Tuesday 30 August 2016

Persalinan Tengah Malam



Persalinan Tengah Malam 


Pertama kalinya dalam sepuluh tahun ini aku pulang ke rumah orang tuaku di Trenggalek setelah lama berkarir di Surabaya. Namaku Ferry, aku adalah seorang dokter kandungan di sebuah rumah sakit swasta dan sudah sepuluh tahun praktek semenjak kudapatkan gelar dokter spesialis. Lucu sekali alasanku untuk menjadi dokter kandungan, pertama adalah ibu dan nenekku dulu adalah sama-sama seorang dukun bayi, yang kedua kakakku adalah seorang bidan dan suaminya adalah seorang dokter PNS yang dipekerjakan di puskesmas, sedangkan diriku ini memilih arah yang lebih moderat lalu menetap di kota Surabaya.

 Aku mudik ini hanya sendirian saja karena diriku masih belum menikah, mendapat jatah cuti selama dua minggu cukup menyenangkan makanya kuputuskan untuk kembali ke kampung halamanku. Kampung halamanku ini masih terlihat seperti dulu dan hanya beberapa tempat saja yang mengalami sentuhan modern, salah satunya adalah beberapa rumah tetangga dan rumah orang tuaku sedangkan sisanya adalah kantor desa, sekolah dan puskesmas. Di rumah ini orang tuaku tinggal bersama kakakku dan suaminya, maklum karena diriku sendiri sudah menetap di kota.

 Hari ini diriku bersama bapak pergi ke makam desa untuk mengganti nisan di makam adik bungsuku yang sudah meninggal 25 tahun yang lalu, adikku meninggal karena demam berdarah di usia yang masih muda. Di pemakaman diriku dan bapak mengganti nisan adikku yang lama dengan nisan baru dibantu oleh pak Marno juru kunci makam desa. Selesai mengganti makam bapak dan diriku berdoa di makam adik, setelah selesai bapak pulang lebih dulu sedangkan diriku ingin mengunjungi makam Indri, mantan tunanganku. Sedikit lama diriku berdoa di makam Indri sambil mengenang memori yang dulu pernah kujalani bersamanya.

Indri meninggal tujuh tahun yang lalu karena kanker rahim, kami saling mengenal sejak jaman sekolah dasar dan selepas itu kami selalu bersekolah di sekolah yang sama. Di jamanku masih kuliah aku selalu sempatkan untuk menemuinya sekaligus mudik ke rumah, Indri bertunangan denganku selepas setahun diriku resmi berpraktek di Surabaya, tak banyak lagi yang bisa kuceritakan karena sisanya kami menjalin hubungan jarak jauh, hingga untuk terakhir kalinya diriku melihatnya ketika maut menjemputnya. 

Baru beberapa langkah aku meninggalkan makam Indri untuk kembali ke rumah, tiba-tiba diriku dikejutkan oleh suara pohon rubuh beberapa meter di sampingku. Pohon itu jatuh menimpa sebuah makam yang nampaknya masih baru sehingga nisannya lepas, karena simpati kudatangi makam itu untuk memasang kembali batu nisannya, lalu datang pak marno

"Mas Ferry biar saya saja yang benerin, ini sudah tugas saya kok, sampeyan langsung pulang saja nggih bersih-bersih biar nggak kena hawa kuburan" ujar pak Marno kepadaku.

Kemudian aku berdiri dan berpamitan pada pak marno, terselip di pikiranku bahwa aku belum sempat bertanya itu tadi makam siapa. Sesampainya di rumah aku mandi membersihkan badan dari keringat dan sisa-sisa tanah dari makam, lalu kuganti pakaianku dengan yang baru dan langsung menuju teras rumah untuk bersantai sambil melihat keponakanku bermain di halaman dengan anak-anak tetangga, sedangkan kejadian pohon rubuh tadi tidak kuceritakan pada siapa pun.

Selepas maghrib kembali diriku bersantai di teras depan, entah mengapa pada malam ini suasana desa menjadi sepi hanya terlihat satu dua orang yang berlalu lalang naik motor atau berjalan kaki, bulan pun seringkali tertutupi oleh awan sehingga cahayanya tak sampai menerangi malam, angin dingin mulai berhembus menambah suasa sepi ini menjadi sangat terasa dengan suaranya yang mengilir. Sekilas kadang terdengar kidungan jawa yang dibawa oleh angin sepoi-sepoi seakan sedang ada panggung kesenian, ah mungkin itu hanya perasaanku saja.

Lalu dari balik jendela tiba-tiba bapakku berbicara padaku

"Ferry, itu di desa sebelah ada pertunjukan ketoprak kalau kamu bosan melamun mending kesana saja melihat, siapa tahu nanti kamu ketemu jodoh" kata bapakku.

Benar juga ya lebih baik aku ke desa sebelah melihat pertunjukan ketoprak saja daripada bengong sendirian disini, mungkin dari sana juga asal suara kidungan jawa tadi. Kemudian kuputuskan untuk berjalan kaki ke desa sebelah yang jaraknya hanya 300 meter saja, di perjalanan sesekali kutemui beberapa orang yang juga berjalan searah denganku, mungkin ini sebabnya malam ini kampungku sepi orang-orang pada ke kampung sebelah untuk menonton ketoprak.

Pada akhirnya diriku kembali berjalan sendiri di setengah perjalanan, tanpa kuperhatikan mendadak saja tidak ada orang yang berjalan searah lagi denganku, untunglah diriku sudah terbiasa dengan suasana sepi seperti ini maklum saja ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran aku sering sekali jaga malam di rumah sakit tempatku magang, bahkan beberapa kali pada malam hari diriku harus menemani mengantar jenazah ke kamar mayat. Sembari menghibur diri dengan kenangan-kenangan di kepalaku mataku melihat ada seseorang yang sepertinya sedang berhenti untuk membetulkan alas kakinya, kudekati dan semakin terlihat jelas sosoknya ternyata seorang gadis manis dan dia mengenakan seperti seragam perawat warna putih yang dibalut oleh sweater berwarna biru muda.

"Selamat malam mbak, sepertinya sedang kesulitan ya, apakah saya bisa membantu?" sapaku seraya menawarkan bantuan kepada gadis itu.

"Selamat malam juga mas, aku nggak apa-apa kok ini cuma tumitku lecet sedikit, tadi aku upa nggak make kaos kaki" jawab gadis itu sembari memasang plester di tumitnya.

"Aku mau ke desa sebelah untuk nonton ketoprak nih, apakah kamu juga mengarah kesana, boleh aku barengi nggak?" tanyaku.

"Boleh mas, rumahku juga disana kok di ujung desa itu tepatnya, ini sekalian aku ingin nonton ketoprak juga, namaku Mayang mas panggil dengan namaku saja yah" balas gadis itu, Mayang sungguh nama yang indah menurutku.

"Iya, namaku Ferry, salam kenal ya Mayang" jawabku.

Lalu kami berdua berjalan bersama menuju lokasi pertunjukan ketoprak itu, enak juga rasanya berjalan dengan ditemani seorang gadis semanis Mayang, perjalanan jadi tidak terasa memakan waktu yang lama dan sampailah kami di tempat pertunjukan ketoprak itu. Meriah juga ketopraknya hingga penontonnya sampai melimpah banyak, aku dan mayang duduk di sebuah bangku dibawah pohon di barisan paling belakang karena tidak mendapat tempat.

Kami menonton ketoprak itu sambil sesekali berbincang kecil.

"Mayang apakah kamu ini seorang perawat, aku perhatikan pakaianmu ini seragam suster kan" tanyaku

"Iya mas aku ini perawat tapi aku tidak berdinas di wilayah sini, aku berdinas di kecamatan luar" jawabnya

Selanjutnya kami berbincang panjang lebar sepanjang pertunjukan ketoprak itu hingga kami benar-benar lupa untuk mengikuti cerita ketopraknya. Selang beberapa waktu datanglah seseorang yang tiba-tiba memotong pembicaraanku dengan Mayang, ternyata dia adalah pak Marno si juru kunci makam desaku.

