggilan' dari dalam kepalaku, lalu aku turun menuju mobil yang terparkir di lambung kapal untuk menemui Kirana.

"Sudah hampir sampai Ketapang Vin?" tanya Arina padaku.

"Oh sedikit lagi, kira-kira sepuluh menit lagi, aku ingin bicara dengan Kirana kalau boleh nih" jawabku.

"Ouw, sana deh kau ajak dia ngoceh siapa tahu dia mau membuka mulutnya" jawab Arina sinis.

Jelas sekali yang kumaksud dengan 'berbicara' dengan Kirana bukanlah sebuah ajakan bersilat lidah, tapi lebih tepatnya adalah berkomunikasi dari 'hati ke hati' (bahasa populernya Telepati). 


Tiga Hari Yang Lalu 


Mimpi apa aku ini, tiba-tiba hari ini Arina dengan tergesa-gesa meneleponku dan mengajakku ke pulau Bali. Kami berangkat dengan bus malam menuju kota Singaraja di bagian barat pulau Bali, asiknya lagi semua akomodasi dibayar oleh Arina dan yang paling menyenangkan adalah.....kami hanya berdua. Bus kami berangkat pukul 17.30 dari terminal antar kota, perjalanan dengan bus malam ini memakan perjalanan kurang lebih 12 jam dan melintasi sepanjang jalur pantura Jawa Timur.

Sialnya....sepanjang perjalanan Arina lebih banyak mendengarkan musik dengan memasang head-set di telinganya dan tangannya hampir tak pernah lepas dari laptop yang dibawanya, terlebih lagi...kami duduk terpisah. Mungkin sebuah kebetulan kalau diriku duduk sendirian di bangku ini, entah kursi di sebelahku ini tidak laku atau penumpangnya terlambat, yang pasti kursi kosong ini sedikit memberi kakiku ruang untuk berselonjor.

Satu hal yang paling kunanti dari perjalanan ini adalah pada saat bus ini melewati Taman Nasional Baluran, sungguh menarik bagiku karena Kimi dan beberapa jin yang pernah aku temui pernah menyebut ada sebuah 'pemukiman' para jin hutan terbesar di pulau ini. Aku hitung sih masih 6 jam lagi bus ini melintasi area itu, jadi kuisi saja waktuku dengan bersantai melihat suguhan video di bus ini. Belum ada setengah jam kumelihat film yang membosankan di perjalanan ini mataku sudah terasa berat, ini sungguh tidak biasa bagiku untuk mengantuk di jam-jam sore begini tapi mataku sudah benar-benar tak mampu ditahan.

Kuperhatikan Kimi dan Kazza sedang berbicara pada seorang gadis remaja, hmmm lebih tepatnya sepertinya sedang memarahinya, dan tempat apa pula ini sekeliling hanya terlihat kabut tanpa pemandangan apa pun, apakah diriku sedang bermimpi. Kudekati ketiga 'gadis' itu sembari berpikir tentang keberadaanku sekarang ini.

"Kimi, sedang apa kalian di tempat ini, siapa gadis yang kau marahi itu" tanyaku.

"Ini adalah bawah sadarmu, aku menemukan gadis ini sedang berusaha menghilangkan kesadaranmu tadi" 

"Dia bukan dari bangsaku, sepertinya dia jiwa manusia yang terombang-ambing" jawaban Kimi ikut membuatku bingung.

"Sepertinya dia memang berhasil membuatku tak sadarkan diri, dan sedang apa juga bocah labil ini disini" tanyaku sambil melirik Kazza.

"Jaga mulutmu budak naga tukang mengadu, aku sedang mengawal kakakku" sepertinya Kazza masih belum terima kelakuanya dulu kuadukan pada Kimi.

"Sudahlah kalian jangan ribut, sebaiknya kita urus dulu gadis manusia ini" Kimi melerai adu mulutku dengan Kazza.

Gadis manusia atau jiwa manusia darimana yang sekarang ini berada di bawah sadarku, penampilannya layaknya gadis biasa dengan mengenakan baju tidur berwarna biru muda. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut pada kami, kulitnya juga tidak terlihat pucat.

"Kalian akan menerima akibatnya jika masih nekat menemui Kirana, terutama kau" ancamnya sembari menunjuk diriku.

"Tenanglah dulu dan perkenalkan dirimu, kami sama sekali tidak tahu maksudmu, Kimi juga bukan orang jahat, jika dia bertindak kau keadaanmu tidak akan seperti sekarang ini"

"Percayalah padaku" kutenangkan dia dan kusentuh dahinya dengan telunjukku.

"Kau...kau ini bukan jin, apakah dirimu memiliki kemampuan yng sama seperti yang kumiliki. Ah lupakan, ayo jelaskan padaku apa maksudmu atau masalah apa yang sedang terjadi dan tak kuketahui?" imbuhku.

"Namaku Rania, dan aku bukan jin"

"Aku terlahir di waktu yang sama dengan kelahiran Kirana di dunia ini, tapi diriku tidak bisa merasakan dunia yang sama dengannya, kami bisa berbicara satu sama lain saja" jawab Rania.

"Tunggu dulu, Kirana? siapakah Kirana ini, aku sama sekali tak mengenalnya" potongku.

"Kirana itu saudara kembarku, kau akan segera menemuinya kan, pastilah dirimu yang akan berbuat jahat padanya" dia menjelaskan dengan amarah.

"Hmm saat ini aku memang akan pergi ke suatu tempat, tapi sumpah aku sama sekali tak tahu untuk tujuan apa dan melakukan apa nanti disana, menurutku sih hanya sekedar liburan saja" jawabku.

Kurasakan sebuah tangan menggoyangkan bahuku, ternyata Arina membangunkanku untuk mengajak makan malam. Bus yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah makan Probolinggo untuk layanan makan malam. Diriku ikut turun dari bus dan masih kurasakan rasa kantuk yang benar-benar membuat malas untuk membuka mata, sambil kupikirkan apa yang baru saja terjadi selama aku tertidur tadi.


-bersambung-



















 














Thursday 15 September 2016

Serial Detektif Indigo (SDI): Korban Terakhir (bagian 7)

Skak Mat


Sepanjang perjalanan Ki Segoro menceritakan semua yang diketahuinya tentang para pelaku, pelaku pria yang sudah tewas bernama Anwar dan pelaku wanita bernama Yani. Tersangka Yani ini adalah murid Ki Segoro atas pengaruh ayahnya dulu yang juga muridnya, Yani menikah dengan Anwar dan dikaruniai seorang putra. Singkat cerita mereka berpisah setelah ayah Yani semakin tidak menyukai Anwar yang tidak berpenghasilan, mereka bertemu kembali setelah kematian putra mereka lima bulan silam.

Anwar adalah yang paling terpukul akibat kematian putranya itu, kematian itu membuatnya sangat uring-urngan hingga membuatnya memaksa Yani yang mantan istrinya meminta bantuan Ki Segoro guru spiritualnya. Dengan arahan dari Ki Segoro mereka melakukan perbuatan jahat, yaitu menculik dan memotong anggota badan tertentu dari korbannya untuk disambungkan dengan mayat anaknya. Di akhir pengakuannya Ki Segoro hanya memberitahukan kediaman ayah tersangka Yani, dan dari situlah perburuan berikutnya akan dimulai.

Akhirnya kami tak langsung membawa Ki Segoro ke markas polda, sudah diputuskan untuk langsung menuju ke alamat ayah tersangka Yani. Kami benar-benar berlomba dengan waktu, kondisi korban terakhir juga menjadi prioritas dalam pengejaran ini.

"Saya ada pertanyaan pak, apabila kita tak bisa menemukan tersangka ini dari keterangan ayahnya apa akan kita ambil cara 'lain' seperti waktu saya melacak keberadaaan Ki Segoro?" tanyaku pada pak Rama.

"Pasti akan kita pakai cara 'itu' tentunya juga apabila kamu sendiri tak keberatan membantu kami sekali lagi vin" jawabnya.

