Persalinan Tengah Malam
Pertama kalinya dalam sepuluh tahun ini aku pulang ke rumah orang
tuaku di Trenggalek setelah lama berkarir di Surabaya. Namaku Ferry, aku adalah
seorang dokter kandungan di sebuah rumah sakit swasta dan sudah sepuluh tahun
praktek semenjak kudapatkan gelar dokter spesialis. Lucu sekali alasanku untuk
menjadi dokter kandungan, pertama adalah ibu dan nenekku dulu adalah sama-sama
seorang dukun bayi, yang kedua kakakku adalah seorang bidan dan suaminya adalah
seorang dokter PNS yang dipekerjakan di puskesmas, sedangkan diriku ini memilih
arah yang lebih moderat lalu menetap di kota Surabaya.
Aku mudik ini hanya sendirian saja karena diriku masih belum
menikah, mendapat jatah cuti selama dua minggu cukup menyenangkan makanya
kuputuskan untuk kembali ke kampung halamanku. Kampung halamanku ini masih
terlihat seperti dulu dan hanya beberapa tempat saja yang mengalami sentuhan
modern, salah satunya adalah beberapa rumah tetangga dan rumah orang tuaku
sedangkan sisanya adalah kantor desa, sekolah dan puskesmas. Di rumah ini orang
tuaku tinggal bersama kakakku dan suaminya, maklum karena diriku sendiri sudah
menetap di kota.
Hari ini diriku bersama bapak pergi ke makam desa untuk
mengganti nisan di makam adik bungsuku yang sudah meninggal 25 tahun yang lalu,
adikku meninggal karena demam berdarah di usia yang masih muda. Di pemakaman
diriku dan bapak mengganti nisan adikku yang lama dengan nisan baru dibantu
oleh pak Marno juru kunci makam desa. Selesai mengganti makam bapak dan diriku
berdoa di makam adik, setelah selesai bapak pulang lebih dulu sedangkan diriku
ingin mengunjungi makam Indri, mantan tunanganku. Sedikit lama diriku berdoa di
makam Indri sambil mengenang memori yang dulu pernah kujalani bersamanya.
Indri meninggal tujuh tahun yang lalu karena kanker rahim, kami
saling mengenal sejak jaman sekolah dasar dan selepas itu kami selalu
bersekolah di sekolah yang sama. Di jamanku masih kuliah aku selalu sempatkan
untuk menemuinya sekaligus mudik ke rumah, Indri bertunangan denganku selepas
setahun diriku resmi berpraktek di Surabaya, tak banyak lagi yang bisa
kuceritakan karena sisanya kami menjalin hubungan jarak jauh, hingga untuk
terakhir kalinya diriku melihatnya ketika maut menjemputnya.
Baru beberapa langkah aku meninggalkan makam Indri untuk kembali
ke rumah, tiba-tiba diriku dikejutkan oleh suara pohon rubuh beberapa meter di
sampingku. Pohon itu jatuh menimpa sebuah makam yang nampaknya masih baru
sehingga nisannya lepas, karena simpati kudatangi makam itu untuk memasang
kembali batu nisannya, lalu datang pak marno
"Mas Ferry biar saya saja yang benerin, ini sudah tugas saya
kok, sampeyan langsung pulang saja nggih bersih-bersih biar nggak kena
hawa kuburan" ujar pak Marno kepadaku.
Kemudian aku berdiri dan berpamitan pada pak marno, terselip di
pikiranku bahwa aku belum sempat bertanya itu tadi makam siapa. Sesampainya di
rumah aku mandi membersihkan badan dari keringat dan sisa-sisa tanah dari
makam, lalu kuganti pakaianku dengan yang baru dan langsung menuju teras rumah
untuk bersantai sambil melihat keponakanku bermain di halaman dengan anak-anak
tetangga, sedangkan kejadian pohon rubuh tadi tidak kuceritakan pada siapa pun.
