Perkenalan dengan “Kimi”
Oh senangnya hatiku hari ini
dokter Arina mengundangku ke rumahnya (masalah pembunuhan Kemala aku
kesampingkan) padahal ini bukan pertama kalinya diriku jatuh cinta loh,
sepertinya dari awal wanita semi-galak itu sudah masuk ke hatiku. Sengaja hari
ini aku bangun pagi untuk mempersiapkan diri, seolah aku gelap mata karena
sudah gede rasa memenangkan perhatian
dari dokter Arina, kumanjakan tubuh ini dengan mandi sebersih mungkin hingga
wangi sabun melekat erat di badanku. Kuambil pakaian terbaikku dari lemari,
sepatu pun kubersihkan hingga terlihat baru lagi, kemudian ku menuju meja makan
dan sarapan. Jam 9 pagi diriku pun bersiap di depan rumah menuggu ojek online
yang sudah kupesan (aku tak punya mobil sih, ada juga mobilnya ayah dan diriku
pantang untuk meminjamnya), akhirnya ojek yang kupesan datang menjemputku,
bruuum, kami meluncur ke rumah dokter Arina.
Alamat rumah dokter Arina mudah
untuk ditemukan, tukang ojek yang mengantarku seakan sudah hafal arah ke
rumahnya. Dua tikungan sebelum sampai di rumahnya ojek yang kutumpangi berhenti
karena ada iring-iringan pengantar jenazah, sembari menunggu iring-iringan itu
lewat mataku tertuju pada sebuah pos satpam di ujung tikungan pas di arah
seberang kami berhenti, ada seorang gadis manis berwajah tanpa ekspresi sama
sekali, dia mengenakan pakaian semacam daster berwarna biru keabu-abuan, gadis
itu menatap langsung ke mataku seakan kami sudah saling mengenal. Iseng
kubertanya dalam hatiku siapakah dirinya, “nanti
saja kita berkenalan”, sebuah suara menggaung di kepalaku seakan suara itu
datang langsung dari samping telingaku………Sekejap kepalaku menoleh lagi
kearahnya namun gadis itu sudah lenyap, aku jadi yakin dia bukan manusia.
Akhirnya sampai juga di rumah
dokter Arina, rumahnya terlihat masih model 80an hanya pagar dan taman yang
tampaknya direstorasi dengan sentuhan arsitektur modern. Kupencet bel di balik
pagar dan muncul seorang lelaki paruh baya memakai pakaian batik, “mencari
siapa nak?” tanyanya, kujawab maksud kedatanganku kemari dan dibukalah pintu
pagar, “duduk saja di kursi teras, biar kupanggilkan anakku” katanya dan aku
mengiyakan. Ternyata lelaki itu bapaknya pujaan hatiku (saat ini), rambutya
sudah putih rata namun badannya masih tegap (mungkin seorang purnawirawan kali
yah), “Arina sudah saya beritahu kamu datang, tunggu saja yah saya mau melayat
ke RT sebelah” kata lelaki itu sambil berlalu meninggalkan diriku di teras
rumah. Sambil duduk santai mataku berkeliling melihat taman kecil di rumah ini,
namun sesaat aku merasakan sebuah getaran hawa yang tidak biasa, hawa ini
bukanlah hawa yang dimiliki oleh manusia sehingga tengkukku merinding dan
kepekaanku mulai menunjukkan sesuatu, “siapa lagi kali ini” tanyaku dalam hati.
Aroma kamboja dan minyak jafaron mendadak ikut meramaikan suasana gaib yang aku
rasakan di teras rumah ini, pikiranku jadi semakin penasaran “apakah ada yang
tidak beres di rumah ini?”. Segera kutampis pikiran negatif itu karena dokter
Arina adalah seorang wnita berpendidikan dan sangat menggunakan logika untuk
berpikir, namun hawa ini masih ada dan seakan mengelilingi badanku. “Selamat
pagi Alvian, kamu ini selalu tepat waktu yah orangnya” suara sapaan dokter
Arina memecah konsentrasiku yang terfokus pada hawa tidak enak tadi, herannya
kudapati hawa itu sekalian hilang dengan munculnya dokter Arina.
Akhirnya kami berdua mengobrol,
dimulai dari kujelaskan tentang diriku diluar statusku sebagai pasien mental,
sedikit demi sedikit dia mulai bias menerima penjelasanku namun dia mengatakan
bahwa sesuatu yang hanya halusinasi di dalam kepala tak akan bias mengalahkan
logika. “Aku paham apa itu “indigo” Vin, boleh kupanggil kamu dengan Vin
saja?”, “ya boleh panggil saja biar akrab” jawabku, “beberapa dokter senior
pernah bercerita tentang anak-anakindigo yang pernah mereka tangani dan
kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi waktu memeriksa mereka, tapi aku
tidak percaya begitu saja…………tak kusangka saat ini diriku sendiri yang
mengalaminya” katanya, sambil menatapku tajam dia bertanya “seperti apa rasanya
mampu “membaca” sesuatu Vin?”, hatiku tahu apa maksud dari pertanyaan itu dan
dengan senang hati kujawab. Dua jam berlalu dan kami masih asik mengobrol,
hingga dokter Arina mengatakan dia ingin mengajakku bertemu seseorang, kami pun
beranjak dari tempat duduk, berpamitan dengan ayahnya dan segera menuju mobil
dokter Arina.