"Saya merasakan ada keraguan dari pertanyaanmu tadi, apa ada hal lain yang kamu ingin sampaikan" imbuhnya.

"Emm, bapak mengetahuinya juga ternyata, tersangka Yani ini saya rasakan dia sedang ketakutan, sangat ketakutan seperti sedang menghadapi sesuatu yang mengancamnya"

"Dia berada di sebuah rumah yang terisolasi dari keramaian, lokasinya di pinggiran kota dan dekat sekali dengan laut..." kuceritakan penerawanganku tentang lokasi tersangka Yani pada pak Rama.

Lalu tiba-tiba pandanganku mengarah kepada Ki Segoro.

"Makhluk apa yang kau kirimkan pada Yani dan Anwar, aku tahu kau turut ambil bagian dari pembunuhan bocah-bocah itu" tanyaku dengan nada serius.

"Kau jawab dia Segoro" bentak pak Rama.

"A-aku tak tahu apa yang kau maksud anak muda, aku sama sekali tak ambil bagian dalam ritual itu" jawab Ki Segoro sambil berkeringat.

"Ijinkan saya melakukannya pak" ucapku sambil memandang ke arah pak Rama, dia menjawabnya dengan mengangguk.

Kusentuh kepala Ki Segoro dengan kedua tanganku dan....

Kumasuki bawah sadar Ki Segoro, ternyata diriku tidak sendiri.

"Kalian kenapa ikut-ikutan kemari, terutama kau Kazza"

"Aku dan Samman melihat-lihat saja kok, lagipula kami sudah daritadi berada di dalam 'sini' menunggumu hihihi" jawab Kazza enteng.

"Sudahlah, ikutilah aku anak muda ada yang ingin kuperlihatkan kepadamu" imbuh Samman.

 Kuperhatikan Samman sekarang tidak berwujud harimau lagi, dia mulai membiasakan diri memperlihatkan wujud aslinya kepadaku, seorang laki-laki gagah berselimutkan api hijau di seluruh tubuhnya. Tanpa pikir panjang langsung kuikuti saja dia, sepertinya Samman sudah tahu apa yang kucari di dalam bawah sadar Ki Segoro. Alam bawah sadar Ki Segoro dipenuhi kabut gelap dan Samman tanpa ragu berjalan di depanku membuka jalan,hingga akhirnya samar dan mulai terlihat seorang laki-laki tua, manusia, sedang meringkuk kesakitan.

Apa ini? Laki-laki ini adalah Ki Segoro, dia meringkuk tak berdaya dengan dua buah rantai mengikat di kedua kakinya. Kudekati dan kucoba menyapanya namun dia seperti tak mengetahui keberadaanku di dekatnya, lalu perhatianku beralih mengarah pada rantai yang mengekangnya, rantai hitam yang sangat solid. Kuperhatikan dari dekat ternyata di tiap bagian dari rantai ini tertulis sebuah mantra dengan tulisan yang sama sekali tak kumengerti.

"Itu tulisan jin, dan itu adalah mantra pengekang jiwa" Samman tiba-tiba berkomentar.

"Apa isi dari mantra ini" tanyaku.

"Sebuah perjanjian pertukaran jiwa manusia dengan ilmu-ilmu yang dia kehendaki dari jin penyihir, tiap ilmu harus dibayar dengan jiwa yang berbeda" jelas Samman.

Penjelasan Samman tadi membuatku menemukan hal lain, 'jiwa yang berbeda' itu diantaranya pastilah bocah-bocah yang diculik oleh Anwar. Perasaanku mengatakan bahwa Ki Segoro tidak hanya membuat perjanjian terkutuk dengan Zeneb, ada satu jin lagi yang membuat kontrak jiwa dengan Ki Segoro

"Kita bisa telusuri dari rantai itu, tapi resikonya terlalu besar bahkan bagi jin sekali pun" Kazza akhirnya ikut berbicara.

"Apa sih resikonya" tanyaku.

"Jiwa kita akan terhubung dengan jiwa penulis mantra dan kontrak itu, dan tidak menutup kemungkinan kita pun akan ter-ikat juga dengan rantai itu" Kazza menjelaskan dengan cemas.

"Kumohon kali ini jangan berbuat nekat, kakakku bisa marah besar kepadaku kalau terjadi apa-apa denganmu" Kazza semakin cemas.

"Terjadi apa-apa denganku! menendangku dan mengambil alih tubuhku termasuk juga nggak sih?" jawabku menyindir Kazza

"Pokoknya jangan jangan jangan!" Kazza memegang tanganku dengan erat.

"Iya iya kali ini aku tidak nekat kok, terus apa hubungannya yang kita temukan disini dengan 'ketakutan' yang saat ini sedang dialami oleh Yani?" tanyaku sembari berpikir.

"Mungkin hari ini adalah waktunya" komentar Samman ragu.

"Waktunya? apakah jiwa Yani akan diambil juga hari ini oleh si pengontrak Ki Segoro" tanyaku.

"Bocah terakhir itu mungkin akan dibunuh, maksudku dipotong bagian tubuhnya hari ini oleh manusia perempuan itu" Kazza menjawab dengan dingin.

"Apa, kita harus secepatnya menuju kesana" tegasku.

Dan kami bertiga memandangi jiwa Ki Segoro yang terikat tak berdaya, lalu perlahan aku pun kembali pada kesadaranku.

Kulepaskan kedua tanganku dari kepala Ki Segoro, kubuka mataku dan kulihat dia sekarang menjadi sangat ketakutan melihatku.

"Kau ini...apa yang telah kau lakukan hah, kau akan membuatnya marah besar" laki-laki tua itu berbicara dengan nada cemas dan ketakutan sambil memandangku.

"Dia tidak seperti yang satunya, kau bodoh...bodoooh" teriaknya, dan anak buah pak Rama pun berusaha menenangkannya.

"Informasi apa yang kau dapatkan Vin?" tanya pak Rama.

"Sebuah deadline pak, kita menghadapi resiko bahwa korban terakhir akan 'dikorbankan' hari ini" jawabku yang membuat pak Rama terkejut.

"Astaga, dan kita masih belum menemukan persembunyan Yani" lanjutnya dengan cemas.

Diriku juga berpacu diiringi kecemasan, dan tanpa terasa mobil yang membawa kami mulai mendekati persembunyian Yani, tapi lokasinya masih belum bisa dipastikan.

"Kita sudah semakin dekat, saya menawarkan diri untuk ikut menyergapnya pak" sebuah permintaan kutawarkan kepada pak Rama.

"Oke, kamu jangan terlalu jauh dariku ya" jawabnya.

Akhirnya mobil berhenti di sebuah lokasi yang kuperkirakan sudah dekat dengan tersangka terakhir. Suasananya hampir penuh dengan tumbuhan bakau dan terlihat beberapa sisa bangunan rumah yang sudah hancur dan tak dihuni, kali ini dua tim turun untuk memburu tersangka. Hampir setengah jam kami mengitari wilayah ini tapi tak dapat menemukan sebuah bangunan yang diperkirakan dihuni oleh tersangka, dan hal ini seringkali membuatku berkali-kali ditanya oleh anggota tim lain dan juga pak Rama.

Dan selama itu pula diriku baru sadar bahwa hawa Kazza dan Samman sama sekali tidak kurasakan, mereka tidak berada di dekatku seperti tiba-tiba saja menghilang. Kututup mataku untuk berkonsentrasi sejenak, kupergunakan hatiku untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi disini. Akhirnya kurasakan ada tenaga gaib yang membuat 'mata' kasat kami menjadi tertutup.

"Kita telah dipengaruhi oleh kekuatan gaib sehingga pandangan kita tak mampu menembus pagar gaib yang mengelilingi rumah tersangka" ucapku pada semuanya.

"Isilah mulut kalian dengan air dan semburkan ke wajah rekan kalian, percayalah" sebuah solusi tak masuk akal tiba-tiba saja kuucapkan.