"Mas Ferry akhirnya saya menemukan sampeyan disini, tadi saya cari di rumah mas nggak ada" ucap pak marno sambil terengah-engah.

"Ada perlu apa pak Marno mencari saya, bapak tenang dulu ya ambil nafas biar santai" jawabku.

"Anu mas Ferry, ada saudara saya dari desa ini yang istrinya hendak melahirkan jadi saya tadi ke rumah sampeyan untuk manggil mbak bidan (kakakku) eh ternyata sedang pergi sama suaminya, trus sama bapak sampeyan saya disuruh nyari mas Ferry kesini, sampeyan kan dokter kandungan mungkin bisa membantu saudara saya, bidan di desa ini sedang ke luar kota" jelas pak Marno.

Diriku tidak habis pikir bagaimana ini menjadi sebuah kebetulan, tapi aku tak menolak permintaan pak Marno ini karena aku adalah seorang dokter dan sudah tugasku untuk menolong orang. Kuputuskan untuk ke rumah saudara pak Marno sekarang juga walau tanpa membawa peralatan medis, lalu kemudian Mayang menawarkan diri untuk membantuku.

"Mas Ferry biar aku ikut juga yah, aku kan perawat pasti bisa membantu mas selama proses persalinan nanti" kata Mayang yang langsung kuiyakan.

Kemudian datang seorang pria yang mengaku saudara pak Marno untuk mengantarku dan Mayang ke rumahnya, namanya pak Diran, sedangkan pak Marno harus pamit pulang karena ada urusan lain.

"Mari pak dokter saya antar ke rumah saya, istri saya sudah sangat kesakitan di rumah" kata pak Diran.

Akhirnya ku ikuti pak Diran menuju rumahnya yang sepertinya mengarah ke ujung desa, Mayang berjalan seiringan bersamaku, dia terlihat tenang sekali.

"Tadi katamu rumah kamu di ujung desa ya Mayang, dekat ya dengan rumah pak Diran" tanyaku pada Mayang, sementara pak Diran berjalan di depan kami sambil merokok hingga bau khas rokok klobot seakan memenuhi udara.

"Iya mas rumahku di paling ujung" jawab Mayang singkat.

Tak lama kemudian mataku mulai melihat sebuah rumah yang ukurannya tergolong besar daripada rumah-rumah lainnya di desa ini, rumah model belanda bercat putih dengan hiasan lampu minyak di terasnya. Halaman rumah ini begitu besar dan ada beberapa pohon besar yang lebat tumbuh disana, hawa dingin mendadak kurasakan begitu kakiku melangkah masuk ke halaman rumah pak Diran tapi kuanggap biasa saja mungkin karena angin malam ini lumayan kencang sedikit. Di teras rumah pak Diran aku melihat ada seorang gadis sedang duduk di kursi, rambutnya panjang dan memakai gaun tidur berwarna putih, gadis itu tampaknya sedang menyisir rambutnya tanpa mempedulikan kedtangan kami bertiga, dia bersenandung dengan cueknya, sekilas kulihat kulit tangannya begitu pucat.

"Jangan pedulikan dia mas, itu adik istriku dia agak terbelakang" ujar pak Diran dengan nada dingin, kemudian dia membuka pintu rumah dan mempersilahan diriku dan Mayang masuk.

Pak Diran langsung membawa kami ke kamar tempat istrinya sudah menunggu kami, lumayan diriku sedikit terkejut melihat kondisi istri pak Diran, wanita itu mengerang kesakitan dengan darah segar keluar dari ujung kedua kakinya. Sepertinya sudah berlangsung dari tadi kondisi istri pak Diran hingga kulitnya berubah pucat kesakitan dan rambutnya dibiarkan terurai, pak Diran kusuruh menunggu di luar kamar saja biar aku dan Mayang bisa membantu istrinya bersalin.

"Pak Diran tolong ambilkan air hangat ya untuk bayinya nanti" ujar Mayang dengan lembut, sepertinya dia sudah pernah membantu pasien yang melahirkan hingga paham tentang persiapannya.

Berdua dengan Mayang aku membantu istri pak Diran untuk melahirkan, sungguh aneh selama hampir dua jam si jabang bayi tak kunjung keluar dari pintu rahim ibunya, sementara istri pak Diran semakin mengerang kesakitan dan mengeluarkan banyak darah. Keanehan lainnya adalah bau darah wanita ini sungguh sangat anyir bagi hidungku, ini untuk pertama kalinya aku mencium bau darah segar yang seperti ini, erangan istri pak Diran semakin keras sambil dia mengejan berusaha mengeluarkan kepala si bayi, lalu tiba-tiba

"Ndang metuo cah bagus, mbak nyanyi nggih nek njenengan nurut.
Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré

Sebuah senandung jawa dinyanyikan oleh mayang selagi dirinya menatap ke pintu rahim wanita itu. Kemudian tak lama keluarlah kepala si bayi diiringi tangisnya yang keras, lalu kulihat sedang Mayang membersihkan bayi itu dengan cekatan, di sini aku melihat satu keanehan lagi, badan bayi itu sepertinya dipenuhi oleh bulu hitam seperti monyet, logika ku mengatakan mungkin itu pembawaan genetik dari orang tuanya. Mayang lalu menyerahkan bayi itu kepada istri pak Diran, sambil berbincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti Mayang dan istri pak Diran sepertinya sedang tertawa senang diiringi tangis si bayi.

Kemudian aku membersihkan diri dan memberitahu pak Diran kalau putranya telah lahir, dia sangat bahagia sekali dan langsung mendatangi istrinya, digendongnya putra yang baru lahir itu. Mayang lalu mengajakku untuk berpamitan pada keluarga pak Diran karena sudah malam, pak Diran mengucapkan banyak terima kasih kepadaku lalu dia memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat lusuh padaku, aku menolaknya dan menyarankan agar Mayang saja yang menerimanya. Aneh Mayang juga menolak pemberian pak Diran itu dan ikut memaksaku untuk menerimanya, diriku akhirnya mengalah dan menerima pemberian pak Diran itu, lalu kami berpamitan pulang dan pak Diran sambil menggendong bayinya mengantar kami hanya sampai di teras saja.

Mayang dan diriku berjalan melintasi halaman rumah pak Diran yang luas, lalu kudapati adik istrinya sedang menyapu tanah di sekitar pohon yang paling besar di halamannya sambil bernyanyi-nyanyi kecil lagu jawa. Aku mengantar Mayang pulang ke rumahnya yang lumayan dekat dengan rumah pak Diran, rumah Mayang ini rupanya tak jauh berbeda dengan rumah pak Diran yaitu sama-sama rumah model Belanda tapi cat di dindingnya lebih lusuh dan kotor, kemudian Mayang menghentikan langkahnya tepat di depan pagar rumahnya.

"Mas Ferry mengantar sampai disini saja ya, habis ini mas langsung pulang saja ke rumah kasian kamu sudah kelihatan capek mas, besok saja mas main kesini kebetulan Mayang libur kerja" kata Mayang.

Seperti terhipnotis aku mengangguk saja kepada Mayang tanpa berkata apa-apa, lalu diriku berbalik dan berjalan menuju desaku, sepanjang perjalanan sangat sepi dan udaranya dingin sekali. Sekitar 45 menit akhirnya aku sampai juga di rumah dan kakiku sangat lelah karena berjalan lumayan lama, padahal waktu berangkat tadi tidak seberapa jaraknya ke desa sebelah. Pintu rumahku sudah dikunci, kuketuk-ketuk pintu rumah juga tidak ada yang menjawab, karena sudah telanjur kecapekan akhirnya malam ini aku tidur di teras rumah.