Selepas maghrib kembali diriku bersantai di teras depan, entah
mengapa pada malam ini suasana desa menjadi sepi hanya terlihat satu dua orang
yang berlalu lalang naik motor atau berjalan kaki, bulan pun seringkali
tertutupi oleh awan sehingga cahayanya tak sampai menerangi malam, angin dingin
mulai berhembus menambah suasa sepi ini menjadi sangat terasa dengan suaranya
yang mengilir. Sekilas kadang terdengar kidungan jawa yang dibawa oleh angin
sepoi-sepoi seakan sedang ada panggung kesenian, ah mungkin itu hanya
perasaanku saja.
Lalu dari balik jendela tiba-tiba bapakku berbicara padaku
"Ferry, itu di desa sebelah ada pertunjukan ketoprak kalau kamu bosan melamun mending kesana saja melihat, siapa tahu nanti kamu ketemu jodoh" kata bapakku.
Benar juga ya lebih baik aku ke desa sebelah melihat pertunjukan ketoprak saja daripada bengong sendirian disini, mungkin dari sana juga asal suara kidungan jawa tadi. Kemudian kuputuskan untuk berjalan kaki ke desa sebelah yang jaraknya hanya 300 meter saja, di perjalanan sesekali kutemui beberapa orang yang juga berjalan searah denganku, mungkin ini sebabnya malam ini kampungku sepi orang-orang pada ke kampung sebelah untuk menonton ketoprak.
Pada akhirnya diriku kembali berjalan sendiri di setengah perjalanan, tanpa kuperhatikan mendadak saja tidak ada orang yang berjalan searah lagi denganku, untunglah diriku sudah terbiasa dengan suasana sepi seperti ini maklum saja ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran aku sering sekali jaga malam di rumah sakit tempatku magang, bahkan beberapa kali pada malam hari diriku harus menemani mengantar jenazah ke kamar mayat. Sembari menghibur diri dengan kenangan-kenangan di kepalaku mataku melihat ada seseorang yang sepertinya sedang berhenti untuk membetulkan alas kakinya, kudekati dan semakin terlihat jelas sosoknya ternyata seorang gadis manis dan dia mengenakan seperti seragam perawat warna putih yang dibalut oleh sweater berwarna biru muda.
"Selamat malam mbak, sepertinya sedang kesulitan ya, apakah saya bisa membantu?" sapaku seraya menawarkan bantuan kepada gadis itu.
"Selamat malam juga mas, aku nggak apa-apa kok ini cuma tumitku lecet sedikit, tadi aku upa nggak make kaos kaki" jawab gadis itu sembari memasang plester di tumitnya.
"Aku mau ke desa sebelah untuk nonton ketoprak nih, apakah kamu juga mengarah kesana, boleh aku barengi nggak?" tanyaku.
"Boleh mas, rumahku juga disana kok di ujung desa itu tepatnya, ini sekalian aku ingin nonton ketoprak juga, namaku Mayang mas panggil dengan namaku saja yah" balas gadis itu, Mayang sungguh nama yang indah menurutku.
"Iya, namaku Ferry, salam kenal ya Mayang" jawabku.
Lalu kami berdua berjalan bersama menuju lokasi pertunjukan ketoprak itu, enak juga rasanya berjalan dengan ditemani seorang gadis semanis Mayang, perjalanan jadi tidak terasa memakan waktu yang lama dan sampailah kami di tempat pertunjukan ketoprak itu. Meriah juga ketopraknya hingga penontonnya sampai melimpah banyak, aku dan mayang duduk di sebuah bangku dibawah pohon di barisan paling belakang karena tidak mendapat tempat.
Kami menonton ketoprak itu sambil sesekali berbincang kecil.
"Mayang apakah kamu ini seorang perawat, aku perhatikan pakaianmu ini seragam suster kan" tanyaku
"Iya mas aku ini perawat tapi aku tidak berdinas di wilayah sini, aku berdinas di kecamatan luar" jawabnya
Selanjutnya kami berbincang panjang lebar sepanjang pertunjukan ketoprak itu hingga kami benar-benar lupa untuk mengikuti cerita ketopraknya. Selang beberapa waktu datanglah seseorang yang tiba-tiba memotong pembicaraanku dengan Mayang, ternyata dia adalah pak Marno si juru kunci makam desaku.