Antara ragu dan tidak mereka semua akhirnya melakukannya, hasilnya sungguh membuatku terkejut, mereka akhirnya bisa 'tersadar' dan tak lama persembunyian tersangka pun kami temukan.

Pintu didobrak seluruh ruangan di geledah, Yani ditemukan di kamar paling belakang dia sudah memegang pisau jagal di tangannya dan bersiap akan memotong korban terakhir. Dua orang langsung menyergapnya, tapi tenaga Yani sungguh diluar dugaan sangat kuat sekali, seakan tenaga empat orang lelaki dewasa, dua orang lagi membantu mengamankan wapi harus bergulat dulu dengan Yani yang tenaganya menjadi semakin luar biasa.

Yani hanya berteriak-teriak seperti sedang kesurupan dan terus melawan, tim penyergap juga tidak diberi ijin untuk melumpuhkannya dengan tembakan sehingga pergulatan menjadi seru. Keadaan ini membuatku jadi ikut menjadi tidak sabar, di sebuah kesempatan ketika mereka berhasil mengunci gerakan Yani aku bergerak maju dan kupukul tengkuk Yani, dia langsung pingsan dan akhirnya berhasil diborgol. Yani segera dibawa ke dalam mobil, dan sisanya termasuk diriku menyusuri rumah ini untuk mengumpulkan barang bukti.

Korban diamankan dan diserahkan kepada tim kesehatan yang sudah dipanggil. Di sebuah ruangan yang terletak di dekat dapur kami menemukan sebuah freezer seukuran peti mati, noda-noda yang diperkirakan adalah cipratan darah banyak menempel di permukaannya, akhirnya tim forensik yang sudah datang membuka  freezer tersebut. Isinya adalah sebuah mayat bocah laki-laki dengan banyak jahitan di tubuhnya, sungguh menjijikan, mayat ini adalah anak laki-laki kedua tersangka Anwar dan Yani yang diawetkan dengan cara menyimpannya di dalam lemari pendingin.

Sementara itu diriku kembali teringat akan Kazza dan juga Samman, hal itu membuatku tanpa sadar  melangkah keluar dari rumah 'horror'  itu dan menuju ke sebuah sumur tua di halaman belakang rumah itu. Pak Rama yang melihatku sempat bertanya apa yang sedang kulakukan, namun bisa kujawab dengan alasan logis sehingga dia akhirnya membiarkanku. Semakin mendekat pada sumur itu samar makin kurasakan hawa Kazza dan Samman, dan juga hawa yang mirip dengan Zeneb tapi bukan dia. Lalu diriku berdiri di dekat sumur itu dan kututup mataku.

"Jadi kaulah yang 'satunya' lagi" tanyaku pada sebuah sosok yang belum kuketahui.

"Kau hebat sekali mampu memghabisi Zeneb, jujur aku takut menghadapi manusia sepertimu bagaimana jika kita membuat perjanjian, aku bisa membuatku kaya dan berkuasa" 

Sebuah makhluk menyerupai kijang namun bertaring dan mengeluarkan api dari mulutnya tiba-tiba muncul di hadapanku.

"Tak perlu, aku tak butuh semua yang kau tawarkan, diriku kesini hanya untuk menghajarmu" jawabku.

Tanpa aba-aba kijang besar itu berlari menyeruduk kearahku, serangannya mampu kuhindari.

"Kau benar-benar hebat manusia, jauh lebih hebat daripada si Segoro itu" ucapnya kepadaku.

"HEEIIIII lepaskan kami dulu, kami disini, ini aku Kazza dan Samman juga ada disini" sebuah teriakan yang berasal dari dalam sumur.

Kasihan juga aku pada Kazza dan Samman, tanpa kupedulikan diriku langsung menuju ke dalam sumur itu dan melepaskan mereka berdua, si kijang tadi ikut mengejarku sambil menyeburkan api dari mulutnya. Setelah berhasil lepas kami pun keluar dari dalam sumur itu.

"Binatang buas busuk beraninya menggunakan misik untuk melumpuhkan aku, sekarang kuhajar kau, akan kupanggang kau hidup-hidup" Kazza berteriak marah, diriku dan Samman hanya mampu melihat tanpa mencegah si 'putri kecil' kecil itu menghajar si kijang.

Kazza berubah menjadi burung api berukuran raksasa dan menghajar jin berwujud kijang itu tanpa ampun, sedangkan kijang itu hanya melawan dengan semampunya tapi tak mampu mengimbangi serangan yang dilancarkan oleh Kazza. Samman hanya diam saja di sebelahku, dan diriku jadi bengong melihat Kazza yang kekanakan itu tanpa ampun menghajar si kijang, Kazza terus menyerang walaupun kijang itu sudah tak mampu berdiri lagi dan akhirnya sesuai apa yang dia ucapkan Kazza benar-benar memanggang kijang itu sampai tewas.

"Kalau kau sudah selesai ayo cepatlah sedikit, aku sudah capek nih, pingin pulang istirahat" teriakku pada Kazza yang masih keasyikan.

"Rasakan kau, mampus, makanya jangan macam-macam dengan Kazza hahahaha" ucapnya sombong. (-_-)

Akhirnya diriku kembali pada kesadaran dan balik menuju ke mobil menemui pak rama, kujelaskan semua dan ahirnya setelah itu ada anggota polisi yang ditugasi mengantarku pulang ke rumah.

Sampai di rumah juga akhirnya, bisa istirahat seharian deh, tapi! Bapak menyambutku dengan marah karena 'kelayapan' dan mbak Astrid yang membelaku tak digubris oleh bapak. Samman berpamitan untuk kembali 'berkeliling' sedangkan Kazza langsung bersantai saja, kasihan telingaku harus mendegar omelan bapak, dan tubuhku yang sudah lelah ini ingin segera merebah di kasur, aduuuh malangnya diriku.


-THE END-

Thursday 8 September 2016

Persalinan Berdarah


Baru dua minggu diriku menjadi petugas keamanan di sebuah rumah sakit bersalin, pekerjaan ini lumayan karena dulu sewaktu diriku masih menganggur aku sering sekali begadang dan ronda di kampung. Menjadi satpam di rumah sakit katanya sih banyak sekali godaannya apalagi buat yang kebetulan dapat shift malam, tapi sampai sekarang belum kutemui kejadian yang diluar akal. Malam ini diriku jaga berdua di pintu depan dengan pak Imam, sedangkan di pintu belakang ada tiga orang.

Rumah sakit tempatku bekerja ini kalau malam lumayan sepi walaupun ada sebagian perawat dan dokter yang kebagian tugas malam sepertiku. Ada kalanya terdengar tangis bayi dari ruang inkubator atau ruang persalinan, seperti menjadi hiburan rutin untuk telingaku disamping radio yang menyala di pos jaga.

Pukul 01.43 tiba-tiba sebuah mobil pickup berhenti di halaman RS (rumah sakit), ada dua orang satu laki-laki dan satu perempuan berada di bak belakang menjaga seorang perempuan yang terlihat kesakitan sambil memegangi perutnya yang besar. Pak Imam dengan sigap memanggil perawat sedangkan diriku segera mengambil brankar  membawa perempuan yang sudah kesakitan tersebut. Dibantu sopir dan suaminya aku memindahkan perempuan itu dari bak mobil ke brankar, dua orang perawat yang datang langsung membawanya ke ruang persalinan.

Pagi ini ketika shiftku berakhir mbak Ratna salah seorang perawat  yang semalam ikut membantu persalinan mendatangiku, dia mau menumpang pulang di motorku. Belum setengah perjalanan dia mulai bercerita padaku tentang persalinan yang ditanganinya semalam, dia menceritakan bahwa perempuan yang semalam melahirkan tak tertolong nyawanya sedangkan bayinya selamat tapi lahirnya prematur di usia 7 bulan. Yang aneh, katanya, perempuan itu sebelumnya tiba-tiba mengeluarkan banyak sekali darah dari rahimnya, jadi dia dinyatakan meninggal karena kehabisan darah, sungguh ironis.

