Sunday 14 August 2016

Serial Detektif Indigo (SDI): Pembunuhan “dr.Kemala” (bagian 3)


Perkenalan dengan “Kimi”

Oh senangnya hatiku hari ini dokter Arina mengundangku ke rumahnya (masalah pembunuhan Kemala aku kesampingkan) padahal ini bukan pertama kalinya diriku jatuh cinta loh, sepertinya dari awal wanita semi-galak itu sudah masuk ke hatiku. Sengaja hari ini aku bangun pagi untuk mempersiapkan diri, seolah aku gelap mata karena sudah gede rasa memenangkan perhatian dari dokter Arina, kumanjakan tubuh ini dengan mandi sebersih mungkin hingga wangi sabun melekat erat di badanku. Kuambil pakaian terbaikku dari lemari, sepatu pun kubersihkan hingga terlihat baru lagi, kemudian ku menuju meja makan dan sarapan. Jam 9 pagi diriku pun bersiap di depan rumah menuggu ojek online yang sudah kupesan (aku tak punya mobil sih, ada juga mobilnya ayah dan diriku pantang untuk meminjamnya), akhirnya ojek yang kupesan datang menjemputku, bruuum, kami meluncur ke rumah dokter Arina.

Alamat rumah dokter Arina mudah untuk ditemukan, tukang ojek yang mengantarku seakan sudah hafal arah ke rumahnya. Dua tikungan sebelum sampai di rumahnya ojek yang kutumpangi berhenti karena ada iring-iringan pengantar jenazah, sembari menunggu iring-iringan itu lewat mataku tertuju pada sebuah pos satpam di ujung tikungan pas di arah seberang kami berhenti, ada seorang gadis manis berwajah tanpa ekspresi sama sekali, dia mengenakan pakaian semacam daster berwarna biru keabu-abuan, gadis itu menatap langsung ke mataku seakan kami sudah saling mengenal. Iseng kubertanya dalam hatiku siapakah dirinya, “nanti saja kita berkenalan”, sebuah suara menggaung di kepalaku seakan suara itu datang langsung dari samping telingaku………Sekejap kepalaku menoleh lagi kearahnya namun gadis itu sudah lenyap, aku jadi yakin dia bukan manusia.

Akhirnya sampai juga di rumah dokter Arina, rumahnya terlihat masih model 80an hanya pagar dan taman yang tampaknya direstorasi dengan sentuhan arsitektur modern. Kupencet bel di balik pagar dan muncul seorang lelaki paruh baya memakai pakaian batik, “mencari siapa nak?” tanyanya, kujawab maksud kedatanganku kemari dan dibukalah pintu pagar, “duduk saja di kursi teras, biar kupanggilkan anakku” katanya dan aku mengiyakan. Ternyata lelaki itu bapaknya pujaan hatiku (saat ini), rambutya sudah putih rata namun badannya masih tegap (mungkin seorang purnawirawan kali yah), “Arina sudah saya beritahu kamu datang, tunggu saja yah saya mau melayat ke RT sebelah” kata lelaki itu sambil berlalu meninggalkan diriku di teras rumah. Sambil duduk santai mataku berkeliling melihat taman kecil di rumah ini, namun sesaat aku merasakan sebuah getaran hawa yang tidak biasa, hawa ini bukanlah hawa yang dimiliki oleh manusia sehingga tengkukku merinding dan kepekaanku mulai menunjukkan sesuatu, “siapa lagi kali ini” tanyaku dalam hati. Aroma kamboja dan minyak jafaron mendadak ikut meramaikan suasana gaib yang aku rasakan di teras rumah ini, pikiranku jadi semakin penasaran “apakah ada yang tidak beres di rumah ini?”. Segera kutampis pikiran negatif itu karena dokter Arina adalah seorang wnita berpendidikan dan sangat menggunakan logika untuk berpikir, namun hawa ini masih ada dan seakan mengelilingi badanku. “Selamat pagi Alvian, kamu ini selalu tepat waktu yah orangnya” suara sapaan dokter Arina memecah konsentrasiku yang terfokus pada hawa tidak enak tadi, herannya kudapati hawa itu sekalian hilang dengan munculnya dokter Arina.

Akhirnya kami berdua mengobrol, dimulai dari kujelaskan tentang diriku diluar statusku sebagai pasien mental, sedikit demi sedikit dia mulai bias menerima penjelasanku namun dia mengatakan bahwa sesuatu yang hanya halusinasi di dalam kepala tak akan bias mengalahkan logika. “Aku paham apa itu “indigo” Vin, boleh kupanggil kamu dengan Vin saja?”, “ya boleh panggil saja biar akrab” jawabku, “beberapa dokter senior pernah bercerita tentang anak-anakindigo yang pernah mereka tangani dan kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi waktu memeriksa mereka, tapi aku tidak percaya begitu saja…………tak kusangka saat ini diriku sendiri yang mengalaminya” katanya, sambil menatapku tajam dia bertanya “seperti apa rasanya mampu “membaca” sesuatu Vin?”, hatiku tahu apa maksud dari pertanyaan itu dan dengan senang hati kujawab. Dua jam berlalu dan kami masih asik mengobrol, hingga dokter Arina mengatakan dia ingin mengajakku bertemu seseorang, kami pun beranjak dari tempat duduk, berpamitan dengan ayahnya dan segera menuju mobil dokter Arina.