"Fer...Ferry, hei bangun Fer" samar-samar tendengar suara bapak menbangunkanku.

"Ayo bangun Fer, kamu ngapain tidur diteras, nggak kedinginan apa" ternyata benar suara bapak, beliau membangunkanku dan menyuruhku untuk langsung mandi.

Setelah mandi dan sarapan kutemui bapak di teras rumah, lalu kuceritakan semua yang kualami semalam dengan sangat detil. Bapak hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan ceritaku, tanpa berkomentar bapak lalu beranjak dari kursi dan masuk ke dalam rumah seraya mencueki diriku, lalu bapak keluar lagi dan mengajakku untuk naik motornya. Aku dibonceng bapakku di motornya, sepertinya mengarah ke desa sebelah, sekitar sepuluh menit lalu bapak menghentikan motornya di sebuah kebun mangga, aku terkejut setelah melihat sekeliling did alam kebun mangga itu ada rumah tua yang sudah terbengkalai tak terawat.

Bentuk rumah itu persis sekali dengan rumah pak Diran semalam dan makin lama kebun mangga ini juga terlihat mirip dengan halaman rumah pak Diran. Masih diselimuti oleh rasa tak percaya lalu bapak kuajak untuk ke rumah Mayang yang semalam letaknya tidak jauh dari rumah pak Diran, betapa terkejutnya diriku setelah kusadari bahwa lokasi yang semalam adalah rumah mayang ternyata siang ini hanyalah sekumpulan rumpun bambu (barongan) yang lebat dan meninggalkan kesan sangat angker walau di siang hari. 

Kemudian bapak mengajakku kembali, di perjalanan kami mampir di warung untuk istirahat sejenak sambil minum kopi, di warung ini bapak menceritakan kepadaku bahwa selepas ashar kemarin pak marno meninggal dunia karena stroke, jenazahnya dimakamkan selepas maghrib. Pada waktu bapakku akan ikut menguburkan pak Marno, bapak melihatku sedang melamun di teras dan menyapaku berkali-kali tapi aku tidak menggubrisnya, kemudian ketika sudah pulang dari makam bapak sempat menengok ke kamarku dan mendapatiku sedang tidur mengenakan selimut, lalu pagi harinya bapak kaget mendapatiku sedang tidur di teras rumah, sedangkan pintu rumah dikunci dari dalam.

Dari warung tadi bapak lalu mengajakku sebentar untuk ke makam desa, disana bapak menunjukkan kepadaku sebuah makam yang masih baru dengan tulisan Sumarno di nisannya. Lemas rasanya diriku melihatnya sambil membayangkan yang kualami semalam, lalu bapak mengajakku pulang. Beberapa dari makam pak Marno samar terdengar suara wanita memanggil namaku, spontan kumenoleh kearah panggilan itu dan melihat sebuah makam dengan pohon patah disampingnya, itu adalah makam yang kemarin kubenarkan nisannya, tak sadar kulangkahkan kakiku mendekati makam itu.

"Mayang....jadi ini adalah makam gadis itu.." ucapku lirih

Bapak yang mengetahuinya lalu mendekatiku dan menanyakan apakah aku mengenali makam ini, kujawab tidak. Lalu kami berdua kembali pulang ke rumah dan bersantai di teras, bapak memberiku nasehat untuk tidak sering melamun atau berpikiran kosong. Iseng bapak menanyakan kepadaku tentang hadiah yang semalam diberikan oleh 'pak Diran' kepadaku, diriku yang teringat langsung masuk ke rumah dan mengambil amplop pemberian 'pak Diran' semalam dari celanaku. Amplop itu kubuka dengan diperhatikan oleh bapak, isinya adalah sebuah batu permata kecil berwarna merah, lalu bapak spontan berkata.

"Wah sebuah mirah delima, itu adalah pusaka para genderuwo, sepertinya semalam yang kamu tolong itu adalah keluarga genderuwo Fer" kata bapakku.....

 -TAMAT-

Monday 29 August 2016

Serial Detektif Indigo (SDI): Korban Terakhir (bagian 4)

Kimi, Kazza dan "?" (part 2)


 "Suku naga terkenal sombong tapi kemampuan dan kekuatan mereka luar biasa dahsyat pangeran, mereka adalah salah satu dari tiga bangsa jin tertua yang ada" jelas Hazzam kepadaku.

"Lalu untuk apa makhluk sombong ini mengikutiku dan leluhurku, bukankah mereka lebih hebat dari kami manusia, dan kenapa dari awal dia tidak kalian usir dari istana ini?" tanyaku pada Hazzam.

"Dia sudah terikat denganmu sejak kau lahir, jadi kami menganggap dia adalah bagian dari dirimu pangeran. Dia tertarik padamu karena energimu sangat besar, seperti halnya suku naga yang lain mereka tertarik dengan manusia yang berenergi besar sebagai 'inangnya' tetapi ada yang membedakan antara mereka dengan kami, jin suku naga tidak tinggal di dalam kepala manusia, mereka tinggal dimana manusia yang diikutinya tinggal" Hazzam menjelaskan sambil sesekali dia memberikan isyarat kepada 'naga' itu.

"Dia ini hanya akan membuka mulut apabila seorang manusia bisa menaklukan dirinya, bahkan dia akan bersedia memberitahukan namanya, tapi hanya kepada manusia itu" lanjut Hazzam

 Lalu dia kembali merubah wujudnya menjadi naga hitam, sambil menatap kami bertiga naga hitam itu kemudian terbang keluar istana, entah mau kemana dia pergi sepertinya dia tidak ada maksud untuk berlama-lama disini. Kemudian ada seorang pelayan mendatangi kami, dia mengatakan kalau ratunya memanggil diriku dan Kazza, lalu aku berpamitan pada Hazzam dan pergi ke tempat Kimi bersama Kazza.

Di tempat Kimi beristirahat diriku dan Kazza duduk di samping tempat tidurnya, Kimi masih terlihat lemas walau sudah selamat dari maut, wajahnya masih memberikan senyum kepadaku.

"Alvian pangeranku sudah saatnnya dirimu untuk kembali ke duniamu, bawalah Kazza bersamamu aku masih belum sanggup bergerak bebas. Kazza akan sedikit berguna untuk membantumu kali ini, dia masih anak-anak tapi cukup bisa menjaga dirinya sendiri jadi kau bisa mengandalkannya" ucap Kimi meyakinkanku, dan kulirik Kazza dengan tatapan remeh ( -_-), Kazza pun balik menatapku.

"Kau jangan macam-macam denganku antek naga, aku sama sekali tak peduli denganmu" ujarnya cerewet.

"Jaga santunmu Kazza" balas Kimi tegas kepada Kazza, si putri bawel itu langsung menunduk dan diam.

"Sepertinya dirimu sudah tahu mengenai naga hitam itu ya, aku sudah mengenalnya sejak engkau lahir tapi dia tak bersedia memberitahukan namanya kepadaku, tapi biarlah aku memberitahukan sedikit sesuatu tentang dirinya pangeran. Naga itu mampu merubah dirinya ke beberapa wujud dan masing-masing wujudnya memiliki kekuatan maha dahsyat, dia pernah sesekali menunjukkannya kepadaku terutama disaat dirimu masih kecil dan dalam keadaan bahaya. Yang sudah kau ketahui adalah wujud naga hitam dan panglima perang, kedua wujud itu adalah yang terkuat dan selama ini kadangkala melindungimu disaat bahaya yang kau temui juga mengancam dirinya, sungguh egois memang tapi itulah suku naga harga diri mereka sungguh tinggi hingga seringkali tak peduli pada bahaya yang menimpa 'inangnya'. Lalu wujud senjata, dia bisa merubah diri menjadi pedang dan tombak, wujud ini pernah tak sengaja kau pergunakan untuk melawan jin jahat waktu kau masih bayi. Dan yang terakhir adalah sebuah peti kayu dengan ornamen besi kuning, wujud ini belum kuketahui kemampuannya, mungkin suatu saat akan kau ketahui sendiri. Pangeran jika memang sudah saatnya kau untuk mengenalnya tak perlu kalian saling adu kekuatan, taklukan dia dengan hatimu" Kimi menjelaskan panjang lebar tentang si naga hitam.

