Tuesday 30 August 2016

Persalinan Tengah Malam



Persalinan Tengah Malam 


Pertama kalinya dalam sepuluh tahun ini aku pulang ke rumah orang tuaku di Trenggalek setelah lama berkarir di Surabaya. Namaku Ferry, aku adalah seorang dokter kandungan di sebuah rumah sakit swasta dan sudah sepuluh tahun praktek semenjak kudapatkan gelar dokter spesialis. Lucu sekali alasanku untuk menjadi dokter kandungan, pertama adalah ibu dan nenekku dulu adalah sama-sama seorang dukun bayi, yang kedua kakakku adalah seorang bidan dan suaminya adalah seorang dokter PNS yang dipekerjakan di puskesmas, sedangkan diriku ini memilih arah yang lebih moderat lalu menetap di kota Surabaya.

 Aku mudik ini hanya sendirian saja karena diriku masih belum menikah, mendapat jatah cuti selama dua minggu cukup menyenangkan makanya kuputuskan untuk kembali ke kampung halamanku. Kampung halamanku ini masih terlihat seperti dulu dan hanya beberapa tempat saja yang mengalami sentuhan modern, salah satunya adalah beberapa rumah tetangga dan rumah orang tuaku sedangkan sisanya adalah kantor desa, sekolah dan puskesmas. Di rumah ini orang tuaku tinggal bersama kakakku dan suaminya, maklum karena diriku sendiri sudah menetap di kota.

 Hari ini diriku bersama bapak pergi ke makam desa untuk mengganti nisan di makam adik bungsuku yang sudah meninggal 25 tahun yang lalu, adikku meninggal karena demam berdarah di usia yang masih muda. Di pemakaman diriku dan bapak mengganti nisan adikku yang lama dengan nisan baru dibantu oleh pak Marno juru kunci makam desa. Selesai mengganti makam bapak dan diriku berdoa di makam adik, setelah selesai bapak pulang lebih dulu sedangkan diriku ingin mengunjungi makam Indri, mantan tunanganku. Sedikit lama diriku berdoa di makam Indri sambil mengenang memori yang dulu pernah kujalani bersamanya.

Indri meninggal tujuh tahun yang lalu karena kanker rahim, kami saling mengenal sejak jaman sekolah dasar dan selepas itu kami selalu bersekolah di sekolah yang sama. Di jamanku masih kuliah aku selalu sempatkan untuk menemuinya sekaligus mudik ke rumah, Indri bertunangan denganku selepas setahun diriku resmi berpraktek di Surabaya, tak banyak lagi yang bisa kuceritakan karena sisanya kami menjalin hubungan jarak jauh, hingga untuk terakhir kalinya diriku melihatnya ketika maut menjemputnya. 

Baru beberapa langkah aku meninggalkan makam Indri untuk kembali ke rumah, tiba-tiba diriku dikejutkan oleh suara pohon rubuh beberapa meter di sampingku. Pohon itu jatuh menimpa sebuah makam yang nampaknya masih baru sehingga nisannya lepas, karena simpati kudatangi makam itu untuk memasang kembali batu nisannya, lalu datang pak marno

"Mas Ferry biar saya saja yang benerin, ini sudah tugas saya kok, sampeyan langsung pulang saja nggih bersih-bersih biar nggak kena hawa kuburan" ujar pak Marno kepadaku.

Kemudian aku berdiri dan berpamitan pada pak marno, terselip di pikiranku bahwa aku belum sempat bertanya itu tadi makam siapa. Sesampainya di rumah aku mandi membersihkan badan dari keringat dan sisa-sisa tanah dari makam, lalu kuganti pakaianku dengan yang baru dan langsung menuju teras rumah untuk bersantai sambil melihat keponakanku bermain di halaman dengan anak-anak tetangga, sedangkan kejadian pohon rubuh tadi tidak kuceritakan pada siapa pun.

