Sudah tiga minggu ini diriku mempersiapkan sebuah
pentas untuk merayakan puncak hari kemerdekaan Indonesia di kampusku, aku
dipilih menjadi sebagai sutradara dengan cara voting sesuai tradisi
UKM teater di kampusku. Tahun ini teater kami memilih untuk mementaskan sebuah
kisah nyata yang terjadi pada masa perjuangan dan kisah ini terjadi di salah
satu gedung di kampusku, tepatnya di gedung perpustakaan kampus, salah satu
bangunan tertua yang masih berdiri di dalam area kampusku ini. Skenarionya
bercerita tentang kisah percintaan seorang pejuang lokal dengan seorang gadis Belanda
bernama Marryane, percintaan mereka berjalan secara rahasia karena ayah si
gadis menentangnya dengan keras dan kisahnya berakhir dengan tragis, gadis
belanda itu bunuh diri dengan cara meloncat dari jendela kamarnya yang berada
di lantai 2, gadis itu tewas dengan tubuh tertancap pada pagar.
Sebetulnya semua persiapan sudah matang, dari
para aktor dan aktrisnya hingga perlengkapan panggung, cahaya dan musik
pengiring. Namun sebuah bencana terjadi pada saat kelompok teater kami menjalani
gladi kotor, Dania sang aktris utama yang memerankan "Maryanne"
mendapat kecelakaan dalam perjalanan ke kampus, kami terpaksa putar otak untuk
mencari penggantinya karena secara fisik dan logatnya Dania ini paling pas
untuk peran Maryanne, sebenarnya aku pribadi dan Rangga temanku si penulis naskah
dan skenario sudah melakukan audisi singkat namun tidak menemukan aktris yang
cocok.
Tiga hari menjelang hari "H" diriku
sama sekali belum mendapatkan pengganti Dania untuk mengisi pemeran utama
wanita, dalam hatiku terus mengatakan kalau pentas ini harus berjalan. Malam
itu juga aku memutuskan untuk menginap di gedung UKM teater kampus, sambil
membaca data diri tiap anggota teater dan sesekali aku membaca ulang naskah
untuk tokoh Maryanne, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu UKM, aku
beranjak dari kursiku dan menuju pintu untuk melihat siapa yang mengetuk
pintu itu. Dalam hati aku bertanya siapa yang datang kemari jam 10 malam,
jalanan kampus juga gelap tiap malam, akhirnya pintu kubuka dan di depanku
berdiri seorang gadis berambut panjang kecoklatan yang dibiarkan terurai sampai
ke pinggang. "Selamat malam, apa betul kamu Arya, sutradara untuk pentas
tanggal 17 Agustus besok?", "i...i..iya betul saya Arya, kamu siapa
ya, ada perlu apa malam-malam kemari?" tanyaku kepada gadis itu,
"saya Mariana, sepupu saya Dania mengatakan bahwa ada posisi terbuka untuk
peran utama di pentas yang kamu sutradarai besok". Tanpa basa-basi kuajak
dia masuk dan kupersilahkan duduk, “duduklah dulu aku mau menelpon temanku
untuk kesini, dia kost di dekat kampus kok”, “baiklah saya kan tunggu”
jawabnya. Aku segera menelepon Rangga dan Meta (adiknya Rangga yang sekampus
dengan kami, sengaja aku suruh ajak kesini supaya Mariana tidak canggung) untuk
datang kesini mengaudisi dan menemani diriku dan Mariana.
Malam itu aku dan Rangga mengaudisi Mariana di
gedung UKM teater kampus, semua dialog yang dia ucapkan lancar sekali, termasuk
dialog-dialog dengan bahasa Belanda yang dia ucapkan, sangat fasih sekali si
Mariana ini, gerakan teatrikalnya juga sangat luwes termasuk pada saat skenario
yang mengharuskan dia untuk menari balet, sungguh takjub diriku dan Rangga
melihatnya. Akhirnya kami memutuskan memberikan peran utama Maryanne si gadis
Belanda itu pada Mariana, Rangga sekaligus mengatakan pada gadis itu untuk
datang besok malam untuk gladi resik jam 19.00 di gedung teater kampus, setelah
itu Mariana berpamitan untuk pulang karena sudah terlalu malam, dia menyalami
kami bertiga sambil berucap kepadaku “saya tidak akan mengecewakanmu, sampai
besok malam Arya” tanpa ditemani dia keluar sendiri dan pintu ditutup. “Gila
dingin banget tangan tuh cewek, tapi jujur deh dia pas banget untuk peran
Maryanne, kamu kenal dia darimana bro?” celetuk rangga, “Dia tiba-tiba datang
sendiri kesini, dia mengaku sepupunya Dania sih” jawabku. Tak lama kemudian
Meta yang dari tadi hanya main HP merengek mengajak Rangga pulang, dan aku
harus melanjutkan menginap di gedung UKM untuk mengedit beberapa dokumen untuk
pentas. Sepulangnya Rangga dan Meta tak sengaja mataku menatap jam dinding,
jarumnya menunjukkan pukul 02.15 malam, cepat sekali waktu berlalu mala mini,
perasaanku mengatakan kalau tadi sekilas hanya dua jam saja mengaudisi Mariana,
mungkin aku terlalu senang hingga lupa akan waktu, entahlah yang penting peran
utama sudah kembali terisi dan besok malam adalah gladi resik untuk pentas
lusa.