Mendengar cerita mbak Ratna aku jadi ikut sedih dan ikut mendoakan. Akhirnya sampai juga di rumah mbak Ratna, suaminya terlihat sedang mengurusi motornya yang kelihatannya mogok, kusapa suaminya lalu aku pamit pulang, rumahku searah tapi masih tiga kilometer lagi jauhnya. Sampai di rumah aku berganti pakaian lalu sarapan, sesudah itu aku mandi dan langsung ke kamar untuk tidur, maklum nanti malam diriku kerja begadang lagi.

Jam 22.00 kumulai 'tugas malamku' untuk hari ini, suasana RS sudah sepi malam ini. Hari ini aku kebagian tugas patroli keliling dan ngepos di ruang administrasi RS bareng mbak Ratna dan mbak Asti yang juga stand by disana. Sekitar jam 00.14 HT-ku (radio panggil) berbunyi, pak Imam menyuruhku untuk memeriksa ruang bersalin karena tadi sedikit terdengar ada suara benda jatuh, tanpa ragu kulangkahkan kakiku menuju kesana untuk sekedar memeriksa.

Di luar ruang bersalin tak kudapati satu orang pun, lalu dengan senter kuperiksa ruangannya, juga tidak ada siapa-siapa bahkan sebuah baenda jatuh pun tak kutemukan. Kulaporkan kepada pak Imam lalu diriku kembali ke ruang administrasi untuk berjaga disana. Sekembalinya di 'pos' kudapati mbak Ratna dan mbak Asti sudah ketiduran di kursi dengan kepala mereka tergeletak di meja, aku mengambil kursi untuku dan berusaha tidak mengganggu keduanya yang sudah pulas. 

Tumbenan untuk malam ini kurasakan mataku menjadi berat oleh rasa kantuk, kuambil sgelas kopi di meja dan kutenggak langsung secangkir sebagai penawar kantuk. Tak lama interkom di meja berbunyi, langsung saja kuangkat karena diriku yang masih terjaga.

"Halo, dengan Hendra disini?" jawabku

"Pak satpam, tolong ada yang terkunci di toilet sebelah dapur" klik, langsung saja panggilan itu ditutup.

Diriku tidak mengetahui suara siapa itu tadi tapi tetap saja kuturuti niat dari panggilan itu. Aku bergegas menuju ke arah dapur RS untuk memeriksanya sambil berpikir siapa gerangan yang terkunci malam-malam begini. Sempat terpikir olehku apakah mungkin seorang pasien kesasar mencari toilet sampe area belakang RS, tapi kutepis karena diriku sudah hampir tiba di lokasi. 

"DOK DOK DOKK!!!" terdengar suara pintu digedor-gedor.

Setengah berlari kudekati arah suara itu, aku yakin itu berasal dari toilet tersebut.

"Maaaas tolongin aku maas, aku terkunci disini, toloong maaas" sebuah suara perempuan terdengar berteriak dari arah yang sama.

Sesampainya di toilet itu kudapati seluruh lampu di dalamnya dalam keadaan tidak menyala, lalu suara-suara tadi tak lagi terdengar. 

"Mbaaak, mbaaak, sampeyan masih di dalam tah?" sepi, tak ada yang menjawabku.

Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam ruang toilet dan menyalakan lampunya, astaga beberapa kali kutekan tombolnya namun lampu-lampu ini tidak menyala, akhirnya dengan senter kudatangi satu persatu bilik toiletnya. WUUUUS kurasakan angin menerpa tubuhku ketika kubuka salah satu pintu bilik toilet itu, diriku mendadak merinding dan mengurungkan untuk berada lebih lama di dalam ruang toilet ini, lalu aku keluar tanpa berpikir macam-macam.

Aku melangkah dengan agak cepat menuju pos di pintu belakang yang lumayan dekat untuk melaporkan kejadian ini. Belum sampai di pojok selasar utama aku mendengar suara tangis bayi dari arah ruangan khusus bayi, aslinya diriku enggan untuk mendatangi namun naluri sebagai satpam membuatku mengarah kesana untuk memeriksa. Ruang bayi sudah terlihat dan tangis bayi itu belum terhenti, kemudian seorang perempuan berbaju putih keluar dari ruangan itu sambil menggendong seorang bayi yang sedang menangis, kuhentikan langkahku dan dengan hati-hati kuperhatikan perempuan itu lalu menyusui si bayi hingga akhirnya tangisnya terhenti.

Perempuan itu sama sekali tak menyadari kehadiranku atau memang tak mempedulikan diriku. Aku berniat untuk mendekatinya karena kulihat dia bukan salah satu perawat di RS ini dan instingku menaruh curiga kalau dia hendak menculik bayi itu. Hawa dingin mendadak kurasakan di sekitarku, hawa ini seakan mengatakan padaku untuk tidak mendekati perempuan tersebut. Lalu perempuan itu berjalan sembari menyusui si bayi, dia berjalan mengarah ke ruang persalinan yang ada di ujung selasar.

Dengan hati-hati kuikuti dan terus kuperhatikan perempuan itu, dia lalu bersenandung untuk menghibur si bayi, 'nina bobo' terdengar disenandungkan dengan irama yang membuat bulu kudukku berdiri. Di depan pintu ruang bersalin wanita itu lalu menggedornya tiga kali kemudian membukanya lalu kemudian masuk. Kuberanikan diri mendekat ke ruang bersalin untuk mengintip apa yang sedang terjadi disana. Kudengar suara beberapa orang dari dalam ruangan itu, dan bau bunga melati yang pekat mengisi udara malam.

Kuberanikan diri untuk mengintip kedalam, astaga kulihat ada beberapa perempuan dengan baju serba putih dan beberapa diantaranya lusuh kumal kecoklatan, rambut mereka terurai semua dan tertawa kecil cekikikan sambil memuji-muji seorang perempuan yang tadi menggendong bayi. Firasatku mengatakan kalau mereka semua bukan manusia dan seperti menyuruhku untuk segera pergi saja dari situ, sebuah suara memanggilku ketika diriku membalikkan badan untuk pergi dari situ.

"Mas ayo ikut kami berpesta" suara itu membuatku semakin merinding ketakutan.

Kuputuskan untuk langsung berlari saja menuju pos pintu depan. Tiba-tiba didepanku muncul sebuah kursi roda tanpa seorang pun yang mendorongnya, tak sempat aku menghindar sehingga kutabrak kursi roda itu hingga diriku jatuh ke lantai. Lalu sebuah suara tawa yang kencang terdengar menertawaiku yang terjatuh, suara itu seakan ikut mengejarku. Kembali aku berdiri dan kulanjutkan langkah kaki ini menuju ke pintu depan, kemudian tiba-tiba sesosok perempuan muncul menghalangi langkahku dia mengenakan daster dan mengeluarkan banyak darah dari kedua kakinya. Aku seperti mengenalinya, astaga perempuan ini adalah ibu yang semalam meninggal setelah melahirkan di RS ini.

Wajahnya terlihat dipenuhi belatung dan berjalan mengarah kepadaku, kedua kakiku mendadak tak mampu kugerakkan sedangkan perempuan itu semakin mendekatiku. Kututup mataku karena ketakutan, tak lama kurasakan angin dingin menerpa tubuhku diikuti sebuah suara.

"Sudah sana larilah, aku cuma mau mengambil anakku" ucap suara itu.

Ketika kubuka mataku kudapati perempuan itu sudah tidak ada, tanpa banyak berpikir aku langsung berlari menuju pos depan. Pak Imam yang mendapatiku kelelahan dan ketakutan langsung menenangkanku, dia memapahku ke kursi dan memeriku segelas air putih. Seteah sedikit tenang kuceritakan semua kejadian tadi, bukannya kaget pak Imam justru menyuruhku istirahat saja sampai shiftku berakhir. Sambil menenangkan diri di pos, pak Imam menceritakan bahwa itu semua sudah tidak aneh baginya, apalagi kemarin malam adalah untuk pertama kalinya seorang pasien di RS ini meninggal dunia sewaktu melahirkan.