Selepas maghrib kembali diriku bersantai di teras depan, entah mengapa pada malam ini suasana desa menjadi sepi hanya terlihat satu dua orang yang berlalu lalang naik motor atau berjalan kaki, bulan pun seringkali tertutupi oleh awan sehingga cahayanya tak sampai menerangi malam, angin dingin mulai berhembus menambah suasa sepi ini menjadi sangat terasa dengan suaranya yang mengilir. Sekilas kadang terdengar kidungan jawa yang dibawa oleh angin sepoi-sepoi seakan sedang ada panggung kesenian, ah mungkin itu hanya perasaanku saja.

Lalu dari balik jendela tiba-tiba bapakku berbicara padaku

"Ferry, itu di desa sebelah ada pertunjukan ketoprak kalau kamu bosan melamun mending kesana saja melihat, siapa tahu nanti kamu ketemu jodoh" kata bapakku.

Benar juga ya lebih baik aku ke desa sebelah melihat pertunjukan ketoprak saja daripada bengong sendirian disini, mungkin dari sana juga asal suara kidungan jawa tadi. Kemudian kuputuskan untuk berjalan kaki ke desa sebelah yang jaraknya hanya 300 meter saja, di perjalanan sesekali kutemui beberapa orang yang juga berjalan searah denganku, mungkin ini sebabnya malam ini kampungku sepi orang-orang pada ke kampung sebelah untuk menonton ketoprak.

Pada akhirnya diriku kembali berjalan sendiri di setengah perjalanan, tanpa kuperhatikan mendadak saja tidak ada orang yang berjalan searah lagi denganku, untunglah diriku sudah terbiasa dengan suasana sepi seperti ini maklum saja ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran aku sering sekali jaga malam di rumah sakit tempatku magang, bahkan beberapa kali pada malam hari diriku harus menemani mengantar jenazah ke kamar mayat. Sembari menghibur diri dengan kenangan-kenangan di kepalaku mataku melihat ada seseorang yang sepertinya sedang berhenti untuk membetulkan alas kakinya, kudekati dan semakin terlihat jelas sosoknya ternyata seorang gadis manis dan dia mengenakan seperti seragam perawat warna putih yang dibalut oleh sweater berwarna biru muda.

"Selamat malam mbak, sepertinya sedang kesulitan ya, apakah saya bisa membantu?" sapaku seraya menawarkan bantuan kepada gadis itu.

"Selamat malam juga mas, aku nggak apa-apa kok ini cuma tumitku lecet sedikit, tadi aku upa nggak make kaos kaki" jawab gadis itu sembari memasang plester di tumitnya.

"Aku mau ke desa sebelah untuk nonton ketoprak nih, apakah kamu juga mengarah kesana, boleh aku barengi nggak?" tanyaku.

"Boleh mas, rumahku juga disana kok di ujung desa itu tepatnya, ini sekalian aku ingin nonton ketoprak juga, namaku Mayang mas panggil dengan namaku saja yah" balas gadis itu, Mayang sungguh nama yang indah menurutku.

"Iya, namaku Ferry, salam kenal ya Mayang" jawabku.

Lalu kami berdua berjalan bersama menuju lokasi pertunjukan ketoprak itu, enak juga rasanya berjalan dengan ditemani seorang gadis semanis Mayang, perjalanan jadi tidak terasa memakan waktu yang lama dan sampailah kami di tempat pertunjukan ketoprak itu. Meriah juga ketopraknya hingga penontonnya sampai melimpah banyak, aku dan mayang duduk di sebuah bangku dibawah pohon di barisan paling belakang karena tidak mendapat tempat.

Kami menonton ketoprak itu sambil sesekali berbincang kecil.

"Mayang apakah kamu ini seorang perawat, aku perhatikan pakaianmu ini seragam suster kan" tanyaku

"Iya mas aku ini perawat tapi aku tidak berdinas di wilayah sini, aku berdinas di kecamatan luar" jawabnya

Selanjutnya kami berbincang panjang lebar sepanjang pertunjukan ketoprak itu hingga kami benar-benar lupa untuk mengikuti cerita ketopraknya. Selang beberapa waktu datanglah seseorang yang tiba-tiba memotong pembicaraanku dengan Mayang, ternyata dia adalah pak Marno si juru kunci makam desaku.