"Aku tahu kamu tak tertarik dengannya tapi percayalah dia akan berguna untukmu, leluhurmu dulu juga tidak menemukan dia, tapi dialah yang memohon unutk mengikuti leluhurmu. Sebelum kau kembali mampirlah sebentar ke rumah Hazzam dia ingin memberikan sesuatu untukmu, Kazza akan mengantarmu kesana, dan tolong jagalah Kazza jangan ragu untuk menghukumnya kalau dia berbuat yang tidak baik" lanjut Kimi.

Kazza terlihat sebal dan memalingkan wajahnya, lalu berpamit pada Kimi. Kazza mengantarku ke rumah Hazzam, dia masih tidak mau berbicara padaku, kenapa jadi seperti ini. Sesampainya di rumah Hazzam dia memberikan sesuatu kepadaku, sebuah bola bersinar yang hanya seukuran kelereng.

"Ini adalah saripati angin, ayo telanlah sambil meminum air ini, saripati angin itu berkhasiat membuka kemampuanmu hingga 60% seterusnya, itu jauh lebih besar daripada kemampuan yang selama ini kau gunakan" jelas Hazzam, tak ragu kemudian aku menelannya.

Kembali aku berpamitan kepada Hazzam, kemudian di luar rumahnya si gagak hitam yang tadi kutemui menawarkan dirinya untuk membawaku dan Kazza kembali ke alam manusia.


Jam 23.55 diriku terbangun dengan rasa capek, lalu diriku keluar dari kamar dan menuju dapur untuk mengambil minum. Hmmm ada yang aneh kurasakan dari kepalaku sperti rasa pening tapi tidak begitu berat, cuek sajalah paling-paling efek dari 'bermimpi' tadi. Malam hari hampir seluruh lampu dimatikan di rumahku dan beberapa ruangan diterangi oleh lampu tidur atau lampu malam, kubuka pintu kulkas dan kumencari cemilan di dalamnya, setelah itu aku menuju ruang keluarga dan menyalakan televisi sambil ngemil.

Sepuluh menitan diriku menonton acara televisi lalu mendadak aku sadar bahwa di sbelah kananku ada seekor harimau yang dengan santai ikut menonton, harimau ini duduk dengan santai dan tak mempedulikanku.

"Siapa lagi kau" tanyaku, sedikit terkejut harimau itu lalu menoleh menatapku.

"Ah kau bisa melihatku, emm gadis kecil itu teman baruku dia yang mnegajakku kemari untuk bermain" jawabnya santai.

Astaga aku lupa kalau diriku tadi pulang tidak sendirian, Kazza ikut bersamaku, dan belum lama disini dia sudah memanggil mahkluk-makhluk gaib dari lingkungan sekitar.

"Dia pak Loreng kami tadi berkenalan di ujung jalan sana, karena sepi jadi kuajak kesini saja" Kazza dengan santai menjelaskan.

Aku tak mau ambil pusing, kubirakan saja malam itu Kazza mengajak teman barunya untuk bermain di rumahku, si harimau ini juga tidak macam-macam dia sepertinya begitu menikmati menonton televisi. Sekali-sekali sambil kuajak harimau ini ngobrol.

"Pak Loreng kenapa mengambil wujud harimau, kenpa bukan dinosaurus atau godzilla saja" tanyaku sedikit bercanda.

"Wujud ini sudah lumayan kok, banyak manusia yang 'mengagungkan' wujud ini bahkan menghormatinya, kecuali manusia seperti anda" jawab harimau itu, benar juga sih.

"Kalau mataku tidak salah wujud pak Loreng sebuah makhluk api hijau ya, bapak dari kerajaan mana 'disana'?" tanyaku lagi, kali ini harimau ini menjadi terlihat sedih dan menatap ke arah kazza yang sudah duduk di sebelah kiriku.

"Kerajaannya sudah nggak ada lagi, akhirnya dia memilih berkelana ke alam manusia karena lebih tenang tidak bergejolak seperti disana, tadi kutawari dia untuk pergi ke kerajaan kakakku tapi dia masih ingin disini karena tertarik pada seorang manusia, benar begitu kan" ucap Kazza sambil menatap si harimau, harimau itu menundukkan kepalanya.

Setelah itu keadaan jadi hening dan kami bertiga kembali menonton televisi. Berbeda dengan Kimi, si kazza ini lebih banyak menampakkan dirinya kepadaku daripada bicara 'hati ke hati' seperti Kimi, kelakuannya kekanakan seperti 'kuntilanak' yang suka bermain kesana-kemari, sedangkan si harimau ini pendiam tak banyak bergerak, sesekali dia hanya merubah posisi duduknya, berbeda dengan si tuan putri cerewet yang banyak tingkah itu. Dari jauh kudengar nada dering dari HP-ku lalu bergegas aku menuju kamarku untuk menjawabnya, sebuah nomor tanpa nama menelepon di tengah malam begini.

"Halo siapa ini nelpon kok malam-malam, manusia apa hantu?" tanyaku ketika menjawab panggilan itu.

"Aduh maaf ya saya meneleponmu malam-malam, ini saya Rama, gini loh lokasi Ki Segoro sudah terdeteksi intel, dan tim buru sergap akan berangkat kesana malam ini juga, lokasinya di dekat perbatasan dengan Jawa Tengah. Saya ingin kamu ikut dalam penyergapan, hanya sebagai penasehat spirtual saja bagi tim kami, bagaimana Alvian apakah kamu bersedia?" pinta pak Rama kepadaku, dan sejak kapan aku dapat status jadi penasehat spiritual lagipula ini sudah sangat larut bagaimana aku pamitan dengan orang tuaku, aduuuh.

"Eh pak Rama, beri saya waktu dulu yah, sebentar saja kok untuk pamitan sama bikin alasan ke orang tua saya maklum deh pak ini kan tengah malam" balasku.

"Oke itu artinya kamu setuju ikut ya, nanti saya dan rekan-rekan yang akan menjemputmu langsung ke rumah" pak Rama menanggapi, dia akan menjemputku langsung kemari.

Bergegas kuganti pakaianku lalu ku menuju kamar orang tuaku untuk berpamitan sambil mikir apa alasan yang akan kupakai. Baru sampai di depan kamar tiba-tiba pintu dibuka dari dalam, ternyata itu ibu tiriku sepertinya dia hendak ke toilet.

"Vin mau kemana kamu, pakaianmu rapi banget malam-malam begini mau ke diskotik yah?" tanya mbak Astrid ibu tiriku.

Istri kedua bapakku ini masih muda usianya 37 tahun, ibu kandungku sudah meninggal delapan tahun yang lalu kemudian bapak menikah lagi dengan mbak Astrid yang dulunya tetanggaku, dari pernikahan dengan mbak Astrid ini aku jadi punya adik perempuan berusia 5 tahun.

"Enggak mbak gak ke diskotik kok, emm kebetulan mbak Astrid bangun nih aku mau pamit pergi dulu, ini tadi dimintai tolong sama pak polisi yang tadi siang bertamu ke rumah, mbak tolong jelasin ke bapak yah besok, ini darurat pokoknya" jawabku sambil tergopoh.

"Marah lagi deh bapakmu besok, hati-hati loh Vin kamu jaga diri ya sama mereka, hubungi rumah juga biar kami nggak khawatir, besok kujelasin sama bapakmu tenang aja" balas mbak Astrid, syukurlah dia yang terbangun malam ini.