Esok hariinya ketika sudah berada di rumah kuputuskan untuk berbaring di tempat tidurku saja seharian sambil berusaha menghilangkan rasa takut akan kejadian semalam. 

"Mas satpan, terima kasih ya sudah mengawasi bayiku semalam, kuntilanak di tempatmu bekerja nakal-nakal kalau malam jum'at" sebuah suara terdengar di telingaku, mimpikah aku?


-TAMAT-

Sunday 4 September 2016

Serial Detektif Indigo (SDI): Korban Terakhir (bagian 6)

 Xien, Akhir & Harapan baru


"Tak kusangka pengawal-pengawal 'ratu es' bisa dibantai dengan mudahnya, kau tak bisa lagi kuanggap remeh" ujar jin tua itu.

Kemudian dia mendongak keatas.

"Dan kau, aku tak ingin berurusan denganmu" ucapnya pada naga hitam.

Dia lalu berjalan mengarah padaku, kujauhi Kazza dan si harimau dan memilih tempat yang agak jauh dari posisi pak Rama. 

"Jadi apa yang akan kau lakukan untuk melawanku bocah" sesumbarnya

"Oh untukmu sudah kusiapkan kejutan yang menarik jin tua" jawabku.

"Hmmm kejutan ya, baiklah akan kuhabisi kau dengan kekuatan penuh, lalu kuhabisi pula mereka sesudahnya" ancamnya.

"Oke, bersiaplah..." balasku.

"Zeneb tua" imbuhku dengan senyum licik.

"Tahu darimana kau....tak akan kuampuni kau bocah" teriaknya dengan murka.

Jin tua Zeneb menerjang dengan beringas kearahku, berbagai tembakan energi panas dilontarkan kepadaku dengan cepat.  Gerakan tubuhku hampir tak bisa mengimbanginya, beberapa kali serangannya mengenaiku, setiap kali ada kesempatan secepat mungkin aku membalas serangannya, itu pun juga harus dalam jarak dekat karena akus ama sekali tak punya serangan jarak jauh seperti Zeneb.

"Hei biarkan aku membantumu anak muda, gunakanlah kekuatanku" pak Loreng menawarkan bantuannya.

"Tapi untuk itu kau harus memintanya dengan tulus dan sebut namaku dua kali" lanjutnya.

Sebetulnya itu bisa berguna juga, tapi aku belum mengetahui nama asli pak loreng. Lagipula dalam keadaan seperti sekarang ini mana mungkin aku bisa berpikir tentang namanya, Zeneb terus-terusan menyerangku tanpa ampun. Sungguh sial sekali makin lama banyak serangannya yang mengenaiku, perisai yang melindungi tubuhku semakin tak berguna rasanya. Sebenarnya daritadi ada satu hal yang kuperhatikan dari Zeneb, yaitu mulutnya terlihat seperti komat-kamit seperti sedang membaca sesuatu tapi tidak terlalu jelas kudengar.

Sebuah serangan beruntun menjatuhkanku, Zeneb dengan cepat bergerak mendekatiku dan menghajarku dan sesekali dari mulutnya keluar kata-kata yang tidak kumengerti, entah apakah itu bahasa para jin atau semacam mantera karena setiap kali dia menghajarku serasa kekuatannya bertambah. Di sebuah kesempatan ketika serangannya melambat kusempatkan untuk menghantamnya dengan bola cahaya yang kukeluarkan dari tanganku hingga dia terlontar lumayan jauh, lalu tanpa menoleh kutanyakan pada Kazza tentang apa yang diucapkan oleh Zeneb tadi.

"Itu....itu adalah ayat-ayat kami, ayat-ayat dari kitab bangsa jin" jawabnya singkat.

"Ayat-ayat seperti itulah yang sering digunakan oleh para ahli nujum kami, namun jika yang mengucapkan adalah manusia maka efeknya akans angat buruk, manusia tak akan mampu menahan kekuatannya" lanjutnya.

"Semenjak iblis dikutuk dia mempergunakan kitab suci bangsa kami sebagai senjata utama, dia dan keturunannya mempergunakan isi dari surat-surat tertentu sebagai mantera sihir dan mengajarkannya kepada manusia, namun tidak sepenuhnya diajarkan karena manusia takkan mampu mengucapkan isi ayat-ayat tersebut dengan sempurna. Maka dia mengajarkan pada manusia untuk mempergunakan 'media pengganti' sebagai syaratnya. Namun Tuhan maha adil, pada jaman Sulaiman (nabi Sulaiman A.S) Beliau mengutus Harut dan Marut untuk mmperkenalkan pada para manusia cara untuk menangkal sihir jahat" pak Loreng menambahkan.

"Dan karena Zeneb adalah sorang jin maka bebas untuknya membaca mantera-mantera tadi dan digunakannya untuk melawanku, benar begitu kan" ujarku.

"Seandainya kau mengetahui namaku" ucap pak Loreng lirih.

"Aku bisa memberitahukanmu namanya, tapi ada syaratnya" ucap Kazza menawarkan diri

"Apa?" balasku.

"Kau harus berjanji untuk selalu membelaku di depan kakakku, ingat ya 'harus' selalu membelaku kalau ingkar akan kubalas kau, aku akan hinggap di kepalamu seumur hidup dan berbuat semauku" jawabnya.

"Kau bercanda ya (-_-) tak usahlah biar kupikirkan sendiri" aku menolak tawaran Kazza.

Sementara Zeneb masih belum kembali kudekati si harimau dan kusentuh kepalanya. Dari situ kudapatkan banyak sekali kejadian-kejadian yang telah dia alami, penuh kesedihan namun dengan gagah dia menghadapinya, akhirnya diriku tersadarkan.

"Samman, namamu Samman" ucapku di depan pak Loreng.

"Aku sangat senang sekali akhirnya dirimu mengetahuinya, sekarang kembalilah kesana, dia sudah dekat" jawabnya.

Kali ini diriku yang mendekati Zeneb, jin tua itu terlihat sangat kesal sekali lalu dia merubah dirinya menjadi seekor ular hitam besar dan menyemburkan api dari mulutnya. Semburan api itu bisa kuhindari tetapi sesudahnya menjadi tidak mudah, Zeneb mampu mengendalikan apinya dan diarahkan kembali padaku. Tak ada jalan lain lagi, kupanggil nama Samman dua kali.

"Samman, Samman" dalam sekejap api yang menyala hijau menyelimuti tubuhku.

"Pergunakanlah dengan bijak anak muda, aku percaya padamu" pesan Samman padaku.

Tanpa ragu kugunakan kekuatan baru ini untuk menandingi Zeneb, kumulai dengan serangan jarak jauh, kukerahkan tenagaku untuk membentuk bola api besar dan melontarkannya ke arah Zeneb, dia menyerang balik dengan cara yang sama. Dua bola api saling beradu dan menciptakan ledakan besar, tanpa mengulur waktu kupergunakan kesempatan ini untuk menyergap Zeneb dengan menerobos ledakan tadi, sungguh cara gila tapi merupakan 'counterattack' yang bagus, Zeneb terkejut melihatku keluar dari ledakan bola api tadi dan tak sempat dia melindungi diri.

Satu demi satu pukulan dan tendangan kuhadiahkan pada tubuhnya, kemudian kudekap badannya dan mengerahkan energi pada kedua tanganku untuk membentuk bola halilintar yang diselubungi api hijau. Zeneb mengeram kesakitan dia kutendang jatuh dengan seluruh tubuhnya berada di dalam bola halilintar, akhirnya kulemparkan sebuah bola cahaya putih kearahnya sebagai pemicu ledakan bola halilintar dan diselubungi api haijau itu. BLAAAARR!!!! ledakan dahsyat kembali terjadi.