"Mas Ferry akhirnya saya menemukan sampeyan disini, tadi saya cari di rumah mas nggak ada" ucap pak marno sambil terengah-engah.

"Ada perlu apa pak Marno mencari saya, bapak tenang dulu ya ambil nafas biar santai" jawabku.

"Anu mas Ferry, ada saudara saya dari desa ini yang istrinya hendak melahirkan jadi saya tadi ke rumah sampeyan untuk manggil mbak bidan (kakakku) eh ternyata sedang pergi sama suaminya, trus sama bapak sampeyan saya disuruh nyari mas Ferry kesini, sampeyan kan dokter kandungan mungkin bisa membantu saudara saya, bidan di desa ini sedang ke luar kota" jelas pak Marno.

Diriku tidak habis pikir bagaimana ini menjadi sebuah kebetulan, tapi aku tak menolak permintaan pak Marno ini karena aku adalah seorang dokter dan sudah tugasku untuk menolong orang. Kuputuskan untuk ke rumah saudara pak Marno sekarang juga walau tanpa membawa peralatan medis, lalu kemudian Mayang menawarkan diri untuk membantuku.

"Mas Ferry biar aku ikut juga yah, aku kan perawat pasti bisa membantu mas selama proses persalinan nanti" kata Mayang yang langsung kuiyakan.

Kemudian datang seorang pria yang mengaku saudara pak Marno untuk mengantarku dan Mayang ke rumahnya, namanya pak Diran, sedangkan pak Marno harus pamit pulang karena ada urusan lain.

"Mari pak dokter saya antar ke rumah saya, istri saya sudah sangat kesakitan di rumah" kata pak Diran.

Akhirnya ku ikuti pak Diran menuju rumahnya yang sepertinya mengarah ke ujung desa, Mayang berjalan seiringan bersamaku, dia terlihat tenang sekali.

"Tadi katamu rumah kamu di ujung desa ya Mayang, dekat ya dengan rumah pak Diran" tanyaku pada Mayang, sementara pak Diran berjalan di depan kami sambil merokok hingga bau khas rokok klobot seakan memenuhi udara.

"Iya mas rumahku di paling ujung" jawab Mayang singkat.

Tak lama kemudian mataku mulai melihat sebuah rumah yang ukurannya tergolong besar daripada rumah-rumah lainnya di desa ini, rumah model belanda bercat putih dengan hiasan lampu minyak di terasnya. Halaman rumah ini begitu besar dan ada beberapa pohon besar yang lebat tumbuh disana, hawa dingin mendadak kurasakan begitu kakiku melangkah masuk ke halaman rumah pak Diran tapi kuanggap biasa saja mungkin karena angin malam ini lumayan kencang sedikit. Di teras rumah pak Diran aku melihat ada seorang gadis sedang duduk di kursi, rambutnya panjang dan memakai gaun tidur berwarna putih, gadis itu tampaknya sedang menyisir rambutnya tanpa mempedulikan kedtangan kami bertiga, dia bersenandung dengan cueknya, sekilas kulihat kulit tangannya begitu pucat.

"Jangan pedulikan dia mas, itu adik istriku dia agak terbelakang" ujar pak Diran dengan nada dingin, kemudian dia membuka pintu rumah dan mempersilahan diriku dan Mayang masuk.

Pak Diran langsung membawa kami ke kamar tempat istrinya sudah menunggu kami, lumayan diriku sedikit terkejut melihat kondisi istri pak Diran, wanita itu mengerang kesakitan dengan darah segar keluar dari ujung kedua kakinya. Sepertinya sudah berlangsung dari tadi kondisi istri pak Diran hingga kulitnya berubah pucat kesakitan dan rambutnya dibiarkan terurai, pak Diran kusuruh menunggu di luar kamar saja biar aku dan Mayang bisa membantu istrinya bersalin.