Dua puluh menit kemudian pak Rama sudah tiba, aku langsung keluar rumah dan menemuinya.

"Bagaimana, sudah siap?" tanya pak Rama.

"Siap om" jawabku sok akrab (habisnya Arina manggil dia 'om' juga sih).

Aku masuk ke dalam mobil, 'perburuan' Ki Segoro dimulai.


-BERSAMBUNG-

Serial Detektif Indigo (SDI): Korban Terakhir (bagian 3)

Kimi, Kazza dan "?" (part 1)


Aku bangun dengan rasa seperti melayang di sebuah ruang kesehatan, secangkir minuman disodorkan untukku, "nih minum dulu biar fresh, kamu tadi ngapain aja sih disana kok sampe acara pingsan segala" omel Arina kepadaku.

Tak berapa lama setelah aku siuman seorang anak buah pak Rama memintaku dan Arina untuk datang ke ruangan pak Rama, dalam perjalan aku masih berpikir bagaimana nanti setelah aku ceritakan tentang yang baru saja aku ketahui tentang si pembunuh itu berdasarkan penerawangan tadi, apakah hal yang diluar logika bisa dipakai untuk menggali kasus pembunuhan berantai ini lebih dalam, pikiranku mulai bergejolak sebaiknya kutunggu saja reaksi pak Rama setelah kuceritakan.

Di ruangan pak Rama selama kurang lebih setengah jam kuceritakan semuanya yang ku ketahui, dengan gaya bicaraku yang aneh ceritaku yang tidak masuk di akal ini membuat semua yang mendengarkan terpana seraya menggeleng-gelengkan kepala, kaget, bingung, berpikir keras, itulah ekspresi mereka yang aku lihat, semuanya kecuali Arina yang sudah 'agak' mengerti tentang diriku terlihat terkesima. Setelah diriku selesai bercerita pak Rama langsung memberikan sesuatu padaku, sebuah plastik tempat barang bukti berisi serpihan cincin.

"Cincin ini sepertinya bisa saya pergunakan utuk menemukan guru spiritual tersangka, apakah bapak percaya kepada saya?" tanyaku kepada pak Rama.

"Walau pun ini semua tidak logis dan diluar prosedur penyelidikan tapi dari bantuanmu kami sudah mulai menemukan titik terang, lakukan saja sebisamu dan timku yang akan melaksanakan perburuan tersangka lainnya" jawaban pak Rama yang membuatku semakin yakin. Kusentuh serpihan cincin itu dan kucoba untuk membangun sebuah link untuk melacak pembuatnya.

"Ki Segoro......" ucapku lirih sambil menatap dengan pandangan kosong,

"Lalu dimana keberadaan dia?" tanya pak Rama,
"Dia tinggal di daerah pesisir pantai selatan, di sebuah hutan......hutan yang penuh tanaman jati......padepokan......ada sebuah cungkup makam, hmmm Raden Maung Jagad" sebuah nama terucap dari mulutku, hanya itulah yang dapat aku gali dari energi yang tersisa dari cincin itu.

"Informasi itu sudah cukup bagi intel untuk menemukan lokasinya, jika kita bisa menangkap Ki Segoro itu maka kita bisa menggali keberadaan istri tersangka"  ujar pak Rama menanggapi.

Sudah menjelang sore ketika diriku diantar pulang ke rumahku, selepas mandi aku langsung menuju kamarku dan bermalas-malasan di atas tempat tidurku. Termenung diriku sembari teringat akan permintaan pribadi pak Rama kepadaku, dia memintaku untuk menemani penyergapan Ki Segoro begitu tim buru sergap sudah mengetahui lokasi padepokannya. Paka Rama mempunyai kekhawatiran dengan kemungkinan kalau Ki Segoro juga memiliki ilmu kebal dan ilmu-ilmu lainnya yang bisa mengganggu penyergapan.

Rasa kantuk mulai menyerangku, sebaiknya tak usah kulawan saja lagian diriku sudah lelah, kupejamkan mata lalu teringat tentang Kimi, bagaimana kondisinya apakah dia baik-baik saja. Sudah menjadi kebiasaan untukku tidur dengan banyak pikiran sehingga seringkali terbawa mimpi, tapi untuk kali ini aku benar-benar mencemaskan Kimi karena diriku tadi tak sempat tahu bagaimana keadaannya setelah aku pingsan, tak lama kemudian diriku terlelap.

Mimpi apakah ini? Sebuah pemandangan hijau sepanjang mata memandang, sungguh indah sekali, dan diriku sedang melayang melewati keindahan yang terhampar di bawahku, kurasakan tubuhku dibawa angin menuju ke suatu tempat. Lalu datang seekor burung hitam besar, seekor gagak seukuran dua kali badan gajah, burung lalu ini mendekatiku dan terbang di sampingku.

"Salamku untukmu pangeran, anda datang untuk mengunjungi kerajaan kami, ijinkan hamba mengantarmu ke istana ratu Kimi, beliau saat sedang sakit dan anda pasti sudah mengetahui hal itu" sapanya.

"Ah iya antarkan aku, anu siapakah namamu gagak besar?" tanyaku

"Sungguhlah tabu bagi bangsa kami untuk menyebutkan nama kepada manusia, tapi hamba yakin anda dalam hati sudah tahu pangeran" jawab gagak itu.

Aku mengiyakan sambil kebingungan, apa perlu diriku asal saja menyebut namanya? Selama perjalanan banyak hal yang kupertanyakan pada gagak itu, dari mulai tata negaranya, rakyatnya hingga sejarahnya, dan dia menjawab dengan jujur seadanya.

"Jadi sebagian besar di kerajaan ini para jin yang berwujud hewan ya, sungguh bagai sebuah negeri dongeng, lalu Kimi eh maksudku ratu Kimi seperti apakah wujudnya yang asli, aku nggak yakin dia berwujud seorang gadis manusia?" tanyaku

"Anda akan mengetahuinya sebentar lagi pangeran, dan hamba mohon disana nanti tolonglah Ratu kami itu, kami semua sangat menyayanginya" jawab gagak itu, dan kuperhatikan airmata yang keluar dari matanya yang tajam sorotnya mengisyaratkan betapa gagak ini sangat menyayangi Kimi.

"Satu lagi yang ingin kupertanyakan, kenapa banyak sekali dari kalian memanggilku 'pangeran' aku ini kan manusia, mengenal Kimi saja juga belum lama" sebuah pertanyaan yang membuat si gagak tak mampu menjawab banyak.

"Hamba tak mempunya informasi tentang hal itu, sungguh tabu bagi hamba untuk mengungkitnya" jawabnya dengan sopan.

Tak seberapa lama mulai terlihat sebuah kota, tak seperti kota manusia, kota ini sebagian bangunannya terbuat dari kristal, tanah liat, pualam dan emas. Di tengah-tengah kota itu terdapat sebuah istana megah yang ditumbuhi banyak pohon, dindingnya yang dari tanah liat pun dirambati tanaman sehingga terlihat hijau dari angkasa. Si gagak lalu mengajakku untuk turun ke gerbang istana itu dimana sudah ada yang ditugaskan untuk menyambut kedatanganku.

"Katir!!" ucapku spontan.

"Selamat datang pangeran, mari ikuti hamba menuju ke tempat ratu Kimi beliau masih tak sadarkan diri" jawab Katir dengan ekspresi dingin.

Katir mengantarku masuk ke dalam istana megah itu, sunguh luar biasa indah interiornya, dinding yang  dilapisi pualam dan berhias pohon yang berbuahkan jamrud, lantainya dari emas dan kristal yang ditata dengan motif yang simetris, diriku dibuat takjub dengan isi istana ini.

"Katir, jika saat ini diriku sedang berada di alam jin mengapa aku tidak melewati terowongan 'itu'?" tanyaku sembari mengikuti Katir.