Siang hari menjelang gladi resik malam nanti
kusempatkan diriku untuk menghubungi Dania, dengan perasaan senang dan lega aku
ingin berterima kasih padanya karena telah memberitahukan kekosongan peran
utama wanita pada sepupunya, sayang sekali berkali-kali kuhubungi ke nomernya
namun sambungan ke Dania selalu terputus, akhirnya kucoba mengirim pesan saja
walau pun mungkin akan terkirim agak lama. Aku berangkat menuju gedung teater
pada sore hari untuk membantu persiapan gladi resik nanti, di perjalanan di pikiranku
selalu muncul bayangan Mariana, bagaimana tidak Mariana adalah gadis yang berparas
sangat cantik dan berkulit putih serta memiliki bakat akting yang bagus untuk
ukuran pentas teater, ada juga terselip pertanyaan kenapa si Dania gak pernah
cerita ya tentang Mariana, ah sudahlah yang penting show must go on.
Sudah pukul 8 malam, kami memulai gladi resik
sesuai urutan dalam scenario, semua lancar dan tuntutan naskah terpenuhi.
Mariana tampak lancar berinteraksi dengan pemain-pemain yang sama sekali belum
dia kenal, malah pemain-pemain tadi pada terpukau melihat Mariana dengan
alaminya berakting sebagai “noni Belanda” Maryanne. Yang menarik perhatianku
dan Rangga adalah pada beberapa adegan dalam scenario Mariana mengatakan padaku
bahwa “kejadian” yang sebenarnya tidak terjadi seperti ini, kemudian dia menceritakan
pada aku dan Rangga “kejadian-kejadian” sesuai versinya. Rangga mengatakan
kepadaku “kenapa itu tidak terpikirkan olehku ya, itu plot yang jauh lebih
bagus dan menarik daripada yang aku tulis bro” sebagai sutradara aku bengong
sambil mengiyakan saja, lalu kemudian Rangga bergegas mengambil laptopnya untuk
menulis ulang beberapa skenarionya untuk diubah sesuai dengan apa yang
diceritakan oleh Mariana tadi.
Pada waktu istirahat dari gladi resik kumelihat
Mariana duduk di belakang panggung, entah mengapa dia seperti terlihat sedih,
sebagai sutradara aku tidak ingin aktrisku kehilangan moodnya, maka kudekati
dia dan kutanyakan apa yang membuatnya murung saat ini. Dengan tatapan kosong
kebawah Mariana menceritakan kisah asmaranya yang sedih, percintaan yang
ditentang oleh keluarganya, karena itulah dia sangat mendalami perannya di
drama ini. Tangannya tiba-tiba menyentuh tanganku, dingin sekali sentuhannya
serasa sebuah es, “kamu benar-benar mirip dengan Anwar yang pernah saya cintai
Arya” otakku jadi sedikit berpikir “Anwar, darimana aku mendengar nama itu
sebelumnya yah” pikirku, mendadak Mariana mengajakku keluar dari gedung teater
dan kami pun berdiri di luar sambil menatap gedung perpustakaan kampus yang
letaknya tidak jauh dari gedung teater ini. Kudengarkan Mariana bersenandung,
indah namun terdengar sedih, lalu dilanjutkannya dengan bernyanyi dalam bahasa
Belanda, diriku merasa seperti terbawa ke masa lalu saat mendengarkan nyanyian
itu, masa lalu yang kelam kelabu dimataku terlihat sorang gadis berlari
ketakutan sperti sedang dikejar-kejar oleh sesuatu, aku mendengarnya berteriak “niet laat me met rust, ik ben niet van
plan om met je trouwen, ga weg van mij nee nee neeeeeee” entah apa
artinya itu tapi dia sungguh sangat ketakutan, gadis itu lalu berlari kearahku,
“tolong saya Anwar” dia mendekat dan betapa kagetnya aku melihat
wajahnya....mengerikan sekali wajah gadis itu seperti mayat kering, tangannya
yang berkuku panjang mencengkeram bahuku, diriku sangat ketakutan........