"Pak Diran tolong ambilkan air hangat ya untuk bayinya nanti" ujar Mayang dengan lembut, sepertinya dia sudah pernah membantu pasien yang melahirkan hingga paham tentang persiapannya.

Berdua dengan Mayang aku membantu istri pak Diran untuk melahirkan, sungguh aneh selama hampir dua jam si jabang bayi tak kunjung keluar dari pintu rahim ibunya, sementara istri pak Diran semakin mengerang kesakitan dan mengeluarkan banyak darah. Keanehan lainnya adalah bau darah wanita ini sungguh sangat anyir bagi hidungku, ini untuk pertama kalinya aku mencium bau darah segar yang seperti ini, erangan istri pak Diran semakin keras sambil dia mengejan berusaha mengeluarkan kepala si bayi, lalu tiba-tiba

"Ndang metuo cah bagus, mbak nyanyi nggih nek njenengan nurut.
Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhangé kaya rina
Rembulané kang ngawé-awé
Ngélikaké aja turu soré-soré

Sebuah senandung jawa dinyanyikan oleh mayang selagi dirinya menatap ke pintu rahim wanita itu. Kemudian tak lama keluarlah kepala si bayi diiringi tangisnya yang keras, lalu kulihat sedang Mayang membersihkan bayi itu dengan cekatan, di sini aku melihat satu keanehan lagi, badan bayi itu sepertinya dipenuhi oleh bulu hitam seperti monyet, logika ku mengatakan mungkin itu pembawaan genetik dari orang tuanya. Mayang lalu menyerahkan bayi itu kepada istri pak Diran, sambil berbincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti Mayang dan istri pak Diran sepertinya sedang tertawa senang diiringi tangis si bayi.

Kemudian aku membersihkan diri dan memberitahu pak Diran kalau putranya telah lahir, dia sangat bahagia sekali dan langsung mendatangi istrinya, digendongnya putra yang baru lahir itu. Mayang lalu mengajakku untuk berpamitan pada keluarga pak Diran karena sudah malam, pak Diran mengucapkan banyak terima kasih kepadaku lalu dia memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat lusuh padaku, aku menolaknya dan menyarankan agar Mayang saja yang menerimanya. Aneh Mayang juga menolak pemberian pak Diran itu dan ikut memaksaku untuk menerimanya, diriku akhirnya mengalah dan menerima pemberian pak Diran itu, lalu kami berpamitan pulang dan pak Diran sambil menggendong bayinya mengantar kami hanya sampai di teras saja.

Mayang dan diriku berjalan melintasi halaman rumah pak Diran yang luas, lalu kudapati adik istrinya sedang menyapu tanah di sekitar pohon yang paling besar di halamannya sambil bernyanyi-nyanyi kecil lagu jawa. Aku mengantar Mayang pulang ke rumahnya yang lumayan dekat dengan rumah pak Diran, rumah Mayang ini rupanya tak jauh berbeda dengan rumah pak Diran yaitu sama-sama rumah model Belanda tapi cat di dindingnya lebih lusuh dan kotor, kemudian Mayang menghentikan langkahnya tepat di depan pagar rumahnya.

"Mas Ferry mengantar sampai disini saja ya, habis ini mas langsung pulang saja ke rumah kasian kamu sudah kelihatan capek mas, besok saja mas main kesini kebetulan Mayang libur kerja" kata Mayang.

Seperti terhipnotis aku mengangguk saja kepada Mayang tanpa berkata apa-apa, lalu diriku berbalik dan berjalan menuju desaku, sepanjang perjalanan sangat sepi dan udaranya dingin sekali. Sekitar 45 menit akhirnya aku sampai juga di rumah dan kakiku sangat lelah karena berjalan lumayan lama, padahal waktu berangkat tadi tidak seberapa jaraknya ke desa sebelah. Pintu rumahku sudah dikunci, kuketuk-ketuk pintu rumah juga tidak ada yang menjawab, karena sudah telanjur kecapekan akhirnya malam ini aku tidur di teras rumah.