"Mas Ferry akhirnya saya menemukan sampeyan disini, tadi saya cari di rumah mas nggak ada" ucap pak marno sambil terengah-engah.
"Ada perlu apa pak Marno mencari saya, bapak tenang dulu ya ambil nafas biar santai" jawabku.
"Anu mas Ferry, ada saudara saya dari desa ini yang istrinya hendak melahirkan jadi saya tadi ke rumah sampeyan untuk manggil mbak bidan (kakakku) eh ternyata sedang pergi sama suaminya, trus sama bapak sampeyan saya disuruh nyari mas Ferry kesini, sampeyan kan dokter kandungan mungkin bisa membantu saudara saya, bidan di desa ini sedang ke luar kota" jelas pak Marno.
Diriku tidak habis pikir bagaimana ini menjadi sebuah kebetulan,
tapi aku tak menolak permintaan pak Marno ini karena aku adalah seorang dokter
dan sudah tugasku untuk menolong orang. Kuputuskan untuk ke rumah saudara pak
Marno sekarang juga walau tanpa membawa peralatan medis, lalu kemudian Mayang
menawarkan diri untuk membantuku.
"Mas Ferry biar aku ikut juga yah, aku kan perawat pasti bisa
membantu mas selama proses persalinan nanti" kata Mayang yang langsung
kuiyakan.
Kemudian datang seorang pria yang mengaku saudara pak Marno untuk
mengantarku dan Mayang ke rumahnya, namanya pak Diran, sedangkan pak Marno
harus pamit pulang karena ada urusan lain.
"Mari pak dokter saya antar ke rumah saya, istri saya sudah
sangat kesakitan di rumah" kata pak Diran.
Akhirnya ku ikuti pak Diran menuju rumahnya yang sepertinya
mengarah ke ujung desa, Mayang berjalan seiringan bersamaku, dia terlihat tenang
sekali.
"Tadi katamu rumah kamu di ujung desa ya Mayang, dekat ya
dengan rumah pak Diran" tanyaku pada Mayang, sementara pak Diran berjalan
di depan kami sambil merokok hingga bau khas rokok klobot seakan memenuhi
udara.
"Iya mas rumahku di paling ujung" jawab Mayang singkat.
Tak lama kemudian mataku mulai melihat sebuah rumah yang ukurannya
tergolong besar daripada rumah-rumah lainnya di desa ini, rumah model belanda
bercat putih dengan hiasan lampu minyak di terasnya. Halaman rumah ini begitu
besar dan ada beberapa pohon besar yang lebat tumbuh disana, hawa dingin
mendadak kurasakan begitu kakiku melangkah masuk ke halaman rumah pak Diran
tapi kuanggap biasa saja mungkin karena angin malam ini lumayan kencang
sedikit. Di teras rumah pak Diran aku melihat ada seorang gadis sedang duduk di
kursi, rambutnya panjang dan memakai gaun tidur berwarna putih, gadis itu
tampaknya sedang menyisir rambutnya tanpa mempedulikan kedtangan kami bertiga,
dia bersenandung dengan cueknya, sekilas kulihat kulit tangannya begitu pucat.
"Jangan pedulikan dia mas, itu adik istriku dia agak
terbelakang" ujar pak Diran dengan nada dingin, kemudian dia membuka pintu
rumah dan mempersilahan diriku dan Mayang masuk.
Pak Diran langsung membawa kami ke kamar tempat istrinya sudah
menunggu kami, lumayan diriku sedikit terkejut melihat kondisi istri pak Diran,
wanita itu mengerang kesakitan dengan darah segar keluar dari ujung kedua
kakinya. Sepertinya sudah berlangsung dari tadi kondisi istri pak Diran hingga
kulitnya berubah pucat kesakitan dan rambutnya dibiarkan terurai, pak Diran
kusuruh menunggu di luar kamar saja biar aku dan Mayang bisa membantu istrinya
bersalin.
"Pak Diran tolong ambilkan air hangat ya untuk bayinya
nanti" ujar Mayang dengan lembut, sepertinya dia sudah pernah membantu
pasien yang melahirkan hingga paham tentang persiapannya.