Ledakan energi itu membuat Zeneb kepayahan, wujud ularnya hampir tak mampu lagi bergerak hingga dia merubah diri ke wujud asalnya. Keadaan ini membuatku lengah karena kuanggap Zeneb telah 'kalah' namun rupanya jin tua itu masih memiliki siasat terakhir. Entah apa yang diucapkan oleh mulutnya tiba-tiba saja dia berada di belakangku dan menyerangku dengan tinju api, tubuhku menjadi lemah setelahnya entah apa yang akan dia perbuat padaku selanjutnya.

Ternyata Zeneb tidak meneruskan serangannya kepadaku, dia bergerak menuju mobil dimana tubuh 'kosongku' berada, sepertinya dia hendak berbuat sesuatu yang tidak baik pada tubuhku. Sial sekali diriku tak mampu bergerak untuk mencegahnya semua karena kelenghanku, tiba-tiba terdengar suara dahsyat seperti benda yang jatuh dari langit.

 BLEGAARRR!! getarannya sungguh dahsyat, kemudian sedikit samar kulihat ada 'orang' lain berdiri di belakang Zeneb, seorang lelaki berambut hitam panjang terurai berdiri gagah dengan memegang pedang besar. Kulihat Zeneb terkejut melihat kedatangannya dan dia tak mampu bergerak di hadapannya, lelaki tersebut lalu memegang kepala Zeneb hanya dengan sebuah tangannya lalu mengangkatnya. Lelaki itu lalu berjalan kearahku, semakit dekat kulihat wajah orientalnya yang berkulit putih dengan tatapan dingin padaku, dia memakai kemeja China dengan motif naga hitam.

Apakah ini? Mungkinkah dia si naga hitam itu sendiri.

"Mau apa kau denganku?" tanyaku pada lelaki itu.

Dia hanya memandangiku kali ini dengan tatapan marah, kemudian dia hunuskan pedang besarnya ke tubuh Zeneb. Zeneb hanya mampu mengerang tak berdaya tapi dia masih sempat 'menembakkan' sesuatu padaku yang berupa sinar putih, lalu ditarik lagi pedang itu dan lelaki itu melemparkan Zeneb ke udara, dia lalu melompat dan dengan pedangnya dia mencabik-cabik Zeneb di udara, sisa-sisa tubuh Zeneb dengan sendirinya terbakar api hitam dan jatuh ke tanah. Lelaki itu lalu tertawa terbahak-bahak dan merubah wujudnya menjadi naga hitam.

"Xien......kau adalah Xien....bukan itu bukan nama aslimu, itu adalah nama yang diberikan padamu oleh leluhurku" gumamku, lalu naga itu kembali lagi ke angkasa.

Kazza dan Samman lalu membawaku yang sudah kelelahan kembali ke tubuhku asliku yang berada di dalam mobil.


Diriku sudah sadar kembali dan bergegas menuju ke pak Rama, ada yang harus kusampaikan. Rupanya hal terakhir yang dilakukan oleh Zeneb tadi adalah sebuah 'pesan' untukku, ya setidaknya semacam itulah, dan isi dari pesan itu harus kusampaikan kepada pak Rama sebelum terlambat.

"Itu terlalu berbahaya vin, aku tak bisa membawa orang sipil ikut dalam penyergapan" ucap pak Rama.

"Saya harus ikut pak, Ki Segoro mempunyai sebuah pusaka yang mampu menangkal api, artinya senjata api, lampu senter dan sejenisnya tak akan mampu digunakan. Tim buru sergap harus bekerja dalam kegelapan dan mereka akan berhadapan dengan Ki Segoro yang memiliki ilmu kekebalan tubuh, saya harus kesana membantu mereka" jelasku.

"Aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu" tegas pak Rama padaku.

"Bapak lihat sendiri kan apa yang baru saja terjadi disini" tanyaku, pak Rama sambil melihat pohon-pohon yang tumbang, roboh di sekeliling kami dengan tak percaya.

"Itu efek dari 'pertarungan' kami tadi pak" imbuhku.

"Percayalah kita tidak hanya menghadapi manusia saja di sini"

Pernyataanku akhirnya membuat pak Rama percaya dan memutuskan untuk mengejar tim utama.

Entah situasi apa yang akan kami hadapi disana nanti, tapi kurasa agak sedikit ringan dengan tanpa adanya Zeneb. Sekarang tinggal Ki Segoro yang hanya berpegang pada pusaka dan ilmu-ilmunya, dan kami harus bsia menangkapnya hidup-hidup demi menggali infomasi tentang keberadaan mantan istri tersangka penculikan yang sudah tewas. Tentunya lebih cepat ditemukan justru lebih baik karena kami percaya korban terakhirnya masih hidup dan harus segera ditemukan.

Semakin mendekati padepokan Ki Segoro semakin kuat kurasakan hawa ilmu hitamnya, tak lama kemudian kami sudah menjumpai tim buru sergap yang sudah bersiap untuk meyerbu. Pak Rama memberi penjelasan kepada mereka tentang situasi yang tidak menguntungkan dikarenakan pengaruh gaib, maka itu pula aku dimasukkan dalam penyerbuan sebagai 'penetral' ilmu hitamnya Ki Segoro. Keadaan gelap gulita karena pusaka penangkal api milik Ki Segoro, kami berjalan dengan sangat berhati-hati mengitari padepokan di tengah hutan itu.

Akhirnya tim utama menyerbu masuk, mereka mendapat perlawanan dari dua murid Ki Segoro, anggota tim lainnya yang mengeluarkan senjata api untuk mendukung penyergapan kaget karena senjata mereka tak bisa meletuskan peluru. Sama seperti halnya guru mereka, kedua murid ini juga memiliki ilmu kekebalan jadi membuat penyergapan tidak berjalan baik.

"Tarik kain hitam di pinggang mereka, itu sumber kekebalan mereka" teriakku berusaha membantu.

Dan benar saja salah satu dari mereka ditarik kain hitam di pinggangnya dan sedikit kelimpungan lalu kembali melawan. Kali ini kelemahan mereka sudah diketahui dan penyergapan semakin mudah, namun tiba-tiba dua orang dari tim buru sergap terlontar ke tanah tanpa sebab. Ternyata itu ulah Ki Segoro yang menggunakan tenaga dalamnya.

"Huuuuh aku tak bisa menahan diri lagi, sekarang giliranku" teriak Kazza.

Dan tiba-tiba kepalaku pusing dan kurasakan kedua tanganku panas sekali seperti terbakar oleh api. Mendadak pandanganku kabur dan aku tak sadarkan diri.

"Hahaaaa kupinjam tubuhmu sebentar ya, aku tak tahan ingin menghajar dukun tua ini" celoteh Kazza terdengar di kepalaku.

Aku hanya bisa melihat tubuhku 'diambil alih' oleh jin bawel itu, sementara Samman menyuruhku untuk bersabar saja dan melihat apa yang akan terjadi.

Gila! Seakan mimpi, mataku melihat tubuhku diselimuti api dan keluar sayap burung dari punggungku, apakah ini wujud asli Kazza, pikirku. Kazza tanpa pandang bulu ikut-ikutan menghajar Ki Segoro dimana anggota polisi yang menyergap tak mampu menandingi guru ilmu hitam itu. Pukulan demi pukulan yang dilayangkan Kazza tak mampu ditahan oleh Ki Segoro. Mungkin bagi mata orang biasa akan terlihat 'tubuhku' itu hanya memukul-mukul dengan telak namun bagi orang dengan mata batin yang kuat akan terlihat kalau tiap pukulan yang dilancarkan menembakkan energi api.

Kulihat Ki Segoro semakin terdesak dan tak lagi mampu untuk melawan, lalu Kazza meraih sebuah keris dari balik selendang hitam yang dililitkan di pinggang Ki Segoro. Dihancurkannya keris itu lalu dia melancarkan serangang terakhirnya, api besar keluar dari tubuhku dan membentuk seekor burung api yang energinya menyala-nyala, kemudian burung itu terbang ke angkasa dan dengan cepat menukik kebawah menghujamkan diri ke tubuh Ki Segoro. Kemudian kurasakan badanku ini seperti tertarik kembali ke tubuhku yang tadi diambil alih Kazza.