"Fer...Ferry, hei bangun Fer" samar-samar tendengar suara bapak menbangunkanku.

"Ayo bangun Fer, kamu ngapain tidur diteras, nggak kedinginan apa" ternyata benar suara bapak, beliau membangunkanku dan menyuruhku untuk langsung mandi.

Setelah mandi dan sarapan kutemui bapak di teras rumah, lalu kuceritakan semua yang kualami semalam dengan sangat detil. Bapak hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan ceritaku, tanpa berkomentar bapak lalu beranjak dari kursi dan masuk ke dalam rumah seraya mencueki diriku, lalu bapak keluar lagi dan mengajakku untuk naik motornya. Aku dibonceng bapakku di motornya, sepertinya mengarah ke desa sebelah, sekitar sepuluh menit lalu bapak menghentikan motornya di sebuah kebun mangga, aku terkejut setelah melihat sekeliling did alam kebun mangga itu ada rumah tua yang sudah terbengkalai tak terawat.

Bentuk rumah itu persis sekali dengan rumah pak Diran semalam dan makin lama kebun mangga ini juga terlihat mirip dengan halaman rumah pak Diran. Masih diselimuti oleh rasa tak percaya lalu bapak kuajak untuk ke rumah Mayang yang semalam letaknya tidak jauh dari rumah pak Diran, betapa terkejutnya diriku setelah kusadari bahwa lokasi yang semalam adalah rumah mayang ternyata siang ini hanyalah sekumpulan rumpun bambu (barongan) yang lebat dan meninggalkan kesan sangat angker walau di siang hari. 

Kemudian bapak mengajakku kembali, di perjalanan kami mampir di warung untuk istirahat sejenak sambil minum kopi, di warung ini bapak menceritakan kepadaku bahwa selepas ashar kemarin pak marno meninggal dunia karena stroke, jenazahnya dimakamkan selepas maghrib. Pada waktu bapakku akan ikut menguburkan pak Marno, bapak melihatku sedang melamun di teras dan menyapaku berkali-kali tapi aku tidak menggubrisnya, kemudian ketika sudah pulang dari makam bapak sempat menengok ke kamarku dan mendapatiku sedang tidur mengenakan selimut, lalu pagi harinya bapak kaget mendapatiku sedang tidur di teras rumah, sedangkan pintu rumah dikunci dari dalam.

Dari warung tadi bapak lalu mengajakku sebentar untuk ke makam desa, disana bapak menunjukkan kepadaku sebuah makam yang masih baru dengan tulisan Sumarno di nisannya. Lemas rasanya diriku melihatnya sambil membayangkan yang kualami semalam, lalu bapak mengajakku pulang. Beberapa dari makam pak Marno samar terdengar suara wanita memanggil namaku, spontan kumenoleh kearah panggilan itu dan melihat sebuah makam dengan pohon patah disampingnya, itu adalah makam yang kemarin kubenarkan nisannya, tak sadar kulangkahkan kakiku mendekati makam itu.

"Mayang....jadi ini adalah makam gadis itu.." ucapku lirih

Bapak yang mengetahuinya lalu mendekatiku dan menanyakan apakah aku mengenali makam ini, kujawab tidak. Lalu kami berdua kembali pulang ke rumah dan bersantai di teras, bapak memberiku nasehat untuk tidak sering melamun atau berpikiran kosong. Iseng bapak menanyakan kepadaku tentang hadiah yang semalam diberikan oleh 'pak Diran' kepadaku, diriku yang teringat langsung masuk ke rumah dan mengambil amplop pemberian 'pak Diran' semalam dari celanaku. Amplop itu kubuka dengan diperhatikan oleh bapak, isinya adalah sebuah batu permata kecil berwarna merah, lalu bapak spontan berkata.

"Wah sebuah mirah delima, itu adalah pusaka para genderuwo, sepertinya semalam yang kamu tolong itu adalah keluarga genderuwo Fer" kata bapakku.....

 -TAMAT-

No comments:

Post a Comment