"Anda pangeran tak perlu melewatinya untuk kesini (kerajaan ini), waktu itu pangeran harus ke tempat 'lain' ingatkah" jawabnya tanpa menoleh sekalipun padaku.

"Jadi 'dia' akhirnya ikut kemari juga, apakah pangeran tidak menyadarinya selama ini?" lanjutnya.

"Siapa 'dia' yang kau maksud itu, apakah si gagak tadi, bukankah dia salah satu prajurit disini" tanyaku kebingungan.

"Bukan dia, biar nanti ada yang menjelaskan untukmu pangeran, hamba tidak ingin ikut campur dengan bangsa 'lain' hahaha" dengan santainya Katir menjawab sambil tertawa kecil, makin bingung aku.

Lalu sampailah kami pada ruang istrihat sang ratu, sebuah pintu dari emas yang berdiri megah di depanku langsung terbuka sendiri.

"Masuklah pangeran, mereka sudah menunggu anda, hamba undur diri sampai disini" pamit Katir.

Kumelangkah masuk ke ruangan megah itu dan kulihat seekor rusa raksasa, ukurannya kira-kira enam kali ukuran gajah dewasa, rusa itu terbaring lemah dengan dikelilingi oleh beberapa pelayan yang sedang merawat luka-lukanya. Serasa hatiku sedang berkata sendiri kepadaku untuk mendekati rusa yang terlihat sedang kesakitan itu dan terucap dari mulutku

"Kimi...." ucapku lirih selagi mendekati tubuhnya.

dan tiba-tiba

"Jadi kau mengenali wujud aslinya, dasar kau manusia picik, kakakku menderita karenamu" bentak seorang gadis kecil kepadaku, usianya terlihat seperti 11-12 tahun, lalu dia meninju perutku
.
"Tuan putri jagalah sikapmu, dia kesini untuk membantu kita mengobati ratu" seorang lelaki berpakaian seperti 'alibaba' menenangkan gadis itu.

"Maafkan dia pangeran, tuan putri masih terbawa emosi karena ratu kami sedang terluka" ucapnya menjelaskan padaku.

"K-kamu adalah jin kelana, tabib dan pencipta benda-benda ajaib di dunia ini" ucapan mulutku tanpa berpikir, 

"Hazzam?" lanjutku

"Pangeran hebat sekali bisa mengetahui siapa diriku, bahkan namaku bisa disebutkan dengan benar, mari ikutlah denganku, ratu harus kita sembuhkan" Hazzam menarik tanganku dan membawaku lebih dekat ke tubuh Kimi.

Kusentuh tubuh Kimi dengan kedua tanganku, kucoba mengalirkan energiku ke tubuhnya, Hazzam dan pelayan lainnya mengikutiku juga melakukannya. Ajaib, wujud Kimi berubah lagi menjadi wanita, kurasa caraku ini berhasil dan kulanjutkan sampai Kimi kembali membuka matanya, dia menatapku dengan berkaca-kaca.

"Kakaaak kau telah sembuh" gadis kecil itu langsung memeluk Kimi yang sudah sadar.

"Kazza...." ucap Kimi lirih menyebut nama gadis kecil itu.

"Kazza ini adikku pangeran, aku mohon maaf atas sikapnya kepadamu tadi, sekali lagi kau telah menyelamatkan aku" lanjutnya

"Justru kamulah yang menyelamatkan aku, anggap saja impas ya" balasku.

Kemudian Hazzam mendekatiku dan mengajakku keluar karena Kimi harus beristirahat Kazza juga mengikuti kami, sesekali Kazza melirikku dengan muka sebal, sungguh benar-benar masih bocah dia. Aku dibawa ke sebuah ruangan untuk bersantai.

"Kau berani datang kemari membawa pengawal dari suku naga" omel Kazza memecah kesunyian.

"Apa maksudmu, aku kemari ini datang sendirian saja kemari" sanggahku.

Lalu Hazzam menengahi kami,

"Sepertinya pangeran tidak menyadarinya ya, 'dia' mengikutimu semenjak lahir sebagaimana 'dia' mengikuti leluhur-leluhur anda, hmm dia berwujud naga hitam di mata kami, ijinkan aku 'membuka' matamu pangeran" Hazzam menjelaskan dan dia mendekatiku lalu menyentuhkan jarinya ke dadaku.

Tidak ada yang aku rasakan sama sekali, entah apa yang dilakukan Hazzam tadi kepadaku, tapi tiba-tiba diriku merasakan kehadiran 'seseorang' lagi selain kami di ruangan ini. Kutolehkan kepalaku ke belakang dan aku terkejut mendapati seekor naga hitam besar terbang meliuk-liuk di belakangku.

"Turunlah dan perkenalkanlah dirimu, pangeran sudah mengetahui keberadaanmu" kata Hazzam kepada naga itu.

Naga itu turun dan merubah wujudnya menjadi seorang lelaki berpakaian seperti panglima perang China kuno, dua buah tombak melayang di belakang tubuhnya, pedang besar di genggamannya, wajahnya oriental dengan roman dingin, bagaimana mungkin diriku tak menyadari kehadirannya hingga saat ini.

"S-Siapa kau, benarkah kau selama ini berada did ekatku, eh maksudku mengikutiku?" tanyaku pada 'naga' itu.

"..............huh" dengan tatapan sombong dia berpaling diam dariku.


-BERSAMBUNG-


Friday 26 August 2016

ARWANA

Arwana


"Pak Satriya, hasil pemeriksaan medis ketiga ini sama saja, Bapak tetap kami vonis Hepatitis namun belum bisa kami pastikan jenisnya, sementara kami tetapkan dulu jenisnya Hepatitis G karena itu adalah varian Hepatitis terbaru yang masih diteliti, sebaiknya anda mengambil cuti dulu dari pekerjaan". Nasehat Dokter itu untuk ketiga kalinya aku dengar, sudah dua bulan ini keadaan tubuhku berubah, dimulai dari sering lelah hingga berat badanku yang merosot tajam, bayangkan saja dari 72 kg beratku kini hanya 55 kg. Ketika kuceritakan penyakitku ini kepada Ibu, beliau mengatakan bahwa dulu diriku sudah komplit diimunisasi dengan vaksin Hepatitis, entah mengapa sekarang aku bisa terkena penyakit yang menyerang liver (hati) ini.

Sesuai nasehat dari Dokter akhirnya aku memilih untuk mengalah dan mengajukan cuti selama dua minggu untuk menjalani pengobatan, kupilih rawat jalan karena menurutku sakit ini masih belum terlalu menjadi-jadi. Syukurlah asistenku sanggup menggantikanku enjalankan tugas sebagai Kepala Bagian Keuangan, jadi aku bisa rileks untuk tidak terlalu memikirkan pekerjaan di kantor. 

Ada yang lucu sekaligus menjegal hatiku selama diriku sakit, yaitu ketika salah satu keponakanku yang diketahui 'indigo' oleh keluargaku tiba-tiba bermain di kamarku sembari mengoceh sesukanya "Om Triya dosanya apaan sih koq dijahati sama temannya", sungguh sebuah kalimat mengejutkan yang keluar dari mulut bocah berusia 4 tahun, walau pun perkataannya itu seakan tidak dibuat-buat dan sempat membuatku kaget tapi aku masih menganggapnya hanya 'sentilan' lewat.

Malam ini sengaja aku tidur tidak terlalu larut seperti biasanya (seringkali diriku tidur larut karena merevisi pekerjaan anak buahku di rumah), jam masih menunjukkan pukul 20.35 dan dengan santai kurebahkan tubuh ini diatas kasur, entah mengapa malam ini kurasakan kamarku ini begitu sunyi tanpa ada suara hewan malam yang biasanya terdengar masuk, senyap bagai sebuah kamar tanpa pintu dan jendela, semakin santai tubuhku merebah lalu entah darimana kudengar suara angin yang bergerak dari telingaku "syuuuuuuuu"  suara itu terdengar, bukan hanya sekali namun suara itu justru berlanjut sehingga memaksaku untuk berdiri dan memeriksa jendela kamarku, "heran, semua sudah tertutup rapat, apakah itu angin dari AC, tapi kenapa bisa sekeras itu" tanyaku dalam hati. Kembali kurebahkan tubuh ini, kumatikan lampu kamar dan kunyalakan lampu tidur sehingga cahaya temaram menerangi kamarku.