Dia memulai sebuah percakapan
kecil di mobil, “Vin, mulai sekarang panggil saja aku dengan namaku langsung,
gausah pake mbak ato dokter”, “wah masih merasa muda ya, oke siap” jawabku, dan
dia melirik sambil mengernyitkan
dahinya. “Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang Vin, someone that’s very special for me” katanya memulai pembicaraan
lagi, “dia yang membuatku tergerak untuk menjadi psikiater, dan mungkin dengan
kemampuanmu itu kamu bisa…..”; “bisa apa?” balasku, “bisa membantuku mengobati
Nina, keponakanku”.
Mendadak terjadi lagi pikiranku dibawa entah kemanakali ini, sebuah
pintu merah terbuka dan kumelihat sorang gadis kecil sedang berdiri di daun
jendela, seperti sadar akan kehadiranku
gadis itu lalu turun dan segera berlari ke arahku, sekejap dia memelukku erat
sambil menangis sejadi-jadinya. “om, Nina mau pulang, Nina mau bertemu papa dan
mama lagi” katanya sambil terisak, kucoba menghapus airmata di pipinya yang
terlihat dekil, gadis ini seperti tidak terurus terkunci di “kamar” ini, “Nina,
om akan membantu kamu, om berjanji, sebelumnya ayo Nina ceritakan dulu apa yang
sebenarnya terjadi pada Nina, dan kenapa om bisa ikut berada disini?” DHUAAAR
DHUAAAR sebuah suara keras seperti mercon mendadak mebuatku dan Nina kaget, “dia
sudah kembali om, tante jahat itu kembali….” Teriak Nina dengan sangat ketakutan,
lalu pandanganku berubah menjadi gelap, dan semakin gelap diikuti dengan
badanku yang perlahan terasa lemas…..
Kesadaranku telah kembali dan aku
masih ebrada di dalam mobil Arina yang menuju kediaman Nina. “Apakah dirimu merasa bisa menyelamatkan
gadis kecil itu?” sebuah suara datang dan bergaung lagi di kepalaku, suara
yangsama seperti yang aku dengar tadi pagi di perjalanan menuju rumah Arina, “siapa
lagi kamu” tanyaku dalam hati sambil berusaha tenang karena aku juga tak ingin
Arina gelisah, “hmm panggil saja aku
Kimi, kau benar-benar pria yang hebat ya berani menjawabku” jawabnya, “kau
menginginkan apa dariku?” tanyaku lagi, “tutup
matamu sejenak, akan kuberitahu” balasnya yang membuatku ragu, tapi
kuturuti saja karena rasa penasaran.
“Ingatkah kamu dengan wanita itu” aku melihat seorang wanita yang
berpenutup muka yang sedang sendirian bertarung dengan puluhan pria bersenjata
pedang dan tombak, wanitaitu tampaknya sudah terluka. “Lihatlah anak kecil
membantunya” dan kumelihat pula seorang bocah laki-laki kecil, dari
perawakannya dia masih berusia sekitar 3 tahun, bocah itu berjalan ke arah wanita
tadi dan tiba-tiba dari tangan bocah itu keluar ratusan bola cahaya yang
disertai petir-petir menyambar ke arah puluhan pria bersenjata tadi, lalu
setelah mengeluarkan “serangan” tadi bocah itu jatuh pingsan di samping wanita
yang dilindunginya, aku berusaha mendekat untuk membantu mereka tapi sepertinya
kehadiranku tidak diketahui oleh si wanita tersebut, kucoba bertanya namun
wanita berpenutup muka itu tak menggubrisku, kusempatkan untuk melihat wajah si
bocah tadi dan…………aku melihat wajah yang sangat familiar, wajahku sendiri,
wajah semasa kecilku……………..Tiba-tiba dari arah belakang puluhan pria berpakaian
seperti prajurit menmbus badanku bagai angin, mereka lalu mengerubungi wanita
dan bocah tadi. “Mereka para pengawalku yang setia, dan benar bocah itu adalah
dirimu, kau tak akan bisa mengingat kejadian ini apabila aku tidak
menunjukkannya sendiri kepadamu, Pangeranku” sontak diriku terkejut mendengar
penjelasan dari Kimi itu, ribuan pertanyaan seolah muncul di pikiranku tanpa
bisa terjawab. “aku Kimi, salah satu ratu di alam jin, dan kau adalah manusia spesial
yang bagi kami di persekutuan kerajaan Biru”
Kubuka mataku dan kembali sadar,
rasa tak percaya masih mendekap di hatiku sambil kubayangkan masa kecilku yang
biasa saja. “Kenapa kau jadi keringetan begitu, AC-nya kurang dingin ya?” Tanya
Arina kepadaku memecahkan keheningan, “ah tidak apa-apa kok aku hanya bermetabolisme
saja” sebuah jawaban paling bego dengan asal nyeplos kuucapkan pada Arina yang
sedang menyetir, “oh oke” balasnya dengan cuek. Hari ini terlalu banyak “visi”
yang kudapatkan hingga badanku sedikit lelah, entah kejadian apalagi yang aku
dapatkan di rumah Nina nanti.
“Satu belokan lagi kita nyampe di
rumah kakakku Vin, ingat yah jangan ngoceh macam-macam tanpa izinku” ucap
Arina, “si..siap bu” diikuti dengan tatapan galak kearahku.
-Bersambung-
No comments:
Post a Comment