Berdua dengan Mayang aku membantu istri pak Diran untuk
melahirkan, sungguh aneh selama hampir dua jam si jabang bayi tak kunjung
keluar dari pintu rahim ibunya, sementara istri pak Diran semakin mengerang
kesakitan dan mengeluarkan banyak darah. Keanehan lainnya adalah bau darah
wanita ini sungguh sangat anyir bagi hidungku, ini untuk pertama kalinya aku
mencium bau darah segar yang seperti ini, erangan istri pak Diran semakin keras
sambil dia mengejan berusaha mengeluarkan kepala si bayi, lalu tiba-tiba
"Ndang metuo cah bagus, mbak nyanyi nggih nek njenengan
nurut.
Yo prakanca dolanan ing
njaba
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré "
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré "
Sebuah senandung jawa dinyanyikan oleh mayang selagi dirinya
menatap ke pintu rahim wanita itu. Kemudian tak lama keluarlah kepala si bayi
diiringi tangisnya yang keras, lalu kulihat sedang Mayang membersihkan bayi itu
dengan cekatan, di sini aku melihat satu keanehan lagi, badan bayi itu
sepertinya dipenuhi oleh bulu hitam seperti monyet, logika ku mengatakan
mungkin itu pembawaan genetik dari orang tuanya. Mayang lalu menyerahkan bayi
itu kepada istri pak Diran, sambil berbincang dengan bahasa yang tidak aku
mengerti Mayang dan istri pak Diran sepertinya sedang tertawa senang diiringi
tangis si bayi.
Kemudian aku membersihkan diri dan memberitahu pak Diran kalau
putranya telah lahir, dia sangat bahagia sekali dan langsung mendatangi
istrinya, digendongnya putra yang baru lahir itu. Mayang lalu mengajakku untuk
berpamitan pada keluarga pak Diran karena sudah malam, pak Diran mengucapkan
banyak terima kasih kepadaku lalu dia memberikan sebuah amplop berwarna coklat
yang terlihat lusuh padaku, aku menolaknya dan menyarankan agar Mayang saja
yang menerimanya. Aneh Mayang juga menolak pemberian pak Diran itu dan ikut
memaksaku untuk menerimanya, diriku akhirnya mengalah dan menerima pemberian
pak Diran itu, lalu kami berpamitan pulang dan pak Diran sambil menggendong
bayinya mengantar kami hanya sampai di teras saja.
Mayang dan diriku berjalan melintasi halaman rumah pak Diran yang
luas, lalu kudapati adik istrinya sedang menyapu tanah di sekitar pohon yang
paling besar di halamannya sambil bernyanyi-nyanyi kecil lagu jawa. Aku
mengantar Mayang pulang ke rumahnya yang lumayan dekat dengan rumah pak Diran,
rumah Mayang ini rupanya tak jauh berbeda dengan rumah pak Diran yaitu
sama-sama rumah model Belanda tapi cat di dindingnya lebih lusuh dan kotor,
kemudian Mayang menghentikan langkahnya tepat di depan pagar rumahnya.
"Mas Ferry mengantar sampai disini saja ya, habis ini mas
langsung pulang saja ke rumah kasian kamu sudah kelihatan capek mas, besok saja
mas main kesini kebetulan Mayang libur kerja" kata Mayang.
Seperti terhipnotis aku mengangguk saja kepada Mayang tanpa
berkata apa-apa, lalu diriku berbalik dan berjalan menuju desaku, sepanjang
perjalanan sangat sepi dan udaranya dingin sekali. Sekitar 45 menit akhirnya
aku sampai juga di rumah dan kakiku sangat lelah karena berjalan lumayan lama,
padahal waktu berangkat tadi tidak seberapa jaraknya ke desa sebelah. Pintu
rumahku sudah dikunci, kuketuk-ketuk pintu rumah juga tidak ada yang menjawab,
karena sudah telanjur kecapekan akhirnya malam ini aku tidur di teras rumah.