Dia memulai sebuah percakapan kecil di mobil, “Vin, mulai sekarang panggil saja aku dengan namaku langsung, gausah pake mbak ato dokter”, “wah masih merasa muda ya, oke siap” jawabku, dan dia melirik  sambil mengernyitkan dahinya. “Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang Vin, someone that’s very special for me” katanya memulai pembicaraan lagi, “dia yang membuatku tergerak untuk menjadi psikiater, dan mungkin dengan kemampuanmu itu kamu bisa…..”; “bisa apa?” balasku, “bisa membantuku mengobati Nina, keponakanku”.

Mendadak terjadi lagi pikiranku dibawa entah kemanakali ini, sebuah pintu merah terbuka dan kumelihat sorang gadis kecil sedang berdiri di daun jendela,  seperti sadar akan kehadiranku gadis itu lalu turun dan segera berlari ke arahku, sekejap dia memelukku erat sambil menangis sejadi-jadinya. “om, Nina mau pulang, Nina mau bertemu papa dan mama lagi” katanya sambil terisak, kucoba menghapus airmata di pipinya yang terlihat dekil, gadis ini seperti tidak terurus terkunci di “kamar” ini, “Nina, om akan membantu kamu, om berjanji, sebelumnya ayo Nina ceritakan dulu apa yang sebenarnya terjadi pada Nina, dan kenapa om bisa ikut berada disini?” DHUAAAR DHUAAAR sebuah suara keras seperti mercon mendadak mebuatku dan Nina kaget, “dia sudah kembali om, tante jahat itu kembali….” Teriak Nina dengan sangat ketakutan, lalu pandanganku berubah menjadi gelap, dan semakin gelap diikuti dengan badanku yang perlahan terasa lemas…..

Kesadaranku telah kembali dan aku masih ebrada di dalam mobil Arina yang menuju kediaman Nina. “Apakah dirimu merasa bisa menyelamatkan gadis kecil itu?” sebuah suara datang dan bergaung lagi di kepalaku, suara yangsama seperti yang aku dengar tadi pagi di perjalanan menuju rumah Arina, “siapa lagi kamu” tanyaku dalam hati sambil berusaha tenang karena aku juga tak ingin Arina gelisah, “hmm panggil saja aku Kimi, kau benar-benar pria yang hebat ya berani menjawabku” jawabnya, “kau menginginkan apa dariku?” tanyaku lagi, “tutup matamu sejenak, akan kuberitahu” balasnya yang membuatku ragu, tapi kuturuti saja karena rasa penasaran.

“Ingatkah kamu dengan wanita itu” aku melihat seorang wanita yang berpenutup muka yang sedang sendirian bertarung dengan puluhan pria bersenjata pedang dan tombak, wanitaitu tampaknya sudah terluka. “Lihatlah anak kecil membantunya” dan kumelihat pula seorang bocah laki-laki kecil, dari perawakannya dia masih berusia sekitar 3 tahun, bocah itu berjalan ke arah wanita tadi dan tiba-tiba dari tangan bocah itu keluar ratusan bola cahaya yang disertai petir-petir menyambar ke arah puluhan pria bersenjata tadi, lalu setelah mengeluarkan “serangan” tadi bocah itu jatuh pingsan di samping wanita yang dilindunginya, aku berusaha mendekat untuk membantu mereka tapi sepertinya kehadiranku tidak diketahui oleh si wanita tersebut, kucoba bertanya namun wanita berpenutup muka itu tak menggubrisku, kusempatkan untuk melihat wajah si bocah tadi dan…………aku melihat wajah yang sangat familiar, wajahku sendiri, wajah semasa kecilku……………..Tiba-tiba dari arah belakang puluhan pria berpakaian seperti prajurit menmbus badanku bagai angin, mereka lalu mengerubungi wanita dan bocah tadi. “Mereka para pengawalku yang setia, dan benar bocah itu adalah dirimu, kau tak akan bisa mengingat kejadian ini apabila aku tidak menunjukkannya sendiri kepadamu, Pangeranku” sontak diriku terkejut mendengar penjelasan dari Kimi itu, ribuan pertanyaan seolah muncul di pikiranku tanpa bisa terjawab. “aku Kimi, salah satu ratu di alam jin, dan kau adalah manusia spesial yang bagi kami di persekutuan kerajaan Biru”

Kubuka mataku dan kembali sadar, rasa tak percaya masih mendekap di hatiku sambil kubayangkan masa kecilku yang biasa saja. “Kenapa kau jadi keringetan begitu, AC-nya kurang dingin ya?” Tanya Arina kepadaku memecahkan keheningan, “ah tidak apa-apa kok aku hanya bermetabolisme saja” sebuah jawaban paling bego dengan asal nyeplos kuucapkan pada Arina yang sedang menyetir, “oh oke” balasnya dengan cuek. Hari ini terlalu banyak “visi” yang kudapatkan hingga badanku sedikit lelah, entah kejadian apalagi yang aku dapatkan di rumah Nina nanti.

“Satu belokan lagi kita nyampe di rumah kakakku Vin, ingat yah jangan ngoceh macam-macam tanpa izinku” ucap Arina, “si..siap bu” diikuti dengan tatapan galak kearahku.


-Bersambung-

No comments:

Post a Comment