"Sudah kubereskan dia, sekarang giliranmu" ucap Kazza pongah.

Akhirnya aku menguasai tubuhku lagi, sumpah akan kuhukum Kazza kalau kami sudah pulang nanti.

"Pusaka penangkal apinya sudah dihancurkan, kalian bisa menyalakan alat penerangan" kataku memberitahukan pada tim penyergap.

Akhirnya kami berhasil meringkus Ki Segoro dan dua orang muridnya, dia dibawa ke mobil untuk selanjutnya diinterogasi sepanjang perjalanan kembali ke markas Polda. Aku ikut duduk semobil dengan Ki Segoro untuk mengantisipasi hal yang tidak-tidak, lalu pak Rama mulai bertanya padanya.

"Langsung saja, kami berhasil meringkus mantan suami dari murid perempuanmu, dia tewas dalam penangkapan dan kami menemukan banyak hal termasuk informasi yang membawa kami untuk menangkapmu"

"Sekarang kami hanya ingin tahu, siapa jati diri keduanya dan dimana sekarang perempuan itu berada, aku yakin dirimu tahu lebih banyak karena kaulah yang mengajari mereka ilmu hitam" tegas pak Rama.


-BERSAMBUNG-

Serial Detektif Indigo (SDI): Korban Terakhir (bagian 5)

Perburuan


"Yaaay kita berpetualang pak Loreng, akan kemana ya kita" suara Kazza terdengar di kepalaku, si harimau yang diajaknya berbicara hanya menggeram tanpa kutahu artinya.

"Apa-apaan ini kenapa kau ikut, yang akan kuhadapi nanti bukan urusan anak kecil tau" omelku pada Kazza.

"Ya suka-suka diriku lah kan kakak menyuruhku selalu mengikutimu weeek" balasnya.

Aku tak habis pikir kenapa sekembalinya siriku ke dunia manusia malah dapat cobaan seperti ini, Kazza ini tingkahnya banyak dan sangat kutakutkan jikalau dia berbuat aneh-aneh dan aku yang terkena imbasnya. Malam ini terpaksa diriku tak bisa beristirahat selama perjalanan, bagaimana tidak si Kazza terus-terusan mengoceh di dalam kepalaku apalagi dia mengajak pak loreng si harimau, ocehan-ocehan Kazza juga membuat raut wajahku berubah sesuai emosi yang kurasakan sehingga kadang anak buah pak Rama menatapku dengan kebingungan.

Ada kalanya selama perjalanan diriku mendapatkan visi-visi walau hanya sekilas tanpa kutahu maksudnya, melamun adalah satu-satunya hiburan yang bisa kulakukan selama perjalanan, namun kadangkala lamunanku melebihi batas. Salah satu yang sering terjadi adalah ketika sedang melamun diriku melihat terlampau jauh ke depan sehingga membuat ragu tindakan yang kulakukan, walaupun seringkali terjadi diriku selalu berusaha mengelak untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi ke depan nanti.

Seringkali kumelihat atau dalam waktu tertentu mendapat bisikan-bisikan gaib memberitahukan tentang suatu bencana atau peristiwa baik kecil atau pun besar, hal seperti itu selalu datang walau tidak ada hubungannya denganku dan sebagai rasa 'peduli' dari naluri seringkali kupostingkan informasi-informasi gaib yang masuk di kepalaku, tentu saja kuatasnamakan diriku sebagai anonym dalam setiap postingnya.

"Kurasakan gesekan hawa yang sangat jelek dibawa oleh angin, sepertinya kedatangan anda sudah diketahui oleh 'seseorang' dari bangsa kami" suara pak Loreng memutus lamunanku.

"Aku juga merasakannya, hawa ini sudah kukenali" ujarku.

"Hawa ini berasal dari makhluk yang sama dengan kutemui waktu itu, makhluk yang mencelakaiku dan Kimi" lanjutku.

"Akan kubalas dia karena mencelakai kakakku, kubakar kulebur dia" Kazza menimpali dan seketika mengeluarkan hawa panas yang bisa kurasakan sangat intens di kepalaku.

"Tak bisakah kau tunggu sampai kita tiba disana, bocah bawel" ucapku pada Kazza

Setelah 4 jam perjalanan kami akhirnya tiba di lokasi, kami berhenti di pinggiran sebuah hutan di dekat perbatasan dengan jawa tengah, mobil berhenti sekitar 500 meter dari titik penyergapan, di lokasi sudah ada 3 mobil lainnya yang tiba lebih dulu. Pak Rama memintaku untuk stand by di mobil saja sambil menganalisa parameter dengan kemampuanku.

"Ki Segoro juga memiliki ilmu kekebalan tubuh, tapi titik lemahnya tidak sama dengan tersangka kita yang sudah tewas"


"Dia tidak sendiri disana, ada dua orang lagi sepertinya murid setia Ki Segoro" sambungku.

Dan kurasakan lagi hawa yang sangat jahat, angin malam pun semain bergejolak memainkan daun-daun pohon hingga berisiknya turut membuat merinding. Tak salah lagi ini adalah hawa dari jin tua 'itu', Kazza yang ikut merasakannya juga semakin emosi namun kusuruh untuk tenang karena aku tak ingin kejadian yang sama seperti dulu menimpanya juga. Sedangkan si harimau kurasakan lebih tenang, sepertinya dia sedikit mengetahui tentang siapa yang kami hadapi.

Menghadapi situasi seperti ini kuberitahu pak Rama agar sedikit menjauh dari mobil, tanpa ragu dia menuruti perkataanku. Pak Rama sepertinya juga merasakan ada yang tidak beres malam ini dan menyerahkan segala gangguan gaib kepadaku untuk dihadapi.

"Sepertinya 'mereka' tidak menyukai kehadiran kita disini, apalagi pemimpinnya, dia tidak menghendaki kita hidup" pak Loreng berbicara sambil menggeram.

"Biar aku saja yang menghadapi mereka semua, kalian tak usah ikut campur, lindungi saja manusia-manusia itu" perintahku.

Lalu kumulai memejamkan mata untuk memasuki dunia 'mereka', cara ini lebih baik dalam melawan jin-jin.

Tubuhku rasanya seperti melayang sendiri, saat ini 'diriku' sudah keluar dari tubuh fisik dan bisa leluasa untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, tentunya dengan resiko yang lebih besar apabila diriku terluka. Dengan jelas kulihat Kazza dan teman harimaunya 'memagari' pak Rama dan anak buahnya dari serangan-serangan gaib yang tidak mereka ketahui. Dan kali ini untuk pertama kalinya diriku melihat si naga hitam setelah kembali dari kerajaan Kimi, naga itu hanya meliuk-liuk diangkasa sambil sesekali melihat kearah kami tanpa rasa peduli sedikit pun.

Kira-kira ada puluhan jin kelas prajurit yang mengepung kami, wujudnya rata-rata hewan buas, beberapa berupa bola api atau pun berupa asap yang bergerak layaknya manusia. Dan mulailah kuserang mereka satu persatu dengan bola halilintar yang kukeluarkan dari tanganku, sungguh dahsyat ini adalah efek dari  saripati angin pemberian Hazzam. Jin kelas kacang pun dengan mudah kukalahkan.

Sekarang tinggal beberapa jin yang kemampuannya lebih tinggi dari yang kukalahkan tadi, ada tiga yang berwujud kera kira-kira tingginya 18 meter, dan lima anjing hitam yang ukurannya hampir sebesar rumah dengan mata menyala oranye kemerahan. Yang berwujud anjing ini menyerangku terlebih dahulu, cakarnya mereka setajam pisau yang mampu membelah udara sekalipun, bola cahaya berwarna merah sesekali dilontarkan dari mulut mereka namun bisa kutangkis, untunglah dalam keadaan ini 'tubuhku' mampu terbang di udara hingga sedikit mudah untuk menghindari serangan-seragan mereka.