DOR DOR.....PLETAR....DHUAAAAR sebuah suara seperti ledakan petasan kudengar pada waktu mataku baru sejenak kupejamkan, "gila, siapa sih malam-malam begini main petasan" gumamku menggerutu sendiri, aku bangun dan langsung menuju jendela untuk melihat keluar, kudongak keatas namun tak terlihat satu petasan pun, tak lama ketika aku akan menutup jendela mendadak terdengar suara hembusan angin lagi, kali ini disertai hawa dingin yang membuatku merinding, lalu terdengar lagi suara ledakan petasan-petasan itu, kupandangi langit dan mataku melihat beberapa bola bercahaya warna merah menuju kearahku, bola-bola itu memiliki ekor layaknya sebuah komet, "astaga fenomena apakah ini, apakah aku ini sedang bermimpi?" aku bergumam sendiri lagi, DHUAAAR...PLETAAR bola-bola bercahaya merah itu mendadak mengeluarkan suara ledakan dan seketika lenyap di udara sebelum menghantam rumahku, sejenak lalu kuistirahatkan diri dan berdoa dengan tenang, kuberanjak kembali ke kasurku dan kumantapkan diri untuk kembali menutup mataku malam ini.

Syuuuuuu.....syuuuuuuuu.......hihihi...ahahahak.....psst..pssst, kurasakan hawa dingin yang menusuk tulang, angin yang berhembus pelan namun dingin sesekali mengarah menubruk tubuhku, dan kudengar suara-suara wanita diantara suara angin yang berhembus dengan dinginnya, sesekali suara mereka sedang tertawa, dan sesekali sedang berbisik-bisik, entah berada dimana aku ini, kabut yang tak mampu ditembus oleh mataku menghalangi diriku untuk bebas bergerak, serasa kaki ini takut jatuh atau kejeblos andai salah melangkah. "Sini Mas ganteng....ayo kesini ikuti suaraku Mas" sebuah suara seakan merayuku mengajakku untuk mengikutinya, apa ini hanya ilusi atau kah suara ini sengaja membimbingku untuk keluar dari tempat ini.

Kuikuti dengan hati-hati suara yang terus merayuku itu, dhuaaak, sebuah hewan berbulu tiba-tiba menubruk kakiku hingga membuatku jatuh terjerembab, aku berdiri lagi lalu dari depan kulihat lagi hewan itu bersiap untuk menyeruduk sekali lagi, ketika sudah dekat dengan jelas dapat kulihat wujudnya, seekor celeng berbulu hitam, kali ini diriku mampu menghindar dari terjangannya, "Ayo larilah kemari biar selamat Mas, ayo Mas Satriya" suara wanita itu kembali merayuku kali ini menyuruhku berlari, kuikuti ajakannya dan kuberlari menuju arah suaranya. Ketika berlari kurasakan ada yang tidak beres di belakangku, perasaan hati mendorongku untuk menoleh kebelakang dan kulihat beberapa keris dan burung gagak terbang mengejarku, lalu kupercepat lariku tanpa mempedulikan lagi arah suara wanita tadi.

Gedebuuuk..... mendadak celeng hitam tadi berdiri pas di depanku  dan menghalangi lariku, jatuh lagi aku terjerembap ke depan, kuberbalik dan kumelihat keris-keris serta gagak tadi bersiap untuk menghunusku. Kemudian dari arah belakangku datang secara misterius sorang wanita, rambutnya putih dan memakai busana Jawa dengan rambut putih terurai sampai ke lutut, wajahnya tak terlihat dan tersembunyi dengan rapi dibalik rambutnya yang terurai. Wanita tadi mendekapku dari belakang lalu keris dan gagak tadi menerjang tubuhku, "tidaaak, tidaaaak jangan sakiti akuuuuu" teriakku mengiringi rasa sakit dan hilangnya sadarku......

 "Triya, Triyaaaa bangun nak, ini sudah jam 11 siang" suara Ibu dengan nada cemas membangunkanku, sungguh tak kusangka mimpiku semalam itu sungguh terlihat seperti kejadian nyata, seakan benar-benar kualami langsung. Ada yang tidak beres sejak sang ini, badanku sangat lemas dan kedua kakiku tak bisa kugerakkan, seisi rumah menjadi gempar melihat kondisiku ini, namun dengan meyakinkan aku bisa membuat mereka tenang dan tidak keburu mengambil keputusan yang sepihak. Sejak hari itu aktifitasku hanya berbaring dan duduk di kasur untuk sekedar memainkan laptop, kakiku tak mampu bergerak lagi dan hal ini sungguh sangat menyebalkan bagiku.

Sudah seminggu kondisiku tidak ada peningkatan, aku tak lagi mampu berbicara dan yang paling mengenaskan adalah badanku semakin kurus hingga terpaksa aku harus opname. Diriku diopname di sebuah rumah sakit tua tempat Pamanku bekerja sebagai Dokter disana, rumah sakit ini tidaklah begitu besar dan gedungnya hanyalah bekas rumah dinas jenderal tentara Belanda, sebuah bangunan yang sangat luas untuk sebuah rumah dan dikelilingi oleh tembok sebagai benteng. Sore harinya Pamanku datang ke kamar tempatku diopname, sejenak dia duduk disebelah ranjangku dan berkata "Triya, Paman ada tamu yang menginap di rumah, Paman sempatkan bercerita tentang kondisimu ke teman Paman itu, besok dia ingin membesukmu, boleh kan?" kuanggukan kepalaku sebagai jawaban karena mulutku masih tak bersuara.

Malamnya di rumah sakit salah satu keponakanku menginap di kamarku untuk menjagaku, dia ini termasuk keponakan yang lengket denganku apalagi dia sering aku ajak jalan-jalan seperti sahabat sendiri. Aku masih terjaga ketika keponakanku sudah terlelap di sofa, hawa malam ini entah mengapa membuatku merinding, ingin rasanya diriku segera tertidur pulas daripada sewaktu-waktu nanti mengalami atau melihat sesuatu yang menakutkan. Dan benar saja, setelah hatiku cemas tiba-tiba di depan mataku muncul sorang 'suster' menembus dinding kamar, dia berjalan tanpa menoleh sedikit pun kearahku dan kembali menembus tembok dan menghilang, astaga apakah mataku baru saja melihat hantu? kemudian datang satu lagi sesosok wanita berambut pirang terurai mengenakan baju berwarna putih tulang berjalan tertatih, darah segar terlihat keluar menetes diantara ke ujung kedua kakinya.........dia muncul dari tembok dan menghilang lagi menembus tembok seperti suster tadi. 

'Hiburan' malam ini belum berakhir, selanjutnya terdengar perlahan sebuah senandung yang sesekali diselingi suara tawa khas Kuntilanak, dan yang terakhir adalah aku dikagetkan oleh munculnya barisan tentara Belanda tanpa kepala yang menembus dinding, mereka berjalan tegap lengkap dengan senjata di pundaknya, prok..prok..prok.prok suara langkah kaki mereka sembari berbaris melintas,  aroma melati pun mulai menyeruak dikamarku dengan diikuti suara Kuntilanak tadi, tak tahan dengan itu semua lalu kupejamkan mata dan berdoa, lambat laun aku mulai merasakan rasa kantuk dan tertidur.