"Fer...Ferry, hei bangun Fer" samar-samar tendengar
suara bapak menbangunkanku.
"Ayo bangun Fer, kamu ngapain tidur diteras, nggak kedinginan
apa" ternyata benar suara bapak, beliau membangunkanku dan menyuruhku
untuk langsung mandi.
Setelah mandi dan sarapan kutemui bapak di teras rumah, lalu
kuceritakan semua yang kualami semalam dengan sangat detil. Bapak hanya
menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan ceritaku, tanpa berkomentar bapak lalu
beranjak dari kursi dan masuk ke dalam rumah seraya mencueki diriku, lalu bapak
keluar lagi dan mengajakku untuk naik motornya. Aku dibonceng bapakku di
motornya, sepertinya mengarah ke desa sebelah, sekitar sepuluh menit lalu bapak
menghentikan motornya di sebuah kebun mangga, aku terkejut setelah melihat
sekeliling did alam kebun mangga itu ada rumah tua yang sudah terbengkalai tak
terawat.
Bentuk rumah itu persis sekali dengan rumah pak Diran semalam dan
makin lama kebun mangga ini juga terlihat mirip dengan halaman rumah pak Diran.
Masih diselimuti oleh rasa tak percaya lalu bapak kuajak untuk ke rumah Mayang
yang semalam letaknya tidak jauh dari rumah pak Diran, betapa terkejutnya
diriku setelah kusadari bahwa lokasi yang semalam adalah rumah mayang ternyata
siang ini hanyalah sekumpulan rumpun bambu (barongan) yang lebat dan
meninggalkan kesan sangat angker walau di siang hari.
Kemudian bapak mengajakku kembali, di perjalanan kami mampir di
warung untuk istirahat sejenak sambil minum kopi, di warung ini bapak
menceritakan kepadaku bahwa selepas ashar kemarin pak marno meninggal dunia
karena stroke, jenazahnya dimakamkan selepas maghrib. Pada waktu bapakku akan
ikut menguburkan pak Marno, bapak melihatku sedang melamun di teras dan menyapaku
berkali-kali tapi aku tidak menggubrisnya, kemudian ketika sudah pulang dari
makam bapak sempat menengok ke kamarku dan mendapatiku sedang tidur mengenakan
selimut, lalu pagi harinya bapak kaget mendapatiku sedang tidur di teras rumah,
sedangkan pintu rumah dikunci dari dalam.
Dari warung tadi bapak lalu mengajakku sebentar untuk ke makam
desa, disana bapak menunjukkan kepadaku sebuah makam yang masih baru dengan
tulisan Sumarno di nisannya. Lemas rasanya diriku melihatnya sambil
membayangkan yang kualami semalam, lalu bapak mengajakku pulang. Beberapa dari
makam pak Marno samar terdengar suara wanita memanggil namaku, spontan
kumenoleh kearah panggilan itu dan melihat sebuah makam dengan pohon patah
disampingnya, itu adalah makam yang kemarin kubenarkan nisannya, tak sadar
kulangkahkan kakiku mendekati makam itu.
"Mayang....jadi ini adalah makam gadis itu.." ucapku
lirih
Bapak yang mengetahuinya lalu mendekatiku dan menanyakan apakah
aku mengenali makam ini, kujawab tidak. Lalu kami berdua kembali pulang ke
rumah dan bersantai di teras, bapak memberiku nasehat untuk tidak sering
melamun atau berpikiran kosong. Iseng bapak menanyakan kepadaku tentang hadiah
yang semalam diberikan oleh 'pak Diran' kepadaku, diriku yang teringat langsung
masuk ke rumah dan mengambil amplop pemberian 'pak Diran' semalam dari
celanaku. Amplop itu kubuka dengan diperhatikan oleh bapak, isinya adalah
sebuah batu permata kecil berwarna merah, lalu bapak spontan berkata.
"Wah sebuah mirah delima, itu adalah pusaka para genderuwo,
sepertinya semalam yang kamu tolong itu adalah keluarga genderuwo Fer"
kata bapakku.....
-TAMAT-
No comments:
Post a Comment