“Mas
Arya, Woi mas” aku kaget mendengar suara di belakangku, “Kenapa bengong sendirian
diluar mas, entar kesambet setan lewat loh melamun malam-malam, waktu istirahat
sudah habis nih, sekarang persiapan untuk adegan utama pentas drama kita, tuh
Mariana udah siap loncat dari jendela, hehehe” Ternyata dia si Meta adiknya Rangga,
sambil berjalan masuk aku berpikir apa yang barusan aku alami ya, perasaan tadi
aku keluar bersama Mariana....tapi sudahlah mungkin benar juga si Meta, aku
terbengong kesambet setan lewat kali, gumamku dalam hati sambil merinding.
Gladi
resik sudah memasuki adegan utama yaitu tragedi matinya Maryanne, waktu
menunjukkan pukul 11.45 malam, dan entah kenapa hawa di dalam gedung teater
menjadi sangat dingin serasa ada angin kutub yang berhembus. Aku memberi
aba-aba pada semua pemain untuk bersiap di panggung, setting untuk adegan utama
ini dibuat semirip mungkin dengan lokasi tewasnya Maryanne, “ACTION!!”
teriakku, semua lancar hingga pada adegan yang mengharuskan Mariana untuk
terjun dari jendela, kami semua yangada di dalam teater merinding mendengar
teriakan yang memilukan, teriakan ini menggema keras di dalam ruangan teater “niet laat me met rust, ik ben niet van
plan om met je trouwen, ga weg van mij nee nee neeeeeee” disertai
beberapa suara tembakan, darimana suara tembakan itu? Kami tidak merencanakan
yang seperti itu. Akhirnya kumelihat mariana sudah berada di posisi dibalik
jendela, tapi ada yang aneh, ada seorang pria berperawakan tinggi seperti orang
Belanda, tiba-tiba pria itu memukulkan popor senjatanya ke kepala Mariana dan
mendorong gadis itu dari balik jendela, dengan mata kepala sendiri aku melihat
Mariana dipukul dan sengaja didorong dari ketinggian 8 meter, dia terjatuh
dan....tubuh Mariana tertancap pecahan kaca dan kayu daun jendela, darahnya
mengalir ke panggung teater, sebagian dari kami yang melihat ada teriak-teriak
histeris, sebagian lagi berlari ke panggung untuk menolong Mariana, dan
sebagian lainnya menuju belakang panggung untuk mengejar pria Belanda tadi.
PETT!!! Listrik gedung teater mendadak mati, tanpa penerangan lampu semua
menjadi gelap gulita.
Tak
lama listrik kembali menyala, dan kami terkejut melihat keadaan set panggung
masih baik-baik saja, tak ada tubuh mariana, jendela juga masih utuh.......Banyak
dari kami yang terdiam tak percaya melihat apa yag baru saja kami lihat dan
terjadi, sebagian anggota teater ada yang pingsan, menangis dan duduk lemas,
malam itu sungguh sangat menguras emosi jiwa kami. Pertunjukan ini kami
batalkan setelah kejadian malam itu, banyak dari anggota teater yang jiwanya
terguncang melihat kejadian misterius semalam. Siang itu di kampus handphoneku
berbunyi, kuangkat dan kudengar suara Dania, “kak Arya, aku dengar dari Meta
kalau pentasnya dibatalkan, kenapa? Eh maaf ya ini nomerku yang baru, HP-ku
abis ilang nih kak” dan kujawab pertanyaan Dania itu dengan lengkap, sedetail
mungkin dari awal aku ceritakan pada Dania.
“Kak
Arya, aku gak punya sepupu bernama Mariana, terus itu cewek siapa sebenarnya,
moso hantunya si Maryanne sih?” diriku menjadi makin lunglai mendengar Dania nyerocos
tanpa di rem. Sore hari aku membuka kembali naskah baru yang ditulis oleh
Rangga, aku baca dari awal sampai pada bagian mataku mendapati sebuah nama, “Anwar”
itu adalah nama pejuang lokal yang menjadi tambatan hati Maryanne, semakin
lelah diriku berpikirhingga akhirnya aku tertidur di kamarku.
“Arya,
Arya?” terdengar suara Mariana, “terima kasih untuk waktumu beberapa hari ini
menemani saya, saya takut sekali dengan Pieter, tapi kamu selalu ada di sisiku
Arya, terima kasih” aku terbangun dari mimpi dan keringat dingin mengucur
deras........
-Tamat-
No comments:
Post a Comment