Anjing-anjing hitam ini menyerangku secara berkelompok, mereka tidak bertindak secara individu dan ini memberiku kesempatan untuk menyerang mereka secara bersamaan. Aku terbang menerjang kearah mereka ketika secara bersamaan bola cahaya merah ditembakkan kearahku, begitu mendekat kelima bola cahaya itu sedapatnya kutangkap dengan bantuan angin sebagai tamengku. Kelima bola cahaya itu kemudian aku 'fuse' dengan energi yang kukeluarkan dari tubuhku., kuubah kelimanya menjadi satu bola energi berwarna merah pekat dan kulontarkan balik kearah kelima anjing tersebut.

BLAAAAAAR!! suara ledakan energi memecah kesunyian malam dan mennghancurkan tubuh kelima anjing hitam itu. Ledakannya membuat udara disekitarku memberikan tekanan angin yang dahsyat hingga kulihat pak Rama dan yang lainnya meggigil, lalu

"BODOH! tak bisakah kau melawan dengan biasa saja, kau ingin kami tercabik juga yah!" teriak Kazza padaku.

Tak kusangka serangan tadi sangat kuat sekali, sungguh dahsyat efek dari saripati angin pemberian Hazzam itu, kemampuanku benar-benar meningkat sampai 60%. Sekarang tinggal tersisa tiga kera besar, fisik mereka sungguh diluar akal, kepala dan badan mereka seperti seekor kera hitam dengan taring menyeringai dan tangan yang gempal dipersenjatai kuku yang menyerupai pedang, sungguh cakar yang membahayakan, kemudian ekornya yang menyerupai ekor naga dan kaki yang juga bersisik.

"Berhati-hatilah, mereka itu termasuk jin penguasa angin" ucap pak Loreng kepadaku.

"Pe-penguasa angin...bukankah mereka seharusnya tidak berasal dari sini, mereka seharusnya tinggal di kerajaan es kan?!!" Kazza terkejut sambil memandang si harimau.

"Sepertinya mereka dibawa kemari oleh 'dia' lagipula kerajaan es sudah hampir mengakhiri dinastinya, mereka sudah tak memiliki kepercayaan lagi pada pemimpinnya sekarang, pastinya" jawab pak Loreng si harimau.

Salah satu dari kera besar itu bergerak kearahku, sekejap lalu dia menghilang, sungguh cepat sekali hingga mataku pun tak mampu menangkapnya. BUKK!! sebuah pukulan berat mendarat di punggungku sehingga membuatku jatuh terkapar di tanah, belum sempat kuberdiri dua kera yang lainnya dengan gesit mendatangiku dan seketika mengarahkan kakinya untuk menginjakku, namun pak Loreng dengan secepat kilat langsung menyambar tubuhku.

"Te-terima kasih" ucapku

"Berhati-hatilah kedua kera tadi sangat kuat, sedangkan yang satunya sangat gesit sekali"

"Jangan lupa juga, cakar mereka mampu mencabik tubuhmu hanya dengan hembusan angin" imbuh pak loreng memberiku nasehat.

 "Begitu ya, sebaiknya kali ini aku menggunakan siasat yang agak licik untuk melawan mereka, biar kutanggung sendiri resikonya" gumamku.

"Pak Loreng, aku minta tolong kepadamu, dirimu dan Kazza sebisanya buatlah 'pagar' yang sangat kuat dari segala serangan, ingat harus sangat kuat" pintaku

"Baiklah kuusahakan" jawabnya.

Kemudian aku bangkit dan menuju ketiga kera besar itu, sementara si naga hitam masih saja meliuk-liuk di angkasa tanpa rasa peduli sedikit pun, sungguh sombong. Kuberlari mengarah ke salah satu kera tadi wujud mereka seperti kembar jadi diriku tak tahu mana yang paling gesit tadi, sebisanya kuserang salah satu kera tadi, kutendang kepalanya dan kutambah dengan meledakkan bola halilintar,. Berhasil, seranganku membuatnya murka.

Kedua temannya juga ikut terprovokasi dan menyerangku balik, aku berusaha menghindari serangan-serangan mereka dengan melayang dan bergerak di udara, lalu salah satu dari mereka menyabetkan cakarnya yang tajam itu kearahku tapi bisa kuhindari. Melihat serangan temannya tidak berhasil lalu kedua kera yang lain juga ikut menyerangku dengan serangan yang sama secara membabi buta. Hingga akhirnya siasat licikku sudah mendekati target, tanpa mereka sadari kubawa mereka mendekati naga hitam, serangan pamungkas pun mereka keluarkan dan ditujukan pas ke arahku.

DHUAAAR!! suara serangan mereka mengenai target, tapi bukan diriku melainkan si naga hitam yang sengaja kubelakangi, jadi diriku dengan gesit menghindari serangan pamungkas ketiga monyet itu sehingga serangan mereka mengenai si naga. Sungguh cara yang sangat licik tapi untuk saat ini hanya itulah cara yang terpikirkan olehku. 

Ketiga kera itu lalu tak bergerak seusai serangan mereka mengenai badan naga hitam, lalu kurasakan hawa atau energi yang sungguh sangat mengerikan. Sepertinya ketiga lawanku itu juga merasakan hawa 'pembunuh' ini sehingga mereka tidak lanjut menyerangku. Perlahan kulirik ke arah naga itu, dia hanya berdiam di angkasa dengan tatapan tajam mengarah ketiga kera tadi. Tiba-tiba dengan sekejap naga itu menghilang dari pandangan. 

"AAAAAARGH ampuuuun tuan, serangan kami tak sengaja mengenaimu" teriak salah satu dari kera itu.

Astaga tubuh kera besar itu dalam sekejap dililit oleh si naga hitam, naga itu tak mengeluarkan satu ucapan pun dan melilit si kera emakin erat hingga teriakan si kera semakin melengking. Kedua kera lainnya hanya mampu terdiam melihat temannya 'dihukum' oleh naga, kemudian tubuh kera malang itu terbakar oleh api biru yang tiba-tiba menyelimuti tubuhnya, tak hanya itu saja, si naga lalu menyemburkan api hitam yang langsung membuat kera itu lenyap tak berbekas.

Kera-kera yang lain langsung memohon ampun dari naga hitam namun tak digubris, naga itu lalu merubah wujudnya menjadi wujud panglima China kuno kemudian dalam sekejap mata menendang kedua kera hingga jatuh ke tanah. Di bawah, panglima itu mengeluarkan sebuah tombak dan tanpa ampun menghujamkannya kepada dua kera itu, mereka dibabat habis olehnya, sungguh kejam sekali. Ayunan tombaknya membuat udara bergejolak kencang, tiap sabetannya mengeluarkan energi yang sangat dahsyat hingga merobohkan beberapa pohon dan meninggalkan goresan-goresan. Selesai itu dia berubah lagi ke wujud naga hitam dan menuju kearahku dengan tatapan bengis.

"Brengsek kau!!!" ucapnya di hadapanku.

Naga itu kemudian meninggalkanku dan kembali meliuk-liuk di angkasa. Untuk pertama kalinya dia berbicara padaku dan sungguh membuatku ketakutan, luar biasa sekali kemampuannya. Kudekati Kazza dan pak Loreng untuk mengetahui keadaan mereka.

"Kalian tidak apa-apa kan" tanyaku, pak Rama dan yang lainnya sama sekali tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi hanya bisa melihat dengan keheranan.

"Kenapa kau membuat naga itu marah, kau bisa membuat kita semua terbunuh tahu" omel Kazza

"Aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk melawan kera tadi, maaf deh tuan putri" godaku pada Kazza

"Masalah kita belum selesai, lihatlah kesana" imbuh pak loreng dan aku menoleh kearah yang dia tunjuk.

Sebuah sosok yang sudah tak asing bagiku, si 'jin tua'.



-BERSAMBUNG-