Sore keesokan harinya Pamanku datang membesuk dengan membawa temannya, "Triya perkenalkan ini Wak Roz teman Paman dari Kalimantan, Wak Roz menginap selama tiga hari di rumah Paman karena ada urusan bisnis di sini, nah ini sekalian dia mau melihat keadaanmu" kata Pamanku. Wak Roz mendekat padaku dan menyapaku sembari mengusap dahiku "apa kabar Satriya, Pamanmu bercerita pada saya tentang keadaanmu yang sampai begini, saya jadi tertarik dan iba setelah melihatmu. Tak perlu saya menyembunyikan apa yang saya 'lihat' ya Triya, kamu selama ini mendapat kiriman teluh dari orang yang tidak suka denganmu, dan sepertinya orang itu tidak menghendaki kamu hanya sekedar sakit saja." kata Wak Roz lalu beliau terdiam, sementara diriku yang tak mampu berbicara ini hanya mengedipkan mata sebagai tanda respon. Kemudian Wak Roz seketika keluar dari kamarku, lalu beliau kembali masuk dengan ditemani seorang anak muda yang membawa sebuah aquarium mini berisi sebuah ikan berwarna biru yang indah "ini saya ada hadiah untukmu Triya, sekaligus untuk menjadi selama dioname, ini adalah ikan Arwana hasil budi dayaku sendiri di Kalimantan" ujar Wak Roz, tak lama setelah itu kulihat Wak Roz berbincang sebentar dengan Pamanku, entah apa yang diperbincangkan hingga kulihat wajah Paman berubah sangat cemas.

Keduanya lalu berpamitan padaku dan keponakanku yang menemaniku. Malam itu entah atas ketertarikan apa kuperhatikan terus ikan Arwana itu, dia terlihat begitu indah, anggun gemulai, hingga sampai kusadari bahwa malam itu tidak seperti malam sebelumnya, tak ada penampakan makhluk halus atau pun suara-suara gaib, malam ini tenang dan hanya diwarnai oleh suara serangga malam yang akhirnya membuatku terlelap. Dan tanpa kusadari, malam itu adalah (mungkin) menjadi malam terakhirku......

 Samar kudengar, "tambah lagi dosisnya suster, kalian siapkan alat kejut jantungnya cepat", apakah ini mimpi? 
Tubuhku terasa ringan sekali hingga diriku bisa merasakan lagi kakiku dan kucoba untuk berdiri, waw serasa diriku ini sedang melayang tak ada beban yang kurasakan sama sekali, dimanakah aku sekarang, kenapa tempat ini hanya berupa ruang tanpa batas, bahkan tak kulihat sebuah lantai sekali pun. Tanganku digenggam oleh sebuah 'cahaya' dan dibawanya tubuh ini terbang menuju sebuah pintu dengancahaya yang sangat terang, namun sebuah halilintar menyambarku sebelum 'cahaya' itu membawaku melintasi pintu tersebut, BLAAAAR!! dan seketika semua berubah menjadi gelap dan aku tak sadarkan diri.

Kudengar tangisan Ibuku dan saudara-saudaraku, perlahan kubuka mataku dan kulihat semuanya sedang menangis, entah apa yang mereka tangisi hingga tanpa sadar dari mulutku terucap "Kalian semua menangisi aku?". Kaget, haru dan bingung itulah yang terjadi siang itu, tanpa diriku mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, badanku masih lemas dan pegal rasanya serasa punggungku habis ditarik oleh sesuatu. Saat itu juga pandanganku jadi tertuju pada ikan Arwana pemberian Wak Roz, kuperhatikan bahwa ikan itu diam tak bergerak di dasar aquariumnya.....ikan itu telah mati. Tak lama Dokter dan beberapa perawat menyuruh keluargaku untuk menunggu di luar, "kami ikut bersyukur bahwa anda terselamatkan dari maut Pak Satriya, anda tadi kami nyatakan telah meninggal dunia selama satu jam" penjelasan dari Dokter itu membuatku sangat terkejut, tak kusangka bahwa diriku telah mengalami mati suri.

Seminggu telah berlalu, penyakit yang kuderita dinyatakan telah sembuh dan tubuhku perlahan kembali normal seperti sedia kala, berat badanku juga naik dengan perlahan. Pada malam harinya Pamanku bertandang ke rumah untuk menemuiku, Paman ingin berbincang pribadi denganku. Paman menyampaikan kepadaku sebuah surat dari Wak Roz, isi surat itu menjelaskan semua kejadian yang tidak diriku ketahui.

"Satriya, saya sudah mendengar berita tentang 'kematianmu' dari Arwana yang kuberikan padamu, dan pastilah kamu masih berpikir ada apa dengan ikan Arwana itu sehingga dia mati di hari 'kematianmu'?
Ikan itu sengaja saya berikan padamu untuk menjaga dirimu dari serangan teluh yang terakhir malam itu, Arwana itu sepertinya sangat menyukaimu hingga dia bersedia menukar kematianmu dengan kematiannya, sungguh hal yang benar-benar tak bisa kamu percayai pastinya, tapi Arwana biru memang bukan sembarang ikan, semua ikan Arwana yang saya budi dayakan di sini mempunyai silsilah layaknya sorang manusia, dan mereka istimewa semuanya. Satriya, tenanglah dan tak perlu kamu berpikir lagi tetang kejadian ini, dan terakhir saya ingin memberitahukanmu bahwa sebentar lagi kamu bisa beraktifitas kembali seperti dulu, dan apabila secara tak sengaja kamu mengetahui siapa yang telah mengirim teluh kepadamu tak usahlah kamu berdendam kepadanya.
Semoga kamu sehat selalu, salam Wak Roz"

Begitu saja isi surat dari Wak Roz, teman Pamanku itu ternyata 'orang pintar' makanya beliau mengerti sekali tentang apa yang kualami. Seminggu kemudian aku kembali bekerja di kantorku, aktifitasku kembali lagi seperti dulu, hingga belum sampai jam makan siang ada yang mengabarkan bahwa Pak Wibowo atasanku meninggal dunia, dengan segera kami sekantor menuju ke rumahnya untuk melayat. Di dalam mobil asistenku bercerita "Pak Wibowo sudah dua minggu nggak ngantor Mas, dia mendadak sakit hingga tak sadarkan diri" katanya, sejenak membuatku berpikir apakah Pak Wibowo juga sama sepertiku ya diteluh oleh seseorang.

Sesampainya di kediaman Pak Wibowo kami menemui keluarganya untuk mengucapkan bela sungkawa, waktu itu kebetulan bertepatan dengan acara memandikan jenazah. Sambil menunggu saat pemakaman tiba-tiba kami semua yang datang melayat dikejutkan oleh keramaian yang terjadi di tempat jenazah Pak Wibowo dimandikan, karena penasaran diriku pun jadi ikut-ikutan menuju kesana untuk melihat ada kejadian apakah hingga mendadak ramai begitu, disana karena sesak akan orang yang melihat kusempatkan bertanya pada salah satu pelayat lainnya, "Itu loh Mas, waktu memandikan mayatnya Pak Wibowo dari mulutnya terus keluar sisik ikan yang gede-gede berwarna biru mengkilat" jawabnya yang sontak membuatku terkejut dan seketika merasa lemas, lalu kumelangkah kembali menuju kursi yang disediakan untuk pelayat.

Aku duduk sambil termenung memikirkan kata-kata pelayat tadi, apakah mungkin Pak Wibowo lah yang telah mengirimkan teluh kepadaku, lalu Arwana pemberian Wak Roz yang membalas perbuatannya? Seketika itu pula diriku dikejutkan dengan pesan yang aku terima, dari sebuah nomor yang tak dikenal berbunyi "Triya, semua sudah beres, masalahnya tidak menjadi panjang lagi Arwana itu telah menuntaskan semuanya, kamu jaga diri yah, salam Wak Roz" tulis pesan itu membuatku merinding.

-